Oleh: Rahmah Raini Jamil*
Wacana mengenai perempuan selalu menjadi sorotan topik diskusi yang menarik dari semua kalangan. Hampir dalam setiap wacana mengenai perempuan selalu mengemuka bahwa dalam budaya masayarakat telah tertata suatu mindset yang kuat; perempuan dominan dengan dunia domestik, sehingga terdapat beberapa kalangan yang sadar bahwa dunia domestik tidak selalu intrinsik dengan keadilan.
Para pemikir atau aktifis cenderung melakukan kritik terhadap isu perempuan bahwa secara umum, hukum dan sistem hak asasi manusia diberbagai belahan dunia masih didominasi oleh sistem patriarki. Hampir semua yang dianggap kewajiban paten pada perempuan merupakan suatu ketidakadilan. Berbagai wacana mengenai perempuan itu pada gilirannya menghadirkan suatu kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah manusia.
Ketidakmerdekaan perempuan atas dirinya sesungguhnya muncul atas dasar bingkai kesepakatan yang dibuat masyarakat dan akhirnya menjelma menjadi budaya. Situasi dan kondisi ketidakadilan tersebut, bukanlah hal yang alamiah jika diyakini oleh budaya di berbagai negara.
Perempuan seakan hanya barang yang layak untuk dimuseumkan, seringkali dinomorduakan, dimarginalkan, subordinasi, sehingga memiliki beban ganda. Sebagai respon dari persoalan itu semua, kini publik mulai membahas wacana tentang kesetaraan gender. Gender dalam masyarakat awam sering diartikan hanya tentang perempuan sedangkan laki-laki tidak dibahas.
Pemahaman ini memengaruhi masyarakat untuk berfikir bahwa perempuan ingin lebih tinggi atau lebih unggul daripada laki-laki. Padahal feminisme hadir untuk menyuarakan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia, dengan demikian seharusnya tidak ada kekangan ataupun jeratan bagi perempuan untuk ikut andil dalam dunia publik. Hak-hak asasi manusia memberi basis fundamental bagi kemerdekaan dan kesetaraan setiap individu manusia; lelaki, perempuan, dan makhluk Tuhan apapun.
Nuril Hidayati menyebutkan bahwa Simone de Beauvoir menyetujui pemahaman Sigmund Freud yang telah memunculkan pergeseran cara pandang yang signifikan terhadap wacana keaslian laki-laki dan perempuan yang seolah-olah tidak sanggup diubah selama berabad-abad. Baginya hal mendesak yang perlu segera dilakukan adalah menyediakan suatu bagian penting bagi perempuan dalam interaksi sosialnya.
Memberontak perempuan agar keluar dari wilayah domestik dan kepasifan serta menolak penyingkiran perempuan dari agensi sosial dan emosional. Di Indonesia kurang lebih terjadi hal yang serupa dengan negara lainnya. Perempuan Indonesia cenderung terkonstruk untuk memenuhi aturan-aturan yang bahkan dapat merugikannya, aturan tersebut bersumber dari tradisi, sosial budaya serta agama.
Awal Abad XX, perempuan tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Perempuan dibatasi untuk sekolah, akibat dari pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya pekerjaannya tetap di dapur. Setelah itu sekitar tahun 1900-an muncul gerakan perempuan atau yang disebut feminisme untuk menyumbangkan suaranya kepada khalayak bahwa perempuan juga perlu menuntut ilmu, sama halnya dengan laki-laki.
Menjawab permasalah ketidakadilan gender yang ada, seorang tokoh feminis Indonesia akhir Abad XX bernama Kyai Husein Muhammad memiliki pemikiran bahwa ketimpangan gender yang ada dipengaruhi oleh tradisi, pola beragama masyarakat terutama dari norma-norma dan teks-teks keagamaan. Ketimpangan dan pola beragama itulah yang kemudian menghasilkan kebudayaan yang sangat besar.
Hal tersebut diperlukan pemahaman antara kodrat seorang perempuan dan konstruksi sosial. Sejatinya, perempuan ialah sama-sama manusia yang memiliki hak untuk berperan secara baik; di area domestik maupun publik. Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar secara umum masih memperlihatkan secara jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Jika ditelusuri lebih jauh, di sisi lain terdapat kapasitas perempuan yang tidak berbeda jauh dari laki-laki baik dalam intelektualitas maupun peran sosial dalam masyarakat, namun hal itu jarang tertulis dalam sejarah.
Kiai Husein berhasil menguak peran-peran perempuan Indonesia yang jarang terekam dalam sejarah peradaban. Kyai Husein berusaha menghadirkan bukti-bukti sejarah tentang peran perempuan yang menjadi ulama, cendekia, dan intelektual dengan berbagai keahlian, serta kapasitas intelektual yang relatif sama, bahkan sebagian mengungguli peran laki-laki. Fakta ini juga telah menggugat pemikiran banyak orang bahwa akal, moralitas, kecerdasan dan intelektualitas perempuan lebih rendah dari akal, moralitas, dan intelektualitas laki-laki.
Jumlah peran perempuan yang lebih sedikit dari peran laki-laki sebenarnya bukanlah hal yang mendasar. Satu atau dua perempuan yang berperan saja telah cukup membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi dan kualitas intelektual yang tidak selalu lebih rendah dari laki-laki. Feminisme telah mengantarkan perempuan kini mendapat kesempatan untuk berkontribusi dalam ruang publik. Sekarang hanya diperlukan kesadaran diri perempuan untuk mengolah pola pikirnya dan kemudian ikut berperan.
Kontestasi peran perempuan kini telah dapat dilihat dalam berbagai aspek serta pengambil kebijakan publik, baik kultural maupun struktural. Pada titik ini jelas diperlukan pembacaan ulang atas aturan-aturan yang diskriminatif. Menurut Kyai Husein, selama ini masalah utamanya terletak pada diri sendiri, masyarakat, budaya, tradisi, politik, instrumen-instrumen hukum, pandangan keagamaan, dan kebijakan lain dalam memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.