Entah kenapa, setelah pulang dari sorogan kitab Fath al-Qorib, Haris nampak lesu dan lemas. Aku tanya kenapa, dia jawab karena hari ini dia puasa. Wah, pantas saja kalau dia lemas.
Aku melirik jam tanganku. Pukul setengah lima sore. Adzan maghrib masih satu jam lebih.
Aku dan Haris melangkah ke arah kamar kami, melewati lorong pondok yang terdapat ratusan santri yang sedang cangkruk di sana. Ada beberapa mungkin yang sedang muthola’ah, tapi kebanyakan bersantai ria sambil menunggu adzan maghrib tiba.
“Kaf, soal penjelasan Ustadz Zamil tadi,” ujarnya seraya menaruh kitabnya di lemari. “Aku kok masih bingung, ya?”
“Penjelasan yang mana?” sahutku antusias sambil meletakkan kitab di lemariku dan bersandar di tembok.
Meski tidak terbilang pintar di kelas, tapi Haris tipikal orang yang punya keingintahuan yang tinggi soal ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu fiqh.
Beberapa saat kemudian, Haris mendekat ke arahku dan ikut bersandar tembok tepat di sampingku. Kami pun saling menoleh satu sama lain. “Apa woi! Jangan ketawa ya kamu!” ucapku ketika melihat Haris tertawa aneh menatapku.
“Serius, Kaf. Aku masih bingung soal penjelasan dari Ustadz Zamil soal wudhu.”
“Apa yang kamu bingungkan?”
“Lebih tepatnya furudul wudhu’ (fardu-fardunya wudhu).”
Aku tertawa sekilas. Pasti dia tidur waktu Ustadz Zamil menjelaskan soal itu. Sebab aku lihat dia di kelas tadi beberapa kali menyandarkan wajahnya di atas dampar.
“Jadi gini, Kaf…”
Seperti biasa, dengan ekspresi keingintahuannya yang tinggi, ia menjelaskan dengan runtut soal apa yang ia bingungkan dari penjelasannya Ustadz Zamil tadi.
Dan ternyata, letak permasalahannya adalah anggota daripada basuhan wudhu itu sendiri, di mana memang al-Qur’an atau pun kitab-kitab fiqih menjelaskan bahwa anggota yang wajib dibasuh saat wudhu hanya dikhususkan empat anggota saja: yakni wajah, kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Haris lalu melanjutkan ceritanya. “Yang jadi masalahnya itu ya, Kaf. Kan seumpama kita kentut, kenapa yang dibasuh waktu wudhu bukan pantatnya, tapi kok tetap keempat anggota tersebut? Kan yang kentut pantatnya, bukan wajah, tangan, kepala atau kaki?”
Aku diam saja, menyimak penjelasannya dengan detil.
Apa yang dibicarakan Haris memang ada benarnya. Dan seingatku Ustadz Zamil dari awal pembahasan bab wudhu sampai akhir belum menjelaskan soal ini. Aku sangat yakin akan hal itu.
“Gimana, Kaf? Apa alasannya?” lanjutnya sembari menatapku serius.
“Sebentar. Tunggu dulu. Aku ambilkan kitab syarh.”
Haris mengangguk.
Dengan cepat, aku lantas berdiri dan mengambil satu kitab syarh Kasifat as-Saja. Kitab cukup tebal buah karya dari Syeikh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, yang sudah tidak asing lagi di kalangan pesantren karena merupakan kitab syarh yang sering dipakai musyawarah atau bahkan bahtsul masa’il, khususnya di lorong kami.
Aku membuka kitab syarh Kasifat as-Saja dengan hati-hati dan penuh rasa penasaran. Karena setahuku, alasan soal pengkhususan keempat anggota tersebut tidak pernah dijelaskan oleh guru-guruku di madrasah diniyyah.
“Kayaknya kalau alasannya apa, secara fiqih tidak ada sih, Ris. Ittiba’ mungkin. Jadi Nabi Muhammad memerintahkan apa, ya kita ikuti. Tapi, ini ada salah satu pendapat ulama’ yang membahas soal itu,” ucapku sedikit ragu.
Tak lama kemudian, aku membacakan redaksi dari kitab tersebut. Karena Haris tidak begitu mengerti nahwu-shorof, ia hanya mengangguk dan fokus mendengarkan saja.
“Intinya gini, Ris. Dikhususkannya keempat anggota tersebut, karena memang keempat anggota tersebut sering kita gunakan untuk melakukan maksiat. Alhasil mungkin saja ulama’ yang berpendapat ini berharap bahwa dosa-dosa yang berasal dari keempat anggota tersebut bisa gugur dengan kita rutin melakukan wudhu.”
“Ada juga qil atau pendapatlah, dari ulama’ lain. Bahwasanya dikhususkannya keempat anggota tersebut karena dikisahkan kalau dulu itu Nabi Adam berjalan menuju buah khuldi dengan kakinya, makannya kita membasuh kaki kita saat berwudhu.”
“Lalu, Nabi Adam mengambil buah khuldi dengan tangannya, makannya kita membasuh tangan kita saat berwudhu. Setelah itu, Nabi Adam juga sempat mencicipi buah khuldi tersebut dengan mulutnya, makannya kita membasuh wajah kita saat berwudhu.”
“Dan terakhir, karena kepala Nabi Adam sempat menyentuh daunnya saat mencicipi buah tersebut, alhasil kepala kita juga ikut terbasuh saat wudhu.”
“Kalau di kitab syarh Kasifat as-Saja’ seperti itu penjelasannya. Tapi sekali lagi, ini jelas bukan alasan soal pengkhususan keempat anggota tersebut. Bisa dikatakan cerita lah, atau apa lah itu terserah kamu.”
Haris mengangkat alis dan memainkan mulutnya. Ia terlihat berpikir serius untuk menanggapi jawabanku. “Tempatnya maksiat, sama kisah Nabi Adam. Hm… Masuk akal juga, sih.”
“Jadi, gimana? Apakah pertanyaanmu terjawab, soal kenapa yang kentut bagian pantat tapi yang dibasuh saat wudhu adalah bagian wajah, tangan, kepala dan kaki?” tanyaku sedikit percaya diri, karena aku sangat yakin Haris tidak akan lagi membantah jawabanku.
“Oh, ya, Kaf. Mau tanya sekalian soal –“
Belum genap ia melempar pertanyaan lagi, terdengar suara merdu lantunan adzan dari arah masjid pondok. Spontan saja, karena Haris sudah terlihat lemas sejak tadi, ia langsung berdiri dan berlari menuju kantin untuk berbuka puasa.
“Dilanjut nanti malam Kaf!” teriaknya sebelum meninggalkan pintu kamar.
Penulis: Mohamad Hasan Alkafrowi