Oleh: KH. Dr. Ir. Salahuddin Wahid

Alkisah, suatu ketika Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sinai tempat di mana ia menerima perintah-perintah Tuhan.

Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang abid (ahli ibadah) yang sedang uzlah (menjauh dari keramaian). Sang abid yang tahu bahwa Nabi Musa akan menghadap Allah SWT memohon supaya ditanyakan di surga tingkat berapa ia nanti akan ditempatkan di akhirat. Nabi Musa bertanya bagaimana sang abid itu begitu yakin akan masuk surga. Sang abid menjawab, ia sudah 40 tahun mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia. Ia tidak pernah berbuat dosa, hanya berzikir dan beribadah kepada Allah.

Nabi Musa melapor kepada Allah bahwa di tengah perjalanan ia bertemu abid yang mohon jawaban di surga tingkat berapakah ia akan ditempatkan. Jawab Allah: sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka.

Nabi Musa pulang dan menemui sang abid yang dengan semangat dan penuh optimisme lalu bertanya, di lantai berapa tempatnya di surga. Nabi Musa lama berdiam diri karena sulit menjawab. Lalu Nabi Musa menjawab bahwa abid itu harus sabar karena akan ditempatkan di neraka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sang abid tak percaya dirinya yang sudah beribadah selama 40 tahun harus masuk neraka. Ia lalu berkata, mungkin Nabi Musa salah dengar dan mengusulkan  Nabi Musa menghadap Allah lagi dan memastikan di surga tingkat berapa abid itu akan ditempatkan. Nabi Musa, yang berpikir mungkin dirinya salah dengar, menghadap Allah lagi.

Nabi Musa matur bahwa ia ingin kejelasan apa benar sang abid akan dimasukkan ke neraka? Jawab Allah, katakan bahwa tempatnya nanti di surga. Tadinya Aku mau menempatkannya di neraka karena Aku menciptakan manusia bukan untuk bersikap egoistis, termasuk karena alasan spiritual. Aku menciptakan manusia untuk membantu manusia lain. Abid itu bukan mendekatkan dirinya pada-Ku, tetapi melarikan diri dari kehidupan yang nyata.

Ya Allah, secepat itukah keputusan-Mu berubah? Jawab Allah, pada saat engkau menuju ke sini lagi, Abid itu tersungkur dan menangis tersedu-sedu. Ia memohon kepada-Ku kalau ia ditempatkan di neraka, supaya tubuhnya dijadikan sebesar neraka, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalam neraka kecuali dirinya. Ketika memohon seperti itu, ia tidak egoistis lagi, tetapi telah mementingkan orang lain.

Ibadah sosial

Pesan dari kisah di atas ialah bahwa  ibadah mahda (ritual) dan ibadah sosial tak dapat dipisahkan, keduanya harus dijalankan. Kita tak boleh hanya menjalankan salah satunya. Banyak kita lihat orang yang rajin dan tekun menjalankan ibadah mahda, tetapi melalaikan ibadah sosial. Sebaliknya ada orang yang melalaikan ibadah mahda, seperti shalat, puasa, zakat, haji, tetapi aktif dalam ibadah sosial, seperti membantu kaum lemah atau ibadah sosial lain.

Ibadah mahda yang bersifat hubungan pribadi antara manusia dan Allah  adalah ibadah yang pahalanya untuk diri sendiri. Sementara ibadah sosial itu sifatnya memang hubungan antarmanusia, tetapi juga mengandung hubungan dengan Allah.

Menarik untuk diperhatikan, Islam mengatur bahwa ibadah mahda bisa diganti dengan amal sosial, sebagai contoh bahwa orang yang tidak kuat untuk berpuasa karena alasan yang benar bisa mengganti puasa itu dengan membayar fidyah, tetapi orang yang tidak membayar zakat tidak bisa menggantinya dengan shalat atau puasa.

Puasa Ramadhan sebagai ibadah mahda diharapkan memberi dampak berupa ibadah sosial bagi yang berpuasa. Dalam berpuasa, kita merasakan lapar yang bersifat sementara karena setelah tiba waktu maghrib kita bisa makan dan minum. Dengan merasakan lapar bersifat sementara itu, diharapkan kita bisa merasakan beratnya rasa lapar permanen yang dirasakan oleh orang yang tidak punya cukup uang untuk membeli makanan. Dampak yang diharapkan ialah kita mau membantu orang yang kekurangan. Namun, tidak semua orang berpuasa Ramadhan bisa memperoleh dampak positif itu.

Dalam surah Al-Ma’un ditentukan orang yang mendustakan agama ialah orang mengusir anak yatim dan tak menganjurkan (tentu juga melakukan) memberi makan orang miskin. Dan juga ditentukan bahwa celakalah orang yang shalat, tetapi melalaikan shalatnya, yaitu orang yang riya (yang ingin dipuji) dan enggan bersedekah. Surah ini seyogianya menggarisbawahi dampak positif puasa yang berbentuk kepedulian terhadap orang yang sulit memperoleh makanan.

Kondisi terkini

Berdasarkan data yang ada, di Indonesia masih banyak rakyat bergizi buruk atau kekurangan gizi, belasan persen dari jumlah penduduk. Dan, tampaknya banyak umat Islam yang mampu secara ekonomi belum membantu kaum fakir sebagaimana mestinya. Mungkin juga tidak banyak yang bertanya kepada dirinya sendiri apakah dia termasuk orang yang bisa disebut sebagai pendusta agama karena tidak memberi makan orang kekurangan gizi yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

Saya ingin mengemukakan dua fakta sebagai gambaran kondisi kita. Menurut penelitian Bank Pembangunan Islam (IDB), potensi ZIS (zakat, infak, sedekah) di Indonesia di atas Rp 200 triliun). Pada 2016, dana ZIS yang terkumpul melalui LAZ/BAZ berjumlah sekitar Rp 5 triliun. Mungkin yang menyalurkan ZIS tak melalui LAZ/BAZ juga sebesar Rp 5 triliun. Keseluruhannya sekitar Rp 10 triliun. Dibandingkan dengan Rp 200 triliun, jumlah itu hanya mencapai 5 persen.

Jumlah yang pergi umrah setiap tahun mencapai satu juta orang. Kalau satu orang membayar 2.000 dollar AS, dana untuk pergi umrah per tahun mencapai 2 miliar dollar AS atau sekitar 27 triliun rupiah. Ibadah umrah yang, menurut saya, prioritasnya ada di bawah ZIS ternyata mampu menarik dana dari rekening Muslimin Indonesia hampir tiga kali lipat jumlah dana ZIS  per tahun. Sekali lagi,  ibadah mahda lebih menarik, lebih nikmat dan dianggap lebih utama dibandingkan dengan ibadah sosial.

Saya menduga banyak umat Islam yang belum atau tidak sepenuhnya menyadari arti penting dari apa yang dikemukakan di atas. Kalau mereka sering diingatkan, insyaallah mereka akan tergerak untuk mau membantu saudara seagama atau saudara sebangsa yang mengalami kekurangan gizi dan kekurangan lain. Mungkin diperlukan suatu sistem yang membantu memudahkan Muslimin untuk bisa membantu orang yang kekurangan gizi di sekitar lingkungan di mana dia tinggal.


Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, pada 9 Juni 2017, dimuat ulang untuk keperluan pendidikan.