yayan musthofaSeiring berkembangnya teknologi, umat Islam semakin mudah mengakses situs-situs keislaman dan mempelajarinya via gawai dalam genggaman tangan. Semakin banyak pula yang pandai dalam hal agama, menyampaikan (pidato), dan menuliskannya. Bahkan sejak kecil sudah difasilitasi dengan “ajang pencarian bakat” untuk pidato agama (baca: Islam), seperti Pildacil, ḥafidz kecil, dan semisalnya. Sarjana agama Islam, pemuda diniyyah, dan alumni pesantren juga tidak sedikit yang kemudian hari mendirikan lembaga pendidikan Islam semisal pondok pesantren.

Dari sekian banyak ahli agama, Ḥujjatul Islām Imam al Ghazali membaginya menjadi sebelas golongan yang akan kita kaji satu demi satu dalam beberapa pertemuan. Golongan pertama adalah kelompok orang yang mendalami keilmuan syariah dan nalarnya; mendalami serta berkecimpung di dalamnya. Golongan ini ada dua pakar, yakni Mu’āmalah dan Mukāsyafah.

Pakar Mu’āmalah adalah orang-orang yang mempelajari pengenalan diri sendiri, sifat-sifat baik dan buruk, hukum halal dan haram, serta bagaimana berinteraksi dengan makhluk lainnya. Mereka, dalam sorotan Imam al Ghazali, sering tergelincir dalam retorika an sich tanpa pengamalan ke dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga Imam al Ghazali mengingatkan mereka agar mengamalkan keilmuan yang dipelajarinya, “kalau tidak diamalkan, lantas apa gunanya ilmu agama ini?” katanya.

Abu Hamid al Ghazali mengibaratkannya dengan seseorang yang terjangkit sakit mematikan dan berusaha mencari obatnya. Ia berkelana sampai negeri lain tidak  sekedar mencari obat, bahkan mempelajari resep dari seorang dokter ahli, menulis tiap rinci resep tersebut sampai bisa meracik obat itu sendiri kemudian dibawanya pulang ke kampung halaman.

Dari ilustrasi tersebut, Abu Hamid lantas bertanya, apakah akan sembuh orang sakit itu hanya dengan menulis resep, meracik, dan memberikannya kepada orang lain tanpa dia meminum obat itu untuk penyakitnya? Tentu tidak. Bahkan sampai seribu kali dia menulis dan meracik resep tanpa dia meminumnya, penyakitnya tak akan sembuh. Justru orang lain yang dikasih resep dan meminumnyalah yang memungkinkan untuk sembuh.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jadi, seorang yang sudah bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu Mu’āmalah itu jika tidak diimbangi dengan pengamalan sehari-hari seperti orang sakit yang sudah bersusah payah mencari obat dan tidak meminumnya. Walaupun, toh, seorang pakar ini menasihati lainnya dan memberikan saran sesuai dengan keilmuan yang digeluti, tanpa pengamalan untuk dirinya sendiri maka sama dengan tidak meminum obat untuk penyakitnya yang akan berakibat fatal. Justru orang lainlah yang akan sembuh dengan resepnya.

Mengutip redaksi “qod aflaḥa man zakkāhā” dalam firman Allah, Ḥujjatul Islām menjelaskan bahwa ayat itu ditujukan pada pelaku yang menjernihkan jiwa, bukan orang yang mempelajari “penjernihan jiwa.” Kalau memang orang yang mempelajari kejernihan jiwa mendapatkan kemenangan (al falaḥ) juga, maka redaksinya akan berbunyi “qod aflaḥa man ta’allama kaifiyyata tazkiyatiha,” beruntunglah orang yang mempelajari cara penjernihan jiwa dan mengajarkan kepada manusia lainnya. Ini adalah penyakit (ghurūr: tipu muslihat) bagi pakar keilmuan Mu’āmalah.

Yang kedua adalah pakar Mukāsyafah, juga disorot oleh Imam al Ghazali. Seorang pakar yang berkecimpung dengan ketuhanan, mengetahui sifat, nama, dan perbuatan Allah. Mereka ini juga mempunyai penyakit yang perlu untuk diperingatkan, diinsafi, dan disembuhkan.

Seperti halnya orang terdekat presiden. Ia mengenali presiden, watak, tinggi, dan warna kulitnya; apa yang disukai presiden dan yang tidak disenangi; waktu istirahat dan sibuknya. Akan tetapi orang ini bersikap sembrono kepada presiden, berbalik arah dari apa yang diketahui. Menjalani apa yang tidak disenangi dan meninggalkan apa yang disenangi, berpakaian kumuh, tidak menggubris waktu presiden, dan seterusnya. Maka sungguh orang ini adalah orang yang sangat ceroboh.

Harusnya seorang pakar Mukāsyafah merasa takut seperti yang diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Dawud as, “khifnī kamā takhofus siba’a ad dhorrī,” takutlah kepada-Ku wahai Dawud seperti ketakutanmu kepada hewan buas yang membahayakan. Karena memang hanya kekasih Allah SWT yang takut kepada-Nya,“innamā yakhsyā Allah min ‘ibādihi al ulamā’”. Ini adalah penyakit pakar Mukāsyafah yang perlu diteliti lebih jeli dalam dirinya untuk bersikap kepada Tuhannya.

_____________________________________________________________________

Oleh : Yayan Musthofa

Disarikan dari Iḥya’ ‘Ulūmiddīn