Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun : September, 2015
Tebal : iv + 400 halaman
Resensor : Fani Inganati*
Tuhan selalu memanggil dan setia menanti agar setiap hamba-Nya bisa meraih kemenangan atas hidup mereka, dari masa lalu yang gelap menuju masa yang terang. Hanya karena tak ada kata terlambat untuk kembali, lebih tepatnya pulang kepada-Nya. Pulang dengan memeluk erat masa lalu yang gelap dan menyakitkan. Begitu pula dengan pulang pada hakikat kehidupan, layaknya samurai sejati yang telang pulang, seolah dia bisa keluar dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirinya seperti sedang menatap cermin. Dia seperti bisa menyentuhya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupan. Dari sini dia bisa berdamai dengan hidupnya baik kesedihan maupun kegembiraan.
Demikian itu yang diungkapkan oleh Tere-Liye dalam novelnya yang berjudul “Pulang”. Dengan peran utama bernama Bujang, anak yang terlahir dari dua leluhur hebat dengan latar belakang yang berbeda, yakni seorang perewa masyhur dan Tuanku Imam, seorang syahid.
Bertempat di talang Bukit barisan, lahirlah seorang anak yang kehilangan rasa takutnya sejak dia berhasil mengalahkan babi hutan paling besar di Hutan Bukit Barisan, yakni Bujang. Selama 15 tahun Bujang hidup dengan bapak dan mamaknya. Sampai tiba hari itu saat pertengkaran bapak dan mamaknya terjadi, Bujang pergi ke Kota Provinsi dengan saudara angkat Bapaknya, Tauke Muda. Bujang melangkah lagi menuju kehidupan yang gelap diluar namun terang di dalamnya. Bersama janji yang selalu dibawanya dan menjadi benteng dalam dunia gelapnya, janji dihadapan mamaknya.
Dua puluh tahun melesat, mata sipit, tumbuh gempal dan Ambisius ialah Tauke Besar, pimpinan Keluarga Tong yang menjadi pebisnis Shadow Economy terbesar di Ibu Kota. Dengan menjunjung tinggi kesetian dan patuh terhadap apapun perintah Tauke Besar, Bujang tumbuh menjadi pelengkap kesuksesan Keluarga Tong alias potongan terakhir puzzle kehidupan Tauke Besar. Itu benar, sampai akhir hayat Tauke Besar, Bujang menjadi pelindung terakhirnya. Disaat pengkhianatan terjadi dari dalam mapun luar yang dirancang begitu rapi oleh Basyir Penunggang Kuda Suku Bedouin. Teman pertama Bujang saat pindah ke Kota Provinsi. Bertahun-tahun hidup bersama menjadi Keluarga Tong namun itu semua bukan karena kesetiaan tetapi balas dendam.
Dengan tangkas Bujang menyelesaiakan klimaks dari kehidupan Tauke Besar, menghancurkan pengkhianat. Digambarkan Bujang adalah pemuda yang cerdik dan tangguh, terkenal dengan nama Si Babi Hutan, sebut namanya, maka mereka akan bergetar mendengarnya. Dia belajar menjadi dirinya dengan bantuan gurunya, Kopong, Guru Bushi dan Salonga, tak lupa juga Tuanku Imam. Mereka memberikan pengertian hidup dengan cara mereka masing-masing.
Kopong, seseorang yang selalu menjaga Bujang, melatihnya agar dia menjadi tangguh. Kebaikan hatinya berasal dari Bapak Bujang yang dulu pernah menjadi jagal nomor satu di Keluarga Tong, Kopong telah menganggap dia menjadi kakaknya. Kopong menjadi teman baik Bujang, kesetiaannya selalu terkenang walaupun Kopong telah tiada mendahului Tauke Besar.
Dua orang guru yang mengajari Bujang menguasai diri dalam pertempuran, Guru Bushi dan Salonga. Guru Bushi mengajari Bujang menjadi samurai sejati, melatih dia untuk berdamai dengan hidupnya. Begitu pula, Salonga dari Tondo, penembak terbaik ditemani senjata pistol colt-nya. Tertolong oleh Keluarga Tong saat menjadi buronan. “Kesetiaan anak ini ada pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya prinsip seperti itulah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya.”(hal. 187).
Tauke Imam, mengajari Bujang untuk menemukan masa terangnya dengan menerjemahkan kembali keberaniannya. Mengajaknya memeluk erat masa lalu yang menyakitkan. “Agam, kembalilah. Pulanglah kepada Tuhanmu. Aku tahu kau tidak pernah menyentuh setetes pun minuman keras dan tidak mengunyah sepotong pun daging babi dan semua yang diharamkan oleh agama. Perutmu bersih, itulah cara mamak kau menjagamu agar tetap dekat saat panggilan pulang telah tiba. Berdiri tegaklah pada kebenaran.”(hal.340).
Penulis tak lupa untuk mengangkat permasalahan keluarga dalam novel ini, Bujang anak bapak dan mamak dengan paksa menumbuhkan rasa sakitnya demi mendengar mamak dan bapaknya pergi untuk selama-lamanya. Surat-surat yang basah oleh air mata, menunjukkan luka yang mendalam oleh Bapak dan Mamaknya, lebih banyak luka dihati bapak dan lebih banyak tangis di hati mamak.
Itulah secuil kisah novel Pulang, dengan latar belakang penulis yang seorang akuntan, Tere-Liye tidak segan mengangkat masalah shadow economy dalam novelnya kali ini. Tere-Liye mengajak para pembacanya untuk berimajinasi, menggambarkan pertempuran-pertempuran ala dunia gelap lebih tepatnya shadow economy. Penulis menyisipkan pesan yang selalu dipegang oleh Bujang, janji terhadap mamaknya untuk tidak memakan dan meminum yang haram. “Jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau akan punya satu titik putih dan semoga itu berguna memanggilmu pulang”. Bujang pun pulang, memenuhi panggilan Tuhan, berdamai dengan memeluk erat kegembiraan dan kesakitan. Selamat membaca!
*Mahasiswi Semester 3 Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Pendidikan Unhasy dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang