IMG_8564Oleh: Cholidy Ibhar*

Kokoh pendirian dan keukeuh dengan sikap. Itulah potret Ustadz Ali Musthofa Ya’kub. Dari yang sederhana saja hal itu terlihat, misalnya dalam mengenakan kopiah. Sejak pertama bertemu di paruh awal tahun 1970-an, saya perhatikan Ustadz Ali Musthofa Ya’kub tidak pernah bergeser kesukaan mengenakan kopiah berukuran tinggi. Lazimnya, kopiah berukuran tinggi 10 hingga 11 cm itu, terhitung tinggi.

Perlu segera ditambahkan di sini, fenomena kopiah tinggi yang dikenakan para seniman orkes Gambus atau ditiru oleh sebagian politisi pada tahun 2000-an merupakan pengecualiaan. Kendati jika ditarik benang merahnya kopiah tinggi bertemu pada tradisi kopiah tinggi yang dikenakan Whirling Dervishes, penari tarekat Maulawiyah yang merupakan pengikut Jalaluddin ar-Rumi di Turki atau di Suriah.

Padahal, rentang tahun 1970-an pernah terjadi dinamika yang mencolok soal trend mengenakan kopiah di kalangan santri. Selera kopiah berukuran pendek menjadi mainstream. Ini bukan melulu perkara menyelerasakan ukuran dan bentuk postur santri dengan ukuran kopiah. Baik santri yang berfisik tinggi dan pendek pada tahun 1970-an ramai-ramai kejangkitan berkopiah ukuran pendek.

Saya tidak tahu persisnya, dari mana dan siapa yang mengawali tradisi kopiah pendek di kalangan santri. Memang Rhoma Irama pernah terlihat mengenakan kopiah berukuran pendek, namun saya meragukan kalau kiblat kopiah berukuran pendek bermula dari raja dangdut. Malah, saya perhatikan justru kopiah berukuran pendek tampak lebih awal dikenakan para pelawak seperti Asmuni, Cak Kancil dan seterusnya. Atau kopiah berukuran pendek terlihat pada para pemeran pembantu berbagai lakon di pementasan Ludruk.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saya sendiri pernah terkena virus meniru berkopiah pendek dan mencoba merehab sendiri kopiah yang semua berukuran tinggi 9 menjadi 7. Walau tidak lama saya mengenakannya, karena terasa “lucu”, aneh dan tidak pantas. Namun, itulah mode, trend, gaya yang pernah menghentak dan fenomenal di tahun 1970-an.

Kembali ke Ustadz Ali Musthofa Ya’kub, keberprinsipannya juga tampak pada pilihannya dalam nyantri. Awalnya, tahun 1966 hingga tahun 1969 memilih nyantri di Pesantren Seblak. Padahal masyarakat santri di Pantura Jawa Tengah–lebih lebih di Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes–lebih banyak mengenal dan memilih nyantri di pesantren Tebuireng ketimbang Pesantren Seblak. Namun Ustadz Ali Musthofa teguh dengan pilihan nyantri di Pesantren Seblak.

Yang ketiga, penanda kuatnya Ustadz Ali Musthofa dalam berprinsip, terlihat pula pada soal pilihan berpakaian. Warna baju berwarna putih selalu menjadi andalan dan karakternya. Di mana saja dan kapan saja, warna putih merupakan favoritnya. Dari ketiga hal sederhana itu, menjadi modal berharga dari sisi yang lain untuk mengerti pribadi Ustadz Ali Musthofa Ya’qub yang teguh pendirian, tidak terpengaruh oleh faktor apapun dan kukuh berpegang pada keyakinan dan keilmuannya.

Gambaran itu semua menebalkan natijah bahwa Ustadz Ali Musthofa berkarakter, teguh prinsip dan kuat sandaran rujukan pemikiran keagamaannya. Makanya di internal MUI, Ustadz Ali Musthofa memiliki julukan yang masyhur sebagai “rajulun ilaihi munthaha”. Jika hukum suatu persoalan dimintakan pendapatnya, runtuhlah pandangan yang lainnya dan perspektif hukum yang disorongkan oleh Ustadz Ali Musthofa yang menjadi pegangan.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen