
Menjadi sebuah bahan renungan bagi umat Islam, bagaimana agar berusaha secara maksimal memanfaatkan kehadiran kitab suci Al-Qur’an, sehingga dalam menempuh kehidupan di dunia ini sukses, bahagia, beruntung, dan di akhirat masuk surga. Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam mengisi kehidupannya, selain aktivitas rutinitas pekerjaan masing-masing? Maka salah satu jawabannya adalah berlandaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surah Fathir/35 ayat 29 – 30,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمۡ أُجُورَهُمۡ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّهُۥ غَفُورٞ شَكُورٞ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (Q. S. Fathir/35: 29 – 30).
Dari ayat di atas, ada tiga perbuatan yang harus dilakukan umat Islam, agar mencapai perniagaan yang menguntungkan dan tidak akan merugi selamanya, yaitu: pertama membaca kitab suci Al-Qur’an; kedua mendirikan shalat dan ketiga menafkahkan atau mendermakan sebagian rezeki yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Membaca Kitab Suci Al-Qur’an
Pada ayat di atas, kosa kata yang dipakai adalah “Yatluuna kitaballahi – mereka membaca kitab Allah secara istiqamah atau terus menerus”, tidak menggunakan kosa kata “Yaqro’uuna kitaballah”. Hal ini tentunya perlu dipahami dengan baik, agar mampu memahami pesan yang disampaikan melalui firman Allah ini, bukan sekadar membaca, akan tetapi disertai dengan pemahaman yang baik dan sekaligus mengaplikasikan dalam kehidupan nyata terkait pesan-pesan yang disampaikan kitab suci Al-Qur’an. Hal ini sejalan pula, dengan kandungan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim a.s., yang memohon agar diutus seorang rasul dengan menggunakan kosa kata “Yatluu”, yang diabadikan kitab suci Al-Qur’an pada surah Al-Baqarah/2 ayat 129,
رَبَّنَا وَٱبۡعَثۡ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُزَكِّيهِمۡۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q. S. Al-Baqarah/2: 129).
Baca Juga: Empat Fungsi Diturunkannya Kitab Suci Al-Qur’an
Demikian pula pada beberapa ayat berikut ini, sejalan dan sepadan menggunakan redaksi “Yatluu atau Yatluuna”, di antaranya;
ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (Q. S. Al-Baqarah/2: 121).
كَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِيكُمۡ رَسُولٗا مِّنكُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمۡ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q. S. Al-Baqarah/2: 151).
لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولٗا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q. S. Ali ‘Imran/3: 164).
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q. S. Al-Jumu’ah/62: 2).
Dari beberapa untaian ayat-ayat Al-Qur’an di atas, memberikan informasi sekaligus pelajaran penting bagi umat Islam, di mana kitab suci Al-Qur’an menjelaskan tahapan membaca dengan tiga kosa kata yang berbeda, akan tetapi merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Wahyu pertama dengan menggunakan perintah membaca “Iqra’ – bacalah” yang dikaitkan dengan bi ismi rabika – (dengan nama Tuhanmu)”, yaitu mempunyai arti: membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, yang mana Al-Qur’an sejak dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan-bahan bacaan yang tepat (Shihab, 168: 2003).
Baca Juga: Hakikat Etika Membaca Al-Qur’an
Kemudian arti membaca kedua, dijelaskan pada firman Allah Subahanahu wata’ala surah Al-Muzzammil/73 ayat 4,
وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا
Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Pada ayat ini, selain berlaku hukum tajwid dalam perintah membaca Al-Qur’an dengan tartil, juga tujuan utama dari bacaan yang tartil itu agar dapat terhindar dari kesalahan membaca dan mudah memahami bacaan Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an dengan yang perlahan-lahan (tartil) dengan dapat memahami, merenungkan dan memikirkan isi kandungannya, sehingga akan membekas pada jiwa pembacanya. Inilah pemahaman yang sebenarnya, yang dikandung dalam surah Al-Muzzammil/73 ayat 4 tersebut, bukan hanya sekedar membaca saja (Surasman, 67: 2005).
Terakhir arti membaca ketiga, uraian surah Fathir/35 ayat 29 – 30 “yatluuna kitaballahi”, mempunyai arti lebih luas lagi dibandingkan dengan pengertian membaca pada surah Al-‘Alaq/96 ayat 1 – 5 dan surah Al-Muzzammil/73 ayat 4. Dalam hal ini penulis nukil beberapa pendapat ahli tafsir, di antaranya:
Ibnu Katsir memberikan ulasan: “Allah Ta’ala memberitahukan ihwal kaum mukmin yang membaca kitab-Nya dan mengamalkan isinya, misalnya dengan mendirikan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka pada saat-sat yang telah disyariatkan baik siang maupun malam, secara diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Al-Qur’an menyatakan kepada pembacanya: setiap pembaca Al-Qur’an bagaikan pedagang yang memiliki kesempatan untuk mengamalkan setiap kandungannya dalam aneka perniagaan. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya (Ar-Rifa’i, 966: 2001).
Wahbah Mushthafa Az-Zuhaili memberikan keterangan: “Orang-orang yang rajin dan tekun membaca Al-Qur’an, mengetahui dan memahaminya serta mengamalkan isi dan kandungannya, menegakkan shalat fardhu dan shalat sunnah, serta menginfakkan sebagian dari rezeki yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada mereka baik dengan cara diam-diam maupun dengan cara terang-terangan. Mereka itulah orang-orang yang ingin menggapai pahala dan penghargaan dari Allah atas ketaatan mereka, dan Allah SWT akan memberi mereka tambahan dan bonus dari karunia-Nya. Dia tetap berkenan menerima amal yang sedikit selama amal itu dilakukan dengan tulus dan ikhlas, dan Dia mengapresiasi amal yang sedikit itu dengan memberinya pahala dan penghargaann yang melimpah (Az-Zuhaili, 603: 2005).
Baca Juga: Hakikat Etika Membaca Al-Qur’an
M. Quraish Shihab memberikan penjelasan: “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca kitab Allah mengkaji dan mengamalkan pesan-pesannya dan telah melaksanakan shalat secara baik dan benar serta telah menafkahkan sebagian dari apa yakni rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, baik dengan cara rahasia, diam-diam dan maupun secara terang-terangan, banyak jumlahnya atau sedikit, dalam keadaan mereka lapang atau sempit, mereka yang melakukan hal tersebut dengan tulus ikhlas mengharapkan perniagaan dengan Allah yang hasilnya tidak akan pernah merugi. Mereka dengan amalan-amalan itu mengharap agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun segala kekhilafan lagi Maha Mensyukuri segala ketaatan (Shihab, 469: 2003).
Dari tiga pendapat ahli tafsir di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian “Yatluuna kitaballahi”, merupakan perintah membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang baik dan benar, disertai dengan pemahaman dan perenungan, kemudian diamalkan dalam kehidupan nyata, bagaikan Al-Qur’an berjalan di muka bumi. Kita terus berusaha, agar kita termasuk kategori “Yatluuna kitaballahi”, bukan sekedar membaca.
Penulis: Dr. H. Otong Surasman, MA., Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta.