Gambar: http://blog.bersiap.com/

Oleh: Ust. Hilmi Abdillah*

Assalamualaikum Wr. Wb.

Semoga Ustadz dalam keadaan sehat wal afiat dan selalu mendapat rahmat dari Allah swt. Amin.

Ustadz saya ingin bertanya beberapa hal:

  1. Apakah boleh seseorang yang sedang shalat berbicara dalam hati di luar bacaan shalat atau doa dalam Al Quran? Misalnya si fulan sedang shalat. Di tengah-tengah shalat terlintas atau muncul riya dalam hatinya atau juga ujub. Lalu si fulan mencoba menepis riya atau ujub tersebut dengan berdoa dalam hati dengan menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya doanya berbunyi begini: “Ya Allah hilangkan sifat riya dan ujub yang muncul ini. Hamba memohon ya Allah”. Berulang-ulang si fulan berdoa di dalam hati dengan kalimat itu. Apakah boleh seperti itu? Apakah shalatnya batal?
  2. Bagaimana cara menepis datangnya sifat riya dan ujub yang muncul di tengah-tengah shalat fardlu atau sunat pada kondisi seperti pertanyaan nomor 1 di atas? Apa yang mesti si fulan lakukan saat itu? Doa apa yang bisa atau boleh diucapkan dalam hati atau juga secara lisan pada saat itu untuk menepis riya yang muncul tiba-tiba tersebut?

Semoga Ustadz berkenan menjawabnya. Terima kasih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Padjar Iswara, Ciomas Bogor

Waalaikum salam Wr. Wb.

Terima kasih atas doanya, semoga Mas Padjar Iswara juga selalu sehat dan mendapat lindungan dari Allah.

Berbicara dalam hati sebenarnya bukan termasuk dalam kategori bicara. Namun istilah itu sudah lumrah di kalangan kita. Saya juga kesulitan mencari padanan bahasa Indonesia yang tepat dari kata ‘krenteg’. Mungkin dekat dengan kata ‘membatin’.

Di dalam shalat, ada banyak macam perkara yang membatalkan. Ada yang berupa perbuatan, perkataan, maupun niat. Niat inilah yang mungkin Anda tanyakan. Diterangkan dalam kitab I’anatut Thalibin bahwa yang membatalkan shalat ialah niat memutus shalat, atau sederhananya niat membatalkan shalat. Jadi, walau kita belum membatalkan shalat, tapi masih niat saja, shalat kita sudah batal duluan.

Yang kedua, berubahnya niat dari satu shalat ke shalat yang lain. Misalnya kita di awal niat shalat qabliyyah subuh, namun di tengah-tengah kita berubah niat menjadi shalat subuh. Ketiga, ialah murtad, keluar dari Islam. Karena syarat dari shalat ialah beragama Islam, maka ketika keluar dari Islam, otomatis keluar dari shalat.

Selain itu, tidak ada pekerjaan hati yang membatalkan shalat. Misalnya kita berbicara dalam hati ‘saya berdiri’, ‘semoga saya kaya’, ‘sajadah saya berwarna hijau’, atau kata hati yang Anda contohkan tidak membatalkan shalat. Namun, hal tersebut bertentangan dengan kekhusyukan, karena tidak ada hubungannya dengan shalat.

Lebih dari itu, perkataan (bicara di mulut) yang membatalkan shalat ialah perkataan yang melebihi satu huruf yang tidak ada hubungannya dengan shalat maupun dzikir. Dzikir pun tidak boleh dibuat-buat.

Jadi dalam shalat kita tidak perlu berimprovisasi atau menambah-nambahi, sekalipun kita kira itu baik. Cukup dengan melakukan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, dalam segi af’aal (perbuatan) maupun aqwal (bacaan).

Untuk mengobati riya, Al Ghazali memberikan dua tips yang bisa hati kita latih.

Pertama, mencabut akarnya. Yaitu nikmatnya pujian, lari dari pedihnya hinaan, dan mengharapkan sesuatu yang orang lain miliki. Ketiga-ketiganya berkaitan dengan cinta harta tempat tinggal dan jabatan. Jika ada bedanya ibadah kita ketika dilihat orang dan tidak, maka ibadah itu berarti belum bersih dari riya. Kita juga tidak perlu iri kepada apa yang orang lain miliki, karena semua rezeki telah diatur oleh Allah swt.

Kedua, menghindari kesukaan hati untuk pamer. Hal yang bisa kita pamerkan ialah pengetahuan dan harta benda. Dari situ bangkitlah keinginan untuk dipuji.

Dari segi amaliah, kita bisa membiasakan diri beribadah di tempat yang sepi. Mengunci pintu sebagaimana kita lari dari penjahat. Sehingga apa yang kita harapkan tidak bersumber dari selain Allah, dan berpuas diri bahwa ibadah kita hanya Allah yang tahu. Dalam menghindari riya, menurut Al Ghazali memang berat pada awalnya dan harus sabar. Namun, pembiasaan ini akan menjadi pola yang membuat kita bebas dari riya.

Nabi mengajarkan doa agar kita dijauhkan dari riya (syirik kecil). Doanya ialah sebagai berikut.

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُهُ

“Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari apa yang kami tidak ketahui”. [HR. Ahmad dan ath-Thabrani]

Wallahu a’lam bish shawab.


Sumber: Kitab I’anatut Thalibin, kitab Nihayatul Muhtaj, kitab Nadlratun Na’im, kitab Al-Mu’jam al-Kabir lith Thabarani.

*) Mahasantri Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari