KH. Salahuddin Wahid (Foto: Kopi Ireng).

Oleh: Fathurrahman Karyadi*

“Sudah denger cerita mimpi beliau?” tanya Gus Ipang saat kami sowan kemarin jelang Maghrib di ndalem Almarhum Kiai Salahuddin Wahid di Pesantren Tebuireng. Sesegera mungkin kami menggelengkan kepala. Hendak menyimak. Kami menggeser posisi duduk. Tamu lain mulai memerhatikan alur cerita sang putra sulung ini. Mengesankan.

“Jadi, almarhum Papah pas di RS itu berkali-kali mimpi melihat sekelebatan gambar. Persis seperti film,” kami membayangkan trailer-trailer keren seperti di akun Gus Ipang, “Pas saya tanya visualisasi apa, Papah jawab banyak orang, ribuan, terus ada juga tampil sosok Eyang Sholichah Wahid, Pak Dur, Pak Puh.”

Gus Ipang mulai berekspresi lain, “Saya kok jadi rada gak enak. Yang disebutkan Papah tadi tokoh-tokoh yang sudah wafat semua. Jangan… jangan…” Ya, Kiai Sholah sudah berfirasat akan mangkat. Pandangan mata beliau juga semakin tajam. Semut di kejauhan sana kelihatan. Tampak jelas. Seakan-akan sudah beralih dimensi.

Setiap hari, masih tutur Gus Ipang, Kiai Sholah juga mengkhatamkan satu juz Al-Qur’an. Istiqamah. Menjelang akhir, beliau mengebut bahkan sampai tiga juz. 27-29. Dalam kondisi sakit berbaring, kecintaan beliau akan kalam Suci tak surut. Meski memakai hape, suara muratal, sambil mengikuti.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kami jadi ingat bagaimana Kiai Sholah mengimami kami di pesantren. Suaranya melengking, merdu, dan enak. Bagi pertama kali menjadi makmumnya pasti akan ketagihan. Surat favorit beliau Al-Mā’ūn. Belakangan kami baru tahu bahwa surah ini menyimpan pesan sosial yang tinggi. Kiai Sholah sangat menjiwai Surat ini.

Jauh hari, beliau meminta agar film “Jejak Langkah 2 Ulama” yang beliau gagas agar dilaunching di Jakarta pada 02 Februari 2020. Alih-alih peluncuran, beliau mengatur di tanggal itu sebagai momen kumpul keluarga dan pengurus-santri Tebuireng di Jakarta. Ya, beliau seakan tahu bahwa tanggal itulah hari akhirnya.

Kisah-kisah seperti ini, mengingatkan kita pada cerita Almarhum Gus Dur. Ketika beliau berziarah terakhir di Tebuireng dan berpesan kepada sang sepupu, Gus Hakam. “Tolong nanti jemput saya seminggu lagi di sini,” pesan Gus Dur. Ternyata pekan depan beliau wafat, ini sebagai isyarat ingin dikebumikan bersama leluhurnya. Sungguh, karomah para kekasih.

“Saya semalaman suntuk di Tendean kemarin tidak tidur,” seloroh Gus Ipang.

“Sama, Gus. Kami pun begitu. Tapi anehnya kami merasa tidak mengantuk sama sekali. Baru dalam perjalanan mobil Surabaya-Jombang sempat tidur,” tutur kami.

“Ya, banyak juga ya yang mengalami kejadian aneh,” Gus Ipang mungkin ingin menyebutnya karomah.

Alhamdulillah, karomah Kiai Sholah juga kami rasakan. Bukan hanya perihal mata yang tak terasa sepet. Tapi akses kami ke sana kemari yang super lancar. Mbak Willa mengajak kami ikut terbang. Menyertai jenazah almarhum. Dari Bandara Halim Jakarta sampai Juanda Surabaya. Menyaksikan langsung prosesi demi prosesi. Turbulensi yang di luar normal, sampai pesawat muter-muter mencari landasan khusus. Semua mulus.

Suasana di Tebuireng masih diselimuti hujan. Tipis dan tebal silih berganti. Begitu pula para guru, santri, dan warga bergerimis air mata kehilangan sosok ayah bagi siapa saja.

Hening…

Bu Nyai sempat menemani kami berbincang. Dengan sabar beliau menyimak maksud sore kami itu. Izin pamit hendak bertolak ke Jakarta. Sembari menyampaikan salam dari sahabat beliau melalui foto dan pesan di hape ini.

