Oleh: Hilmi Abedillah*

Dalam masyarakat Indonesia yang plural, gotong-royong merupakan suatu hal yang lumrah terjadi antar sesama, tetangga, maupun sanak saudara. Dengan dikenalnya orang setempat sebagai pribadi yang ramah dan saling membantu, menjadikan satu dengan yang lain tidak enggan dalam menolong maupun meminta pertolongan. Budaya tolong menolong sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.

Kemajemukan ini mirip dengan kehidupan Nabi pada periode Madinah, dimana antar agama bisa saling berbagi dan membantu. Begitu pula antar suku dan golongan. Karena merupakan keniscayaan bahwa Allah menciptakan manusia beragam warnanya.

Berbeda dengan periode Makkah, yang saat itu selalu ada peperangan. Masyarakat tidak menerima agama baru yang dibawakan oleh Nabi Muhammad. Sehingga toleransi antar agama tidak nampak pada periode ini.

Dengan adanya masyarakat majemuk Indonesia dan tingkat toleransi yang tinggi, sampai-sampai terjadi saling bantu-membantu dalam urusan agama. Misalnya, kaum muslimin membantu mengamankan perayaan hari raya umat non-muslim, atau umat non-muslim membantu membangun masjid sebagai tempat ibadah umat muslim.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu, bagaimana fikih memandang hal ini?

Dalam kajian Islam, dikenal ‘imaratul masjid (memakmurkan masjid) yang diartikan sebagai membangun dan memperbaiki masjid, juga menetap dan mendiami masjid untuk beribadah kepada Allah. Jadi, Imaratul masjid mencakup dua macam, yakni fisik dan maknawi.

Menurut Abu Bakar al-Jasshosh, imaratul masjid mempunyai dua makna. Pertama, mendatangi dan mendiaminya. Kedua, membangun dan memperbaikinya.

Al-Qur’an menyebutkan:

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ (17) إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (18

“(17) Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. (18) Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 17-18)

Sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan bahwa para pembesar Quraisy ditawan pada perang Badar, termasuk Abbas bin Abdul Muthalib (566-563 M) yang pada waktu itu belum masuk Islam. Maka, beberapa sahabat Nabi mendatangi mereka sambil menjelek-jelekkan dengan syikir. Ali bin Abu Thalib (599-661 M) pun mencela Abbas karena telah memerangi Rasulullah dan memutus tali persaudaraan. Abbas pun berkata, “Apakah kamu telah melupakan kebaikan kami?” “Memangnya apa kebaikan yang telah engkau perbuat?” Abbas menjawab, “Kami telah memakmurkan Masjdil Haram, menutupi kakbah, memberi minum jamaah haji, dan melepaskan tahanan.” Lalu turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa amal orang-orang musyrik atas masjid tidak berarti apa-apa, karena mereka menyekutukan Allah.

Walaupun secara sabab nuzul masjid yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah Masjidil Haram, namun tidak khusus pada masjid tersebut saja. Karena bentuk kalimat yang digunakan jamak dan dimudlofkan, maka kata tersebut menjadi umum. Dengan begitu, tidak pantas bagi orang-orang musyrik memakmurkan segala masjid dengan segala macam ‘imarah.

Dari ayat ini, sebagian ulama berpendapat ketidakbolehan mempekerjakan orang kafir dalam membangun masjid, karena hal itu termasuk imarah fisik. Namun lahirnya, mempekerjakan orang kafir sebenarnya boleh karena yang dimaksud dengan ketidakbolehan ialah menguasai masjid, seperti jika direkturnya atau penguasa wakafnya orang kafir. Sedangkan mempekerjakan dalam pembangunan, misalnya menatah, melabur, atau memasang, bukanlah bagian dari penguasaan. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Dengan begitu, umat muslim perlu menunjukkan kemandirian dalam memakmurkan masjid. Masjid yang dibangun sebaiknya atas jerih payah dari kaum muslim sendiri. Dikhawatirkan, bila masjid dikuasai oleh orang non-muslim, bisa-bisa beralih fungsi menjadi yang lain. Islam menguasai Eropa ribuan tahun lalu. Di Spanyol ada masjid fenomenal, yakni Masjid Cordoba yang sekarang telah menjadi katedral. Suatu bangunan bersejarah yang lepas dari tangan kita.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari