ilustrasi datang bulan atau menstruasi

Oleh: Umu Salamah*

Darah haid umumnya bisa diketahui melalui warna, sifat, masa keluarnya, serta khususiyahnya. Namun terkadang yang membingungkan para wanita adalah ketika darah tersebut tidak keluar seperti biasannya. Misalnya ketika yang keluar adalah lendir yang keruh atau kekuningan. Dalam beberapa kasus, wanita masih saja mempertanyakan apakah itu darah haid atau bukan. Jika lendir tersebut keluar beringingan dengan masa darah haid, apakah wanita tersebut sudah dianggap suci atau belum.

Sebenarnya, di dalam kitab-kitab yang membahas tentang haid yang dikaji di pesantren-pesantren sudah dijelaskan bahwa menurut qoul ashoh warna darah haid itu ada lima, meliputi; hitam, merah, coklat, kuning dan keruh (putih tulang). Jika seorang wanita mengeluarkan lendir berwarna keruh atau kuning itu artinya hukum haid berlaku pada wanita tersebut, seperti keharaman sholat, puasa, membaca al-Quran, menyentuh dan membawanya, serta keharaman-keharaman yang lain.

Hanya saja, terkadang yang menjadi probem bersama adalah kasus-kasus yang dijumpai menuntut untuk tidak menghukumi lendir tersebut sebagai haid. Lalu bagaimana fiqih menanggapi hal ini?

Sayyidah Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anhaa berkata:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

كُنَّا لَا نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِشَيْئًا

“Kami tidaklah sedikit pun memperhitungkan cairan berwarna kuning maupun keruh setelah masa suci” (H.R. Abu Dawud)

Dari hadis ini bisa dipahami bahwa cairan berwarna kuning ataupun keruh bukanlah darah haid. Sedikit berbeda dari hadist Ummu Athiyah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mulqin;

كنَّ نساءٌ يبعثنَ إلى عائشةَ بالدَّرجةِ فيها الكُرسُفَ فيه الصُّفرةُ فتقولُ لا تعجلنَ حتّى ترينَ القصَّةَالبيضاءَ

“Beberapa wanita datang menemui sayyidah Aisyah dengan membawa durjah (sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk mengetahui masih ada atau tidaknya sisa-sisa darah haid) yang di dalamnya terdapat kapas dengan cairan berwarna kekuningan (shufrah), maka ‘Aisyah berkata: Janganlah kalian tergesa-gesa (untuk bersuci) hingga kalian melihat al-qashshatul baidha.”

Dalam kitab Ianah at-Tholibin dijelaskan, Imam Ahmad Ibn Hanbal pernah bertanya kepada Imam Syafi’i radhiya Allahu ‘anhuma tentang qissah al-baidho’. Lalu Imam Syafii menjawab; “itu adalah sesuatu yang mengiring-iringi darah haid, jika seorang wanita melihatnya maka hukumnya suci”.

Dari hadis ini, bisa dipahami bahwa cairan keruh belum bisa dikatakan suci, sehingga masih dihukumi sebagai haid. Mafhumnya adalah, cairan keruh tersebut masih dihukumi darah haid.

Meruntut dari dua hadis di atas, ulama berbeda pendapat. Di dalam kitab al-Inba’ an Masail ad-Dima’ disebutkan tiga pendapat berbeda. Pendapat pertama adalah pendapat yang diaggap paling ashoh menjelaskan bahwa lendir kuning atau keruh termasuk warna darah haid secara mutlaq, baik keluar pada hari-hari haid ataupun tidak, selama dalam masa imkan al-haid (masa memungkinkan keluar darah haid).

Pendapat kedua mengatakan bahwa lendir kuning dan keruh tidak termasuk warna darah haid. Dengan alasan kedua warna tersebut bukan warna darah secara umum, kecuali jika keluar saat hari-hari haid. Maka, bisa dikatakan sebagai haid.

Pendapat ketiga datang dari dari dua ulama yang kapasitas keilmuannya tidak diragukan lagi. Beliau berdua adalah Imam Ghazali dan guru beliau, Imam Haramain. Dinuqil dari kitab Al-Mahalli, Imam Ghazali berpendapat tentang lendir keruh atau kuning yang keluar dari farji wanita. Beliau mengatakan, “keduanya adalah cairan yang berwarna kuning dan keruh, bukan merupakan darah. Sedangkan Imam Haramain mengatakan, “keduanya seperti nanah yang memunculkan warna keruh dan kuning, keduanya bukanlah warna darah.

Pada dasarnya, perbedaan pendapat ini didasarkan pada pemahaman tentang teks dalil yang berbeda-beda. Seringkali berbeda itu justru membuat beragama terasa lebih mudah. Karena jika semua ulama tanpa terkecuali sepakat mengatakan A, maka yang repot adalah umat Islam sendiri. Adanya perbedaan pendapat antar ulama’ adalah karena prinsip kasih sayang (rahmat) kepada umat Islam. Sehingga umat Islam bisa mengikuti pendapat yang telah dirumuskan oleh para ulama. Maka ada celah bagi umat untuk tidak menentang syariat, karena ulamanya memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun dengan tetap memandang pendapat yang diikuti adalah pendapat dari ulama’ yang memiliki otoritas keilmuan yang mapan dan mu’tabar . Waallahu a’lam.

Baca Juga: Cara Menghitung Siklus Haid Tidak Teratur


 *Alumni Pondok Putri Pesantren Al-Anwar Sarang.