Sumber gambar: mojok.co

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Pendidikan adalah pondasi utama dalam membangun bangsa, juga merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas manusia dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan bangsa tersebut. Sekolah dan pusat pendidikan menjadi sarana dan akses yang harus diperhatikan oleh masyarakat maupun pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia yang unggul.

Pendidikan menjadi tolok ukur kemajuan bangsa, oleh karena itu, selain menjadi tanggung jawab pribadi, pendidikan juga menjadi tanggung jawab bersama. Pendidikan harus dibangun bukan hanya kepentingan dunia, tetapi juga bekal di akhirat.

Namun pendidikan saat ini seperti terlempar jauh hanya sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan pasar kapitalis. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menyiapkan anak didiknya agar siap menghadapi tantangan zaman. Tidak salah untuk melakukan hal tersebut, namun ada baiknya pendidikan tidak hanya sekadar terpaut pada nilai dan skill duniawi, tetapi juga menanamkan nilai ukhrawi dalam kehidupan.

Mengintegrasikan nilai dalam pendidikan dalam kehidupan nyata itu harus dilakukan oleh para guru. Nilai dunia dan akhirat tidak boleh dipisahkan dalam membangun pendidikan. Hal ini karena hubungan guru dengan murid tidak hanya hubungan transaksional, tetapi hubungan lahir batin yang mengikat antara keduanya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ini sudah tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 66-68, “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpalah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.”

Ayat tersebut menjelaskan tentang penolakan segolongan orang untuk mentaati perintah Allah dan Rasulnya. Mereka memilih untuk mengikuti pemimpin dan pembesarnya yang menyesatkan. Di hari akhir nanti, mereka meminta agar pemimpin mereka diberi azab dua kali lipat karena telah mengajak mereka dalam kesesatan.

Dalam ayat ini juga mengandung makna tersirat bahwa apa yang dilakukan guru sekarang akan terkoneksi dengan akhiratnya, karena guru sebagai teladan dan orang yang memberi jalan ilmu. Jika seorang guru menyesatkan para muridnya, maka dia pun akan mendapat balasan di hari akhir nanti. Ayat ini menjadi pedoman dan pengingat kepada guru untuk berhati-hati dalam mengemban amanahnya sebagai seorang panutan para murid.

Oleh karena itu, dalam proses mengajar, guru tidak boleh lepas dari etika mengajar apabila kesuksesan pendidikan ingin dicapai dengan sempurna. Menurut Ibnu ‘Athaillah,  seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam membimbing muridnya. Hal ini bisa dilihat dalam bukunya yang berjudul Latha’if al-Minan: “Gurumu bukan hanya kau dengar, tetapi adalah orang yang kau ambil darinya.”

Fungsi guru sebagai pembimbing perlu ditekankan kembali. Begitupun murid sebagai peserta didik, ia juga harus menghormati, mentaati, dan mengikuti perannya dalam proses belajar mengajar. Hubungan guru-murid tidak hanya dipahami sekadar penyedia jasa yang membimbing murid dalam proses pembelajaran. Namun hubungan mereka akan dipertanggungjawabkan bukan sekadar di dunia, tetapi juga di akhirat. 

*Penulis adalah alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, saat ini menempuh studi Pascasarjana di IAIN Syehk Nurjati Cirebon.