Perjalanan Gus Dur dalam Mengentaskan Kebodohan. Ilustrator: Iva
Perjalanan Gus Dur dalam Mengentaskan Kebodohan. Ilustrator: Iva

Lahir pada 7 September 1940 di Jombang Jawa Timur, memiliki nama asli Abdurrahman Addakhil (Gus Dur). Ia merupakan putra sulung dari KH. Wahid Hasyim dan cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Gus Dur pertama kali belajar mengaji dengan sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari. Di usia 5 tahun, Gus Dur sudah bisa membaca al–Quran.  Selepas lulus Sekolah Dasar Menengah Ekonomi pertama (SMEP) di Gowongan, di saat yang sama pula, Gus Dur juga mengaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia memiliki kegemaran membaca yang luar biasa. Terbukti dengan banyaknya buku yang telah tamat dibaca. Mulai dari Ernest Hemingway, John Steinbacth, Will Durrant, hingga buku Lenin yang berjudul ‘Whats is to be Done’.

Karakter Gus Dur tersebut dapat menjadi contoh bagi generasi muda. Yang mana kondisi pemuda saat ini telah menjadi sorotan bangsa. Seringkali dianggap kurang bermoral dan kurang berliterasi. Tidak hanya anggapan, namun banyak juga tindakan–tindakan yang merusak tatanan kehidupan. Seperti pem-bully-an, pergaulan bebas, tawuran pelajar, saling mencontek dan rasis berkomentar tanpa menganalisis terlebih dahulu fakta sesungguhnya. Tindakan-tindakan tersebut, telah mandarah daging hingga turun temurun ke generasi selanjutnya. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan. Perubahan zaman yang semakin maju mempengaruhi segalanya. Lain halnya dengan zaman dahulu, yang mana tatanan kehidupan berjalan dengan semestinya.

Selain gemar membaca, Gus Dur merupakan sesorang yang gigih belajar. Tidak hanya belajar dalam bidang keagamaan, ia juga belajar berbagai bahasa dan keilmuan lainnya. Hal ini terbukti dengan perjalanan penidikan Gus Dur yang luar biasa. Ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegal Rejo, Magelang, Jawa Tengah selama 2 tahun. Kemudian dilanjut ke Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang. Di usia 22 tahun, ia diberangkatkan untuk menunaikan haji ke tanah suci. Setelah itu, Gus Dur dikirim belajar ke Al–Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syariah (Kulliah Assyariah) dari tahun 1964 sampai 1966, lalu ke Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada tahun 1966 hingga 1970. Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden. Kemudian pergi ke Jerman dan Prancis sebelum ke Indonesia pada tahun 1971.

Perjuangan pendidikan yang Gus Dur jalani tidaklah mudah. Banyak lika – liku yang harus dihadapi. Hal ini menjadi cermin bagi kita untuk selalu semangat berjuang dan belajar sampai kapanpun. Tidak perlu khawatir dengan usia. Namun mirisnya, generasi saat ini banyak yang sekolah hanya untuk mencari ijazah. Kegiatan di kelas pun tidak begitu efektif sehingga banyak yang malas belajar bahkan bolos sekolah. Tidak sampai di situ, kondisi pendidikan saat ini semakin memprihatinkan. Terlebih banyak siswa yang saat ini terlibat kasus seperti penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan bahkan pembunuhan. Hal ini membuktikan bahwa efektivitas pembelajaran di sekolah sangat menurun sehingga materi – materi yang disampaikan tidak pernah terealisasi. Seolah hanya sekedar wacana, padahal permasalahan tersebut merugikan banyak pihak, baik dari warga sekolah, keluarga bahkan diri sendiri.

Di samping itu, permasalahan tidak hanya dalam Lembaga Pendidikan saja. Namun terdapat pada karakter siswa. Seperti yang telah kita lihat, bukannya memikirkan masa depan dan belajar, namun banyak anak sekolah yang disibukkan oleh dunia maya dan hubungan lawan jenis. Sehingga kasus hamil di luar nikah dan aborsi kerap kali menjadi santapan setiap hari.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari permasalahan tersebut telah menjadi peringatan bagi kita semua untuk berhati–hati kembali dan melihat bagaimana perjuangan dan kondisi para pejuang kala itu. Melihat Gus Dur yang pantang menyerah hingga meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas intelektualnya itu, Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk menberikan kuliah dan seminar, sehingga ia harus pulang pergi Jakarta – Jombang.

Pada 1974, Gus Dur mendapatkan pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambak Beras, satu tahun kemudian Gus Dur menambah pekerjaanya dengan menjadi guru kitab Al – Hikam. Pada 1977, ia bergabung di Universitas Hasyim Asy’ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam dengan mengajar subjek tambahan seperti Pedagogi, Syariat Islam dan Misiologi.

Jerih payahnya mencari ilmu tidak luput dari kesulitan yang dialami. Mengingat pada tahun tersebut, kecanggihan teknologi belum secanggih masa kini. Mencari sumber informasi masih lewat media cetak seperti buku, majalah dan koran. Menulis hasil karya pun juga masih menggunakan mesin ketik klasik, yang ketika ada kesalahan dalam penulisan tidak bisa dihapus, namun menulis lagi dari awal. Sungguh peengorbanan yang luar biasa dilakukannya.

Setelah kembali ke tanah air, Gus Dur tak lantas berkiprah di Kepengurusan Nahdlatul Ulama. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU tapi ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, KH Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta. Baru pada 1984, Gus Dur berkiprah di NU hingga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah sampai tahun 2000 atau tiga periode.   Pada 1999, Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI secara demokratis menggantikan Bacharuddin Jusuf Habibie. Gus Dur menjabat hingga Mei 2001. Dia dikenal sebagai presiden yang humanis dan juga humoris. Tak heran jika hingga saat ini banyak buku-buku yang tentang koleksi humor ala Gus Dur. Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di usia 69 tahun.  

Benar – benar perjalanan luar biasa yang dapat kita contoh. Seiring berjalannya waktu, semangat peningkatan intelektual dan spiritualnya tidak pernah luntur. Kisah Gus Dur memang harus dijadikan sebagai cermin kehidupan. Tidak hanya menjadi sebuah cerita, namun juga motivasi – motivasi luar biasa bagi generasi muda penerus perjuangan bangsa.

Baca Juga: Gus Dur: Figur Santri Politikus Hebat dalam Dinamika Politik Nasional


Ditulis oleh Izza Humairo