Ilustrasi seorang kakek dengan sebuah kenangan.

Rumah itu telah berdiri jauh sebelum Sigit, bahkan sebelum kakek dan nenek dilahirkan. Ia sederhana, berteman seng yang karatan di atap dan lantai tanah yang mendingin setiap kali hujan tiba. Bocor di sana-sini, membiarkan air menetes, menyebar, hingga menggenangi ruang tengah seperti kolam kecil yang tak diundang. Nenek pernah bersikeras ingin memperbaikinya, uang tabungan sudah cukup, katanya. Tapi kakek hanya menggeleng pelan.

“Kenapa tidak diperbaiki, kek?” tanya Sigit, suara kecilnya mengiringi tatapan matahari sore yang mulai merayap ke balik langit.

Kakek hanya tersenyum samar, memandangi punggung langit yang mulai kelabu dari beranda. Tak ada jawaban. Hujan turun lagi malam itu, menciptakan nada ritmis di seng tua, ditemani suara tetesan yang berlomba masuk ke dalam rumah.

“Syukur bisa hujan,” ujar kakek tiba-tiba, seraya menyeruput kopi hitam di tangannya.

Nenek menoleh, kaget bercampur kesal. “Syukur? Hujan malah bikin rumah ini seperti kapal bocor!”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Iya, kek. Kok malah senang? Kita basah kuyup terus begini,” Sigit menimpali dengan nada protes yang lebih kecil.

Namun, kakek tetap saja diam, hanya bergumam pelan seperti sedang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Hujan lebat itu, bagi nenek dan Sigit, hanyalah beban. Tapi di balik tatapan matanya yang tak banyak bicara, kakek memandangnya sebagai berkah yang tak terucap.

***

Musim berganti, hujan mulai reda, menyisakan bau tanah basah yang samar-samar masih tertinggal di ladang. Padi dan jagung di ladang sudah menguning, siap dipanen. Kakek, nenek, Sigit, dan beberapa tetangga sibuk bekerja di bawah terik matahari. Setelah selesai, mereka duduk bersama, berbagi gorengan, dan menyesap teh di bawah pohon mangga yang rindang.

“Ini jawabannya,” kata kakek tiba-tiba, memecah keheningan.

“Jawaban apa?” Nenek menatapnya dengan kening berkerut.

“Kalian pernah bertanya, kenapa aku bersyukur waktu hujan deras itu.”

Nenek tertegun. Pertanyaan itu sudah hampir terlupa. Tapi kakek mengingatnya, seperti hutang kepada seorang temannya yang belum ia lunasi.

“Waktu itu kita menanam padi dan jagung, tapi tanah kering kerontang. Hujan malam itu menyelamatkan kita. Lalu, soal atap yang bocor, kamu ingat uang yang mau kamu pakai untuk memperbaikinya?”

Nenek mengangguk, bingung.

“Uang itu kita pakai untuk membeli pupuk dan makan sehari-hari. Kalau waktu itu aku izinkan kamu membayar orang memperbaiki atap, mungkin panen ini tak akan ada. Dan kita mungkin kelaparan.”

Nenek terdiam, menatap kakek dengan pandangan baru. Tapi jauh di lubuk hati, ada perasaan bersalah yang tak terkatakan.

***

Subuh itu, sebelum matahari menyala di ufuk timur, kakek bangun lebih awal dari biasanya. Ia meminjam tangga dari tetangga, berniat memperbaiki atap yang bocor dengan tangannya sendiri. Tanpa membangunkan nenek atau Sigit, ia memanjat ke atas genteng. Tapi nahas, di detik terakhir, kakek terpeleset. Tubuhnya jatuh menghantam tumpukan batu di bawah, nyawanya melayang sebelum sempat memanggil siapa-siapa.

Pagi menjelang. Nenek menyedu kopi, meletakkan sepiring pisang goreng di meja, seperti biasa.

“Kakek ke mana, nek?” tanya Sigit sambil mengintip ke luar jendela, melihat hujan mulai turun lagi, kali ini dengan suara angin yang menderu.

“Mungkin ke ladang,” jawab nenek sambil merapikan rambut di depan cermin. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Hatinya resah, seperti ada yang tak seharusnya terjadi.

Waktu berlalu. Hujan reda, tapi kakek tak kunjung pulang. “Aku akan marah kalau dia pulang nanti. Pergi tanpa pamit, membuatku khawatir,” ujar nenek dengan nada kesal yang mulai bercampur cemas.

***

Di sudut lain desa, Pak RT pulang dari pasar, membawa kabar buruk.

“Buk, tadi pagi Pak Sugeng pinjam tangga, kan?” tanyanya pada istrinya.

“Iya, kenapa?”

Pak RT diam sejenak, menelan ludah sebelum berkata, “Aku menemukannya di belakang rumah, terkapar sudah tak bernyawa.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” istri Pak RT langsung kaget bukan kepalang, kemudian memanggil warga untuk membantu.

Tak lama kemudian, toa masjid mengumandangkan berita duka. Suara itu menggema, menembus dinding rumah nenek dan Sigit.

“Telah meninggal dunia Pak Sugeng. Mohon kepada warga untuk membantu proses pemulasaraan jenazah.”

Nenek tertegun, memandang Sigit dengan tatapan tak percaya.

“Itu pasti salah. Kakekmu tak mungkin meninggal,” ujarnya lirih, tapi dalam hatinya, ia tahu kebenaran tak bisa disangkal.

***

Jenazah kakek diusung ke rumah dengan segala kehormatan. Hujan kembali turun, seperti meratapi kepergiannya. Nenek berdiri di sudut, memandangi tubuh suaminya yang terbaring kaku. Rumah itu kini tak lagi bocor, tapi jiwa yang menjadi penopangnya telah tiada. Dan Sigit, berdiri di samping nenek, memegang erat tangannya.

Di sudut ruang, bau tanah basah masih terasa, bercampur dengan harumnya kopi dan pisang goreng di meja yang tak disentuh.

Yogyakarta, Desember 2024



Penulis: Ubaidillah Annasiqie, Santri Pondok Pesantren Kutub Hasyim Asy’ari, Cabeyan, Panggungharjo, Sewon, Bantul, D.I.Yogyakarta.