KH. Salahuddin Wahid (Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang)

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Pada Januari 2020 Nahdatul Ulama berusia 94 tahun. Dengan kalender Hijriah usianya 97 tahun. Berarti tiga dan enam tahun lagi lembaga ini akan berusia 100 tahun. Suatu usia yang panjang. Tidak banyak organisasi yang mencapai usia 100 tahun, apalagi berprestasi tinggi. Di Indonesia organisasi besar yang sudah berusia 100 tahun dan punya prestasi tinggi adalah Muhammadiyah.

Kita perlu merefleksi perjuangan panjang  jama’ah (warga) dan jam’iyah (organisasi) supaya bisa meneruskan dengan arah dan cara yang benar. Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah menggarap film Jejak Langkah Dua Ulama, berkisah tentang perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan KH. M Hasyim Asy’ari. Film itu diharapkan bisa menggambarkan perjuangan kedua tokoh itu dalam mendirikan dua organisasi yang menjadi jangkar Indonesia.

Nahdlatul Ulama (NU) mengandung empat pengertian, pertama adalah ajaran, kedua ulama dan pesantren, ketiga warga dan keempat organisasi. Ajaran yang dianut oleh organisasi NU adalah ahlusunnah wal jama’ah (aswaja) an nahdliyah. Istilah aswaja dipakai oleh banyak kalangan Islam. Untuk memberi kekhususan diberi ciri an nahdiyah.

Dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut ahlusunnah wal jama’ah. Pahamnya bersumber pada Al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi. Dalam bidang fikih, NU mengakui mazhab empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam tasawuf, NU mengikuti Imam Al-Ghazali, Junaid Al-Baghdadi, dan imam-imam lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam penerapan nilai-nilai aswaja, NU menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah ada. Dari sisi aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan. Dalam sikap kemasyarakatan, khitah NU menjelaskan empat prinsip aswaja: tawasut (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang) dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran).

Ada satu aspek yang belum dicantumkan sebagai bagian dari aswaja an nahdliyah, yaitu dalam bidang politik. NU ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945, NU adalah pelopor dalam menerima Pancasila dan Muktamar 1984. NU ikut berjuang dalam ikhtiar mendirikan Departemen Agama pada 1946.

NU menjadi pelopor dalam terbitnya UU Perkawinan pada 1973-1974. Juga dalam terbitnya UU Peradilan Agama pada 1989 serta sejumlah UU yang mengakomodasi syariat Islam. Ada aspek lain yang penting, tetapi belum banyak dibahas, yaitu pemikiran ekonomi Islam aswaja, menurut saya, ini perlu dimasukkan ke dalam aswaja an nahdliyah.

Belakangan para tokoh PBNU gentar berkampanye tentang Islam Nusantara meski sejumlah ulama NU menolak istilah itu, seperti KH. Hasyim Muzadi dan Lukman Hakim Saifuddin. Mereka lebih setuju istilah Islam di Nusantara. Tampak bahwa para tokoh PBNU masih berbeda pandangan dan pengertian tentang Islam Nusantara. Diharapkan Muktamar ke-34 bisa mempertegas substansi Nusantara.

Ulama dan Pesantren

Organisasi NU didirikan para ulama dan disebarkan oleh santri di ribuan pesantren. NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Pesantren didirikan warga NU, bukan organisasi NU, jadi mereka independen terhadap organisasi NU. Jumlah pesantren di seluruh Indonesia saat ini mencapai 28.000, berkembang pesat dari 10.000 pesantren pada 1999. Sebagian besar adalah pesantren kecil. Di Jawa sekitar 80 persen. Lebih dari 90 persen adalah pesantren warga NU.

Muhammadiyah dan Hidayatullah dalam dua dekade terakhir giat mendirikan pesantren. Ratusan pesantren mendirikan sekolah tinggi agama dan belasan pesantren mendirikan universitas. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara, memberikan sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan bangsa, memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Namun, perhatian pemerintah belum sebanding dengan peran pesantren.

