Oleh: Izzulhaq At Thoyyibi*
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan peristiwa perundungan/bullying yang dilakukan oleh santri di lingkungan pesantren sendiri, kasus ini terjadi di Kediri pada Februari 2024. Lebih mirisnya lagi, bullying tersebut bersifat fisik hingga menyebabkan hilangnya nyawa korban.
Sebelum lanjut, penulis pribadi turut berbelasungkawa atas peristiwa tersebut, semoga Tuhan memberikan tempat yang terbaik bagi korban dan memberi kesabaran kepada keluarga dan orang-orang dekat korban. Baik untuk kasus ini maupun kasus-kasus lainnya.
Lanjut, peristiwa tersebut mendapatkan berbagai reaksi dari publik, di antaranya adalah komentar atau statement yang memandang negatif pesantren, tentu itu sangat menggelitik pikiran seorang santri yang sudah bertahun-tahun hidup di lingkungan pesantren. Terlebih jika statement tersebut hanya bersifat spekulatif.
Pertama, banyak orang yang menyebutkan bahwa pesantren lebih banyak diisi anak buangan. Maksudnya adalah mereka mengira banyak anak nakal yang dikeluarkan dari sekolah, yang orangtuanya tidak sanggup mendidik lalu jalan ninjanya adalah dimasukkan pesantren.
Memang hal itu ada, tapi yang penulis ketahui, hanya sedikit dari sebagian besar santri. Sebagian besar santri mondok karena memang orang tuanya ingin punya anak yang berilmu agama tinggi, atau bahkan memang inisiatif si anak sendiri untuk mondok. Jadi stigma bahwa “pesantren adalah tempat anak buangan” sama sekali tidak akurat.
Kedua, adalah statement bahwa lingkungan pesantren penuh bullying. Entah itu bersifat spekulatif atau apa, tapi yang jelas ini tidak fair dan terkesan menggiring opini. Karena jika dibandingkan dengan lingkungan sekolah (yang non pesantren), di lingkungan tersebut realitanya juga banyak aksi bullying. Sebagaimana statement KH. Azaim Ibrahimiy Situbondo yang menyatakan bahwa jika dipresentase, (aksi bullying) di sekolah luar pesantren lebih banyak.
Bahkan, data yang dilansir dari “Databooks” juga mengungkapkan bahwa pada Januari-Juli 2023, presentase perundungan di lembaga pendidikan SD-SMA mencapai 93.75% dibandingkan di pesantren yang hanya mencapai angka 6,25%.
Artinya, tidak logis jika ada orang memandang negatif pesantren dengan alasan seperti itu, lalu takut dan anti memondokkan anak. Karena jika dengan alasan seperti itu, logikanya kenapa mereka tidak sekalian untuk tidak perlu menyekolahkan anaknya, realitanya sekolah juga banyak potensi bullying.
Ketiga, statement ini juga gak kalah menggelitik, penulis menemukan di kolom komentar Instagram kira-kira teksnya begini, “Saya sekarang nggak bisa percaya dengan pesantren, kalau ingin anak saya sholeh & alim, lebih baik saya didik sendiri dengan serius.” Komentar serupa adalah “Daripada pesantren, saya lebih menyarankan anak disekolahkan di sekolah Islam non-pesantren”.
Menanggapi komentar yang pertama, sebenernya nggak masalah mendidik sendiri, dengan catatan orang tua kompeten. Asumsi penulis, jangan-jangan mereka mengira bahwa mendidik agama cukup dalam hal ibadah ritual, halal-haram, disuruh nonton Ustadz di YouTube? Tentu itu jauh dari kata cukup, ilmu agama itu jauh lebih kompleks dan sistematis dari yang mereka kira. Karena realitanya, Ulama yang kompeten pun anak-anaknya masih dipondokkan.
Menanggapi komentar kedua, secara umum tidak bisa ekuivalen jika sekolah Islam non-pesantren dijadikan alternatif dari pondok pesantren, karena disiplin keilmuannya sudah benar-benar beda, di sekolah Islam non-pesantren memang banyak mempelajari agama yang hanya pengantar atau wawasan yang bersifat universal. Berbeda dengan di kebanyakan pesantren dan madrasah diniyyah yang mempelajari lebih detail dan sistematis.
Semua hal yang telah disebutkan, bila dilihat dalam kacamata maqashid al-syari’ah, yang memiliki filosofi bahwa di dunia tidak ada yang 100% positif dan 100% negatif. Maka yang jadi pertimbangan adalah mana yang maslahah (sisi positif)-nya lebih besar dan mana yang mafsadah (sisi negatif)-nya lebih kecil.
Tentu hal tersebut bersifat relatif. Namun secara umum, pesantren adalah benteng terkuat untuk menjaga anak dari berbagai pengaruh yang akan mudah ditemukan di luar pesantren.
Pertama, adalah pengaruh pergaulan bebas. Bebasnya pergaulan di luar pesantren adalah ujian utama bagi kawula muda, yang di mana bisa memicu potensi untuk tidak ada batasan antara pergaulan laki-laki dan perempuan, yang tentu akan berlanjut kepada hal yang tidak diinginkan.
Kedua, adalah pengaruh kenakalan remaja. Kenakalan remaja di luar pesantren bisa dikatakan lebih bervariasi dan lebih berbahaya, seperti banyaknya aksi tawuran antar pelajar, banyaknya aksi balap liar yang memang banyak dilakukan oleh pelajar.