Bahtsul Masail (BM) adalah sebuah tradisi intelektual di kalangan pesantren maupun di kalangan NU, salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. BM adalah salah satu dari beberapa metode penggalian dan pengambilan hukum (istinbath) untuk memecahkan beberapa masalah baik berupa masalah Waqi’iyah maupun Maudhui’yyah.
Fikih adalah salah satu cabang keilmuan yang selalu ditantang dan disibukan dengan persoalan-persoalan yang rumit dan problem yang selalu berkembang. Karena faktor tempat dan waktu juga mempengaruhi produk penggalian hukum ini. masalah-masalah baru selalu bermunculan, dan jelas permasalahan ini harus terselesaikan dan terjawab oleh fikih. Produk hukum Fikih tak jarang sering berubah-ubah kadar hukumnya sesuai arus zaman yang ada. Walaupun pada esensinya kitab-kitab kuning terkhusus pada varian fikih ini tak akan pernah sirna digerus oleh zaman.
BM sebagai salah satu metode penggalian hukum yang dimiliki oleh Pesantren yang diayomi oleh Organisasi Kemasyarakatan NU, walaupun ada juga tradisi intelektual yang mirip dimiliki oleh ormas lain, sebut saja Muhammadiyah memiliki tradisi penggalian hukum dengan nama Majelis Tarjih Muhammadiyah. Bisa disebut serupa tapi tak sama. Keduanya sama-sama memiliki kesamaan dalam memecahkan permasalahan di masyarakat, hanya saja metode yang digunakan berbeda.
BM seringkali menjadi rujukan serta pertimbangan hukum ketika permasalahan-permasalahan kontemporer muncul, sehingga mau tidak mau literatur yang dipakai sebagai hujjah (landasan) harus mengikuti dan terkesan memaksakan hukum yang berseberangan dengan realitas yang ada di tengah masyarakat. Contoh saja tentang bunga bank, yang jelas banyak kumpulan fatwa-fatwa dan hujjah yang terdapat dalam buku kumpulan BM jelas mengharamkan transaksi seperti ini, namun yang terjadi di masyarakat bahwa masih saja banyak yang menggunakan jasa Bank konvensional untuk menabung dan melakukan transaksi Muamalah. Hal ini apakah tidak sama halnya produk hukum BM tidak laku?
Contoh lain seperti masalah yang pernah dibahas pada forum BM ini, tentang hukum penggunaan Facebook, Twitter, dan jejaring sosial media lainnya dan keharaman bagi laki-laki maupun perempuan berkomunikasi dan menampilkan aurat dalam dunia maya dan lain sebagainya. Dengan adanya fatwa tersebut, mayoritas masyarakat kita acuh tak acuh dan tak mempengaruhi meminimalisir kegiatan tersebut. Kalaupun ada pengaruhnya itupun kecil. Karena banyak di antara mereka berpikiran bahwa fatwa tersebut mambatasi eksistensi dan hak asasi. Tentu hal ini perlu disikapi oleh para aktifis BM agar produk hukum yang susah payah di buat tidak hanya “menumpuk” dalam lembaran-lembaran kertas maupun buku.
Peran BM ini, seakan-akan mulai dipertanyakan tentang hasil produknya. Banyak masalah-masalah yang terpecahkan di forum ini, namun tidak dimasyarakatkan hasilnya, hanya kalangan-kalangan tertentu yang menikmati produk hukum ini. Sebut saja pesantren dan Badan-badan otonom NU, padahal masyarakat luas sangat membutuhkan rujukan atau fatwa hukum terkait problem-problem kontemporer yang terus bermunculan.
Sudah saatnya peran BM bukan hanya gemar berdiskusi dan mengkaji status