Oleh: Diba*

Sejarah Perjuangan kemerdekaan tidak luput dari peran serta ormas-ormas Islam Indonesia. Salah satu diantaranya adalah peran Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu peran penting, dimana 9 November 1945 sore, Kiai Hasyim Asy’ari yang baru kembali dari Kongres Masyumi di Yogyakarta menjawab ultimatum sekutu itu dengan fatwa bahwa “Fadlu ‘Ain hukumnya bagi seluruh umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilometer dari Surabaya untuk membela Surabaya”.

Umat Islam yang mendengar Fatwa Jihad itu terbakar semangatnya. Mereka keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan Sekutut pimpinan Inggris yang diboncengi NICA. Meletuslah peristiwa bersejarah 10 Nopember 1945.

Namun, di antara pengaruh terpenting KH. Hasyim Asy’ari adalah pada saat mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945.4 Fatwa ini antara lain berbunyi:

  1. Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun orang fakir.
  2. Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid.
  3. Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Berpijak pada fatwa inilah, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pekik Takbir

Sejarah juga mencatat Pertemuan 10 November 1945, sebagai pertemuan paling membara dalam sejarah kemerdekaan Indonesia yang akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan. Salah satu tokoh dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo.

Betapa tegangnya suasana Surabaya pasca proklamasi. Ada beberapa tentara Belanda yang setelah kekalahan Jepang memprovokasi bangsa Indonesia dengan polah tingkahnya yang jemawa. Di akhir Agustus 1945 mereka meminta agar pimpinan Kota Surabaya mengibarkan bendera triwarna (bendera Belanda) untuk memperingati ulangtahun Ratu Wilhelmina.

Tindakan ini kemudian mencapai puncaknya saat terjadi bentrokan antara rakyat Surabaya dengan serdadu Belanda di Hotel Oranje (Hotel Majapahit), dan heroisme rakyat saat menyobek warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di tiang atas Hotel Oranje hingga menyisakan warna merah dan putih.

Baca Juga: https://tebuireng.online/meneguhkan-pahlawan-milenial/

Dalam buku “Pekik Takbir Bung Tomo: Perjalanan Hidup, Kisah Cinta, & Perjuanganya”, karya Fery Taufiq (2020), dijelaskan Bung Tomo memiliki peran utama melalui orasi yang membakar rakyat. Julukan “Bung Tomo” sebenarnya mulai muncul ketika mulai menginjak usia dewasa, dan watak dasar sebagai pemuda pejuang menjelang masa Proklamasi 17 Agustus 1945.

Masa kecil Bung Tomo dihabiskan di kota Surabaya, saat ini dikenal dengan kota pahlawan. Dalam suasana yang serba sulit, berbagai macam tekanan penjajah. Tumbuh dari suasana dan lingkungan sosial yang masih terjajah justru berkembang menjadi penuh semangat dan memilki konsistensi tinggi sebagai modal keinginannya membebaskan bangsanya dari belenggu penjajahan.

Sebagai daerah yang dikenal sebagai gudangnya santri, namun Bung Tomo memang tak pernah nyatri tapi dekat dengan Kiai, tetapi memiliki religiusitas yang tertanam di tengah keluarganya.  Oleh sebab itu, beberapa gerakan perjuangannya dipengaruhi oleh nasihat Kiai Hasyim Asy’ari, bahkan untuk menggerakan massa ke dalam perjuangan 10 November lewat pidatonya, ia meminta petuah langsung dari Kai Hasyim Asy’ari.

Di Surabaya, semangat ‘Arek-Arek Suroboyo’ meningkat karena dipacu pekik “Allahu Akbar” Bung Tomo, selalu mempertahankan semangat tersebut dalam setiap orasinya yang sangat memukau. Siapa saja yang mendengarkan bait-bait orasinya, pasti akan merasa kagum dan tergiring mengikuti apa yang diarahkannya, oleh karena itu menjadikan pertemuan sengit akhirnya berhasil membunuh panglima tantara Inggris, Aubertin Walter Southern (A.W.S) Mallaby atau dikenal dengan Jendral Mallaby, 30 Oktober 1945.

*Disarikan dari berbagai sumber.