Kami tak tega mengajak mengobrol banyak bersama beliau. Tampak lelah, letih, dan masih berkabung. “Alhamdulillah, Bu Nyai apa yang diajarkan Almarhum Kiai Sholah sangat bermanfaat kepada kami hingga hari ini,” ungkap kami sebagai bunga semerbak untuk beliau.

Beliau senyum sembari mendoakan. Persis saat Almarhum ada. Ya, Bu Nyai sering kali ada di samping beliau saat kami mengobrol. “Loh, kok ini jajan nggak dimakan, hayo buka…” perintah beliau dengan halus.

Kami ambil beberapa. Kami sodorkan pula kepada tetamu lain. Mengunyahnya. Kami juga memasukkan 2 roti ke tas. Dasar nakal.

Gus Ipang menyimak. Layaknya sang papah, yang senantiasa mengamati detail pembicaraan. Ya, Kiai kami adalah sosok pendengar setia. Lalu mengarahkan kami kepada alternatif yang tak pernah ada di benak kami.

****

“Menurut kalian, ilmu itu ada berapa?” tanya Kiai Sholah di suatu pagi saat kami sedang rapat redaksi Majalah dan Pustaka Tebuireng.

Di antara kami sontak menjawab, “Selama ini kami memahami ada ilmu dunia dan ilmu akhirat, Kiai,” yang lain mentermakan, “ilmu agama dan ilmu umum.”

“Oke, kalau begitu apa pengertian ilmu dunia, dan apa itu ilmu akhirat?” Imbuhnya. Beliau menyandarkan bahu ke kursi sambil duduk santuy.

Kami saling lirik satu sama lain, tak berani menjawab. Takut salah atau lainnya. “Ilmu akhirat ya fikih, akidah, Al-Quran, Hadis, dll. Sedangkan Ilmu dunia ya seperti bahasa Inggris, matematika, sains, dll,” ucap di antara kami. Sepakat dan lega.

Tapi, siapa nyana ternyata Kiai Sholah punya jawaban lain, “Kalau menurut saya sih, fikih, akidah, Al-Qur’an Hadis itu bisa menjadi ilmu dunia jika tujuan kita mempelajari itu untuk orientasi duniawi. Sebaliknya, matematika, bahasa, sains bisa menjadi ilmu Akhirat jika tujuan kita mempelajari itu untuk akhirat. Jadi itu.”

Maaak dregghhh…. Kami yang semula jemawa tiba-tiba ciut. Luar biasa. Pemikiran beliau mendobrak berbagai konsep basi di tempurung otak kami. Bagaimana mungkin, beliau yang lebih lama mengenyam pendidikan di luar justru memahami peta hakikat keilmuan pesantren ini.

Begitu pula ketika beliau mengulas kesalehan. Selama ini dengan pedenya kami berarus utama bahwa kesalehan ada dua: saleh ritual dan saleh sosial. Tapi tidak bagi beliau.

“Kalau bagi saya butuh satu lagi. Para koruptor itu kurang saleh apanya coba, puasa dia puasa, salat dia juga salat, membangun masjid juga iya, sumbangan anak yatim bahkan lebih banyak daripada kita. Tapi ada satu yang ia lupa, kesalehan profesional!”

Menurut Kiai Sholah, kesalehan profesional penting karena memerlukan kepandaian, kejujuran, serta ketulusan dalam menjalankan pekerjaan seseorang. Subhanallah…

Kami yakin, di Indonesia orang pintar memang banyak. Orang cerdas juga tak kurang. Namun, tokoh sesaleh beliau tampaknya bisa dihitung jumlahnya.

Beruntung… beruntung… beruntung… Allah menakdirkan kami menjadi santri beliau. Mengecup langsung karomah dari leluhurnya. Juga menyaksikan bagaimana semua kemampuan beliau disumbangkan untuk kepentingan orang banyak. Bukan seperti kita yang masih kemaruk dunia, membuncitkan perut sendiri, sampai lupa tujuan utama kita diadakan di muka bumi yang singkat ini.

Kiai, kini kau telah berangkat. Menikmati buah-buah segar yang selama ini panjenengan tanam dengan tulus nan sabar. Izinkan kami mengikuti langkahmu. Semoga Allah senantiasa menyertai dan meridhai, dalam diam dan gerak kita semua. Amin.

Jombang – Jakarta, 6 Februari 2020

*A/FK, Santri nakalmu.