Direktorat yang membawahkan pesantren baru berdiri tahun 2000. Dengan adanya UU pesantren, diharapkan direktorat ditingkatkan menjadi derektorat jenderal: semacam “program afirmatif” untuk mendorong pesantren lebih maju. Menurut lembaga survei, jumlah orang yang mengaku warga NU dan cenderung ke NU mencapai 40 persen jumlah umat Islam, sekitar 90-95 juta. Itu terdiri dari mereka yang mengikuti aswaja annahdliyah, para keturunan warga NU, atau yang cenderung pada sikap keberagaman NU.

Kebanyakan dari mereka adalah petani dan masyarakat menengah bawah. Warga NU alumnus pesantren sudah banyak yang belajar di universitas ternama di banyak negara barat, tidak hanya di Timur Tengah. Muncullah perbedaan penafsiran ajaran Islam yang harus dijembatani dengan arif.

Kita sering mendengar ucapan bernada bangga dari tokoh NU tentang fakta jumlah warga NU. Apakah fakta itu membuat NU dalam politik lebih kuat? Ternyata tidak. Dalam pemilu 2019, menurut exit-poll sebuah lembaga survei, 15 persen warga NU memilih PKB, 17 persen memilih PD–P, dan 5 persen memilih PPP (partai yang NU pernah terlibat di dalamnya).

Apakah fakta itu membuat prestasi organisasi NU lebih baik dibandingkan ormas lain? Juga tidak. Ribuan pesantren dan sekolah/masyarakat yang berada di dalamnya bukan peserta NU. Jusuf Kalla pernah mengatakan, Muhammadiyah adalah holding company, NU lebih mirip franchise.

Organisasi NU

Organisasi NU didirikan pada Januari 1926 untuk meningkatkan efektivas dakwah jama’ah NU. Sampai tahun 1950-an organisasi NU berjalan baik dan berencana kerja sama ekonomi dengan pihak Jepang. Saya ingat, pada 1951/1952 saya sering diajak ayah saya mengunjungi percetakan Yamunu (Yayasan Muawayah NU) di Jalan Juanda dekat rel. Percetakan itu mencetak buku nikah. Namun, beberapa tahun kemudian percetakan berhenti karena order dialihkan ke percetakan milik tokoh NU.      

Saya juga ingat, pada 1959 dalam rangka pelatihan pandu Ansor untuk Jambore Internasional di Makiling, Filiphina, saya dan sejumlah kawan menginap di gedung milik NU di Jalan Sudirman. Di banyak kota terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, ada fasilitas sosial, kesehaatan dan pendidikan yang didirikan organisasi NU dan organisasi di bawahnya, terutama Muslimat NU.

Setelah NU berubah menjadi partai NU akhir april 1952, budaya dan paradigma ormas NU berubah menjadi partai politik. Fokus organisasi NU bergeser dari usaha sosial dan pendidikan menjadi kegiatan politik. Titik lemah NU justru terletak pada organisasinya. Ketua PBNU pasca-KH A Wahid Hasyim (wafat april 1953) bukan tokoh yang sadar organisasi, termasuk aspek keuangan. Organisasi badan otonom dan lembaga di bawah PBNU yang memberi perhatian besar kepada kegiatan sosial dan pendidikan adalah Muslimat NU dan Fatayat NU.

Praksis Parpol

Banyak tokoh PBNU pada posisi strategis adalah politisi atau bersikap politis. Paradigma dan praktis organisasi menjadi seperti parpol: pragmatis dan menghalalkan segala cara. Muktamar ke-32 NU (Makasar) dan Muktamar ke-33 (Jombang) jadi contoh nyata. Satu masalah lain dalam organisasi adalah kerancuan kepemimpinan: siapa pemimpin tertinggi dalam organisasi NU, antara rais aam dan ketua umum? Secara teori, yang tertinggi adalah rais aam, tetapi karena keduanya dipilih dalam muktamar, ketua umum tidak selalu manut pada rais aam. Seperti ada dua matahari.

