Oleh: Ustad Muh. Sutan Alam Budi
Assalamu’alaikum
Saya ada pertanyaan. Ada seorang anak perempuan muslim menikah memegang agama masing-masing dengan lelaki non-muslim. Apakah orang tua ikut menanggung dosa anaknya? Terima kasih.
-Mia, Mataram-
Wa’alaikumsalam
Terima kasih kepada penanya. Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amiin. Adapun ulasan jawaban pertanyaan tersebut sebagai berikut;
Sebelum jauh menanggapi pertanyaan, bisa kita kategorikan masalah ini dalam dua pembahasan:
- Hukum menikah beda agama.
- Jika terjadi, apa konsekuensi untuk pihak yang terkait di sana.
Mengawali pembahasa poin A, pembahasan nikah beda agama banyak ditulis oleh sejumlah ulama tafsir. Seperti keterangan dalam kitab rawai’u al-bayan tafsiru al-ayati ahkam karya Muhammad Ali as-Shobuny di halaman 282 dalam bab nikah al-musyrikat. Berdasar dalil dari al-Quran, surah al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Jumhur Ulama’ dari empat Imam, mengecualikan pernikahan dengan ahli Kitab. Yakni mereka yang terjaga dirinya dari golongan penganut agama samawi (Kristen dan Yahudi). Yang juga beriman kepada Allah Swt. Maka boleh menikahi ahli Kitab menurut empat imam. Tetapi Ibnu Umar r.a. berpendapat bahwa haram menikah dengan ahli Kitab. Konteks pembolehan menikah beda agama adalah untuk seorang lelaki yang akan menikahi perempuan dari agama lain (ahli Kitab).
Dalam keterangan selanjutnya, adapun jika seorang perempuan muslim berniat menikah dengan lelaki dari agama lain, itu tidak diperkenankan. Karena al-Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi, Islam senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli. Berdasar juga firman Allah Swt.
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ.. الآية
Seorang lelaki punya otoritas dan kekuasaan atas perempuan, terkadang bisa jadi dia memaksa perempuan untuk meninggalkan agamanya. Dan anak mereka mengikuti agama sang ayah, baik Nasrani atau Yahudi. Maka kelak akan menjadi ahli neraka.
Dapat disimpulkan bahwa seorang lelaki menikah dengan perempuan ahli Kitab itu diperbolehkan. Tetapi, untuk menemukan ahli Kitab di zaman sekarang bisa dikatakan sangat sulit sekali. Karena kitab pegangan agama mereka sudah banyak mengalami perubahan dari awal kitab itu turun. Kedua, seorang muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan seorang musyrik.
Pembahasan di atas adalah dari kacamata hukum Islam. Lalu bagaimana praktek pernikahan beda agama yang ada di Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia, agama Islam mempunyai aturan atau perundangan tersendiri mengenai hukum keluarga, yakni tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Tertulis dalam bab larangan kawin, pasal 40 berbunyi:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu
- karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
- karena wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
- seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sedangkan dalam pasal 44 berbunyi:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Maka dari aturan di atas, jelas menerangkan larangan untuk menikah dengan selain yang beragama Islam. Kalau melihat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam qoul mu’tamad secara tegas mengharamkan dan dinilai tidak sah perkawinan beda agama. Dalam hal ini, lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan mencatat perkawinan umat Islam adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dari Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan dalam perkawinan selain orang Islam adalah PPN dari Kantor Catatan Sipil. Perkawinan beda agama dimungkinkan terlaksana di Kantor Catatan Sipil. Karena lembaga ini tidak mempermasalahkan perbedaan agama dalam perkawinan.
Menuju bahasan poin B, apa konsekuensi jika terjadi perkawinan beda agama. Dalam fikih Islam, akad adalah rukun dari pernikahan. Dalam pelaksanaan akad ada salah satu persyaratan wajib, yakni beragama Islam. Ketika syarat wajib tidak terpenuhi, maka akad dinilai rusak atau tidak sah. Seseorang yang melakukan akad rusak akan mendapat konsekuensi hukum, dalam hal ini perkawinan menjadi tidak sah dan dinilai hubungan tersebut adalah zina.
Lalu, apakah orang tua atau wali nikah dalam perkawinan ini mendapat konsekuensi juga. Menurut hemat penulis, kita anggap kasus perkawinan ini dilakukan oleh orang dewasa. Maka ‘aqidaini (dua orang yang berakad) masuk kategori mukallaf (orang yang dibebani hukum syariat). Pembebanan hukum taklif tidak lagi ditanggung oleh orang tua, tapi dibebankan kepada mukallaf tersebut.
Jadi dalam pandangan fikih Islam, orang tua atau wali tidak mendapat konsekuensi hukum. Atau dalam pertanyaan penanya adalah efek dosa. Tetapi, seyogianya kalau kita menjadi orang tua sebisa mungkin mencegah terjadi pernikahan beda agama. Karena dalam fikih Islam dan perundangan Islam di Indonesia melarang hal tersebut. Kurang-lebih, semoga bermanfaat.