Oleh: Muhammadun*

 

Sejak awal, pesantren lahir menjadi agen informasi publik. Informasi apapun terkait masyarakat, dan juga negara, selalu hadir di pesantren. Ini tak lain karena pesantren merupakan jantung kehidupan berbangsa dan bernegara. Watak pesantren juga kosmopolitan, makanya pesantren menjadi agen informasi yang lintas sektoral. Kiai menjadi sosok kosmopolit yang meramu peradaban dengan desain yang cerdas dan menyejukkan.

Sebut saja misalnya Pesantren Tebuireng. Sejak awal berdiri sudah berada di depan pabrik gula Cukir yang merupakan simbol kuasa kaum kolonial saat itu. Bukan saja berani melakukan perlawanan, Pesantren Tebu Ireng juga menjadi media penghubung lintas sektoral para santri-pejuang yang bergerak membangun kekuatan. Informasi apapun masuk ke Tebu Ireng, kemudian baru tersebar luas melalui para santri dan masyarakat.

Menjadi agen informasi publik inilah yang mesti dipahami secara serius oleh pesantren hari ini di tengah tantangan yang berbeda. Tantangan hari ini adalah laju perkembangan informasi yang sangat cepat, melalui internet yang makin canggih. Pesantren tidak boleh “gagap”, karena sejak awal pesantren juga agen informasi publik. Justru pesantren harus menjadi “pelopor” yang bisa menjadi rujukan publik dalam mengakses berbagai hal. Jangan sampai orang mau belajar Islam, malah pergi ke “laman tidak jelas”, alias nyantri di tempat yang tidak jelas. Disitulah pesantren harus menjadi pelopor, memberikan wajah Islam yang “pas” untuk kehidupan umat manusia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Para kiai kita dulu juga agen informasi publik. Informasi di sini dalam maknanya yang luas. Para kiai pesantren menulis kitab, ini jelas agen informasi yang sangat berkualitas bobotnya. Para kiai juga menjadi jurnalis, wartawan, notulen, dan lain sebagainya. Sebut saja sosok Kiai Wahid Hasyim yang dikenal sangat cerdas dalam menulis untuk media. Ada juga KH Saifudin Zuhri, wartawan yang sangat rajin menulis. Bahkan karena semangat menulisnya dan karyanya yang berkualitas, Kiai Saifudin Zuhri mendapatkan gelar profesor dari IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sebagai agen informasi publik, kiai mampu menjadikan santri dan pesantren tampil percaya diri dan elegan dalam berkiprah di masyarakat. Gus Dur adalah sosok informan yang sangat brilian mampu menampilkan “dunia pesantren” menjadi konsumsi ilmiah dalam tataran nasional dan internasional. Pesantren menemukan “titik pijakan” globalnya di tangan Gus Dur, karena pesantren ditampilkan oleh Gus Dur “apa adanya”, dan karena “apa adanya”, maka pesantren menjadi unik dan menarik, memberikan warna tersendiri dalam peradaban global.

Banyak Strategi

Media informasi mempunyai dampak yang beragam: banyak yang positif, banyak juga yang negatif. Untuk itu, pesantren harus mampu menjawab tantangan gerak media informasi hari ini. Pesantren semestinya juga menyediakan fasilitas media informasi yang lengkap untuk semua warga pesantren. Fasiltias media informasi ini diberikan pesantren supaya para santri tidak tertinggal laju percepatan informasi, juga supaya terus mengembangkan pesantren sesuai dengan perkembangan zaman.

Banyak media informasi yang bisa disediakan oleh pesantren. Pertama, dengan berlangganan  koran yang berkualitas. Selain bertujuan untuk membiasakan santri membaca, media koran juga digunakan sebagai media apresiasi dan ekspresi diri. Beberapa media koran baik lokal maupun nasional menyediakan ruang kreatifitas untuk pelajar dalam menuangkan karyanya. Dengan demikian beberapa santri bisa tertarik dan mencoba mengirimkan karyanya ke media koran tersebut. Koran setiap pagi sudah terpasang di Kording (koran dinding), ini menandakan bahwa pesantren setiap hari selalu memberikan informasi baru untuk para santrinya. Sehingga para santri sebelum masuk kelas atau ketika istirahat bisa membacanya dengan mudah.

Kedua, komunitas radio. Pengadaan radio bertujuan untuk mengasah kreatifitas santri dalam cara berkomunikasi dengan baik. Acara-acara dalam radio ini tidak jauh dengan kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren. Selain itu, siaran yang bertujuan untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak santri yang bisa merasa senang bergabung dalam komunitas radio, selain mendapatkan pengalaman juga mendapatkan ilmu untuk bisa diterapkan setelah lulus dari pesantren. Ada juga santri yang memiliki kemahiran dalam bersiaran. Bakatnya itu bisa dikembangkan secara maksimal dan bisa dilatih terus-menerus dalam komunitas radio sehingga ketika lulus nanti mampu mengembangkan bakatnya di komunitas yang lebih besar bahkan komunitas internasional.

Radio pesantren mesti didirikan bukan saja untuk kepentingan komersial namun yang lebih penting digunakan untuk mempermudah sarana komunikasi antar warga pesantren dan untuk kepentingan dakwah islamiyah. Khazanah pesantren bisa menjadi menu utama dalam radio itu, sehingga pendengar bisa merasakan hal yang berbeda dibandingkan dengan radio lainnya.

Ketiga, pengadaan majalah. Tujuan pembuatan majalah selain memberikan informasi juga memberikan pelatihan kepada santri untuk mengembangkan kemampuan menulis dan mengeluarkan aspirasi mereka. Membuat sebuah majalah yang dilakukan para santri yang apalagi pelajar merupakan karya luar biasa. Bagaimana pun hasilnya tujuan utama adalah untuk pembelajaran. Belajar dengan cara langsung menerapkannya dalam bentuk majalah, ini sangat membantu proses belajar para santri. Karena secara tidak langsung santri belajar menjadi seorang pimpinan redaksi, redaktur, menjadi reporter, lay outer, marketing dan lain sebagainya.

Keempat, tersedianya hotspot area di pesantren. Ini memudahkan santri maupun guru untuk mengaskses informasi-informasi terbaru, bahkan ini menjadi sebuah media pembelajaran. Hotspot area bertujuan agar supaya para santri menguasai perkembangan teknologi dan perkembangan keilmuan yang semakin cepat berkembang. Jangan sampai para santri “GapTek” atau gagap teknologi. Walaupun demikian, mesti dibuat aturan yang sesuai dengan kondisi pesantren, sehingga hotspot area tidak menimbulkan persoalan yang negatif.

Kemudian yang sangat penting adalah tersedianya perpustakaan yang menjadi sebuah media dan sarana bagi siswa untuk membaca dan mencari informasi terkait pelajaran maupun pengetahuan lainnya, karena perpustakan menyediakan berbagai macam buku, baik buku pelajaran, kitab-kitab klasik hingga buku bacaan (novel, cerpen, puisi, dan lainnya). Selain itu, mestinya juga ada Mading (majalah dinding). Mading ini merupakan bentuk ekspresi santri berupa tulisan-tulisan sederhana yang dijadikan menjadi satu sehingga menjadi sebuah majalah yang sederhana dan bisa ditempelkan di dinding.

Pesantren Harus Menjadi Imam

Pada prinsipnya, pesantren harus menjadi “pemain utama” dalam gerak laju informasi dunia. Pesantren harus berdiri paling depan, menjadi pelopor informasi yang mencerdaskan dan menyejukkan. Dalam bahasa pesantren, sekarang juga harus menjadi “imam” yang bisa menuntun masyarakat dunia menuju arah peradaban yang bermartabat. Kalau imam dalam laju informasi publik adalah mereka yang biasa “kentut” dan suka “nglindur”, maka peradaban masa depan bisa suram. Hanya dipenuhi sampah serapah yang gampang mengharamkan, gampang menghalalkan, hanya dipenuhi hasrat untuk menang, kaya dan berkuasa.

Pesantren adalah imam untuk masa depan. Untuk itu, semangat yang sudah diajarkan Kiai Wahid Hasyim, Kiai Saifudin Zuhri, Gus Dur, dan lainnya harus didisain ulang untuk menjawab tantangan hari ini. Dalam menjadi imam, pesantren bukan saja membuat majalah, website, penerbitan, radio, tetapi juga mesti dilengkapi dengan koran. Karena menjadi imam, maka produk pesantren ini harus mampi tampil mengisi dunia. Tidak cukup hanya diakses tau dipasarkan kepada komunitasnya saja, tetapi harus dikonsumsi oleh dunia. Inilah yang diajarkan Gus Dur kepada generasi muda pesantren.

Majalah pesantren harus menjadi bacaan dunia, radio pesantren harus didengarkan kampus-kampus dunia, koran pesantren mengisi bacaan pagi hari orang yang sedang naik pesawat lintas negara, website pesantren menjadi “guru utama/syaikh” yang diunduh dunia untuk mengetahui Islam dan peradaban, dan lainnya. Ini bukanlah mimpi, karena ini sudah dimulai para kiai kita. Lihat saja, kurikulum pesantren itu sejak dulu berbahasa Arab. Kitabnya ditulis para ulama jaman dulu, lintas negara. ini bukti kosmopolitanisme peradaban pesantren.

*Alumnus PP Sunan Ampel Jombang, sekarang menjadi Guru TPA Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul DI Yogyakarta