Sejak awal rais aam adalah penentu kebijakan dan ketua umum adalah pelaksana kebijakan. Jadi, ketua umum sebaiknya organisator, pemimpin dan punya kemampuan manajerial. Dia eksekutor bukan hanya orator. Ketua umum sebaiknya punya integritas tinggi, berwawasan agama luas, mampu berkomunikasi dan tidak menggunakan posisi untuk kepentingan diri dan kelompok.

Kenyataannya, kehadiran NU sebagai partai politik 1952-1984 amat membekas dalam para diri tokoh NU. Keterlibatan sebagai partai politik selama 32 tahun tidak mudah dihapus bekasnya, apalagi pada 1998 tokoh-tokoh PBNU mendirikan PKB. Jadi, NU lepas dari keterlibatan politik hanya 1984-1998 (14 tahun).

Kiprah NU dalam kehidupan politik sudah diatur dalam Khitah NU. Khitah NU menjadi landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU: perseorangan maupun organisasi. Khitah NU ada 9 butir: 1. Mukadimah; 2. Pengertian; 3. Dasar-dasar paham keagamaan NU; 4. Sikap kemasyarakatan NU; 5. Perilaku Keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU; 6. Beberapa Ikhtiyar; 7. Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama; 8. NU dan kehidupan bernegara; 9. Khatimah.

Perhatian masyarakat terutama pada butir delapan tentang NU dan kehidupan bernegara. Di dalamnya terkandung banyak alenia, tetapi fokus masyarakat hanya pada alenia kelima yang isinya adalah: “NU secara jam’iyah tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Setiap warga NU adalah warga negara dengan hak politik dan dilindungiundang-undang”.

Sejak awal sudah ada yang mengusulkan supaya NU tidak sepenuhnya meninggalkan politik praktis. Mahbub Djunaedi mengusulkan “Khitah Plus” tapi tidak ditanggapi positif. Rais aam PBNU KH. Sahal Mahfudz menyatakan bahwa politik NU adalah politik kebangsaan, politik keutamaan, bukan politik kekuasaan atau politik praktis. KH. Asy’ad Samsul Arifin menyatakan bahwa NU tidak kemana-mana. Maksudnya organisasi NU tidak ikut partai manapun, tetapi warga NU ada di banyak partai.

Dalam kenyataan, organisasi NU pergi ke (ikut) satu partai (PKB). Bahkan sedikit atau banyak ada campur tangan partai l = terhadap struktur NU. Ternyata warga NU yang memilih PKB hanya 15 persen dan yang memilih PPP 5 persen. Struktur NU. Struktur NU mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan 2/3 warga NU memilih pasangan itu.

Yang kurang elok, saat tidak ada menteri yang dianggap mewakili PBNU, tokoh-tokoh NU seperti ngambek. Tentu tidak ada menteri yang mewakili PBNU karena NU bukan partai politik walaupun berperilaku dan bertindak seperti partai. Struktur NU saat ini berpendapat bahwa Khitah NU pada masalah politik bersifat situasional dan kondisional. Mereka mengatakan bahwa NU adalah ashabul qoror, bukan hanya ashabul haq.

NU juga berkepentingan dengan kekuasaan, bukan hanya kebenaran. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa karena organisasi NU memberi perhatian utama pada masalah politik, maka kegiatan organisasi dalam amal usaha (kegiatan pendidikan, sosial, kesehatan, dan ekonomi) terabaikan. Pendapat dan sikap PBNU bahwa NU adalah ashabul qoror, bukan ashabul haq harus dibahas dalam muktamar. Masalah ini amat mendasar dan menentukan masa depan NU, bahkan masa depan Indonesia.

NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia.

*Pengasuh Pesantren Tebuireng.

 Tulisan ini pernah dimuat di koran harian Kompas (Opini, 27 Januari 2020).