IMG_8564Oleh: Cholidy Ibhar*

Biasanya, saat tiba awal musim giling tebu di PG Tjoekir, merupakan kegembiraan yang luar biasa bagi masyarakat seputaran pabrik warisan Belanda itu. Tidak terkecuali, dirasakan oleh kalangan santri. Dihelat berbagai hiburan rakyat, warna warni digelar lapak-lapak barang dagangan dan kuliner. Tentu saja, tontonan pamungkasnya adalah pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Riuh rendah dan bersautan teriakan dari arah lapak kiri kanan jalan para penjual jamu dan tukang obral. Meriah dan semaraknya gak ketulungan pasar malam atau yang lazimnya disebut “Tayuban” dan memantik berlipat semangat untuk dinikmati oleh kalangan santri sebagai hiburan yang ditunggu-tunggu. Hiburan tahunan itu diapresiasi oleh pengurus Pesantren Tebuireng, jam belajar-pun dilonggarkan.

Santri berhamburan keluar dari “pertapaannya”, menikmati dan larut dalam nuansa pesta rakyat. Jalanan sekitar pabrik gula tumplek bleg oleh lautan manusia, serba macet, semua ruas jalan dan pergerakan manusia yang “uyel-uyelan” membuat arus jalan serba melambat.

Kian malam, suasana menjadi macet total. Jadinya, Pesantren Tenuireng lengang, sepi dan nyaris seperti tidak berpenghuni. Hanya beberapa saja yang tidak tertarik menikmati hiburan gratis yang populistik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun apa yang terjadi pada pribadi Ustadz Ali Musthofa Ya’Kub? Ternyata, Tayuban yang dinanti-nanti, digadang-gadang dan diimpi-impikan kehadirannya oleh berbagai kalangan itu tidak menggores, tidak mampu merayapi psikologi dan menjadi magnet serta daya tarik bagi Ustadz Ali Musthofa sedikitpun. Baginya, lebih afdhol mendaras al-Quran di makam, repetisi hafalan alfiah atau menyiapkan sorogan kepada Kiai Idris.

Tentu, ada pertimbangan syar’i pula bagi Ustadz Ali Musthofa. Tayuban yang penuh sesak manusia itu membuka peluang berubah menjadi suasana berdesakan tan tak urung sulit bisa dihindari persentuhan dan “senggol senggolan” di antara lawan jenis.

Ustadz Ali Musthofa memanglah terkenal dengan stigma santri yang “tidak tolah toleh”, kecuali fokus pada “tholab al-ilmi”. Diyakininya betul, soal masa depan itu buah dari kesungguhan belaka. Kesungguhan ta’allum, dari sinilah dengan sendirinya bakal memetik tafaqquh fiddin. Ketinggian ilmu–sebagaimana garansi Allah–akan mengangkat derajat seseorang.

Dus, menjadi santri, tidak perlu risau, khawatir dan takut akan masa depannya. Lewat meniti keseriusan menjadi santri pastilah mengantarkan kepada masa depan sebagai ‘alim, shalih dan memetik “hayatan thayyibah”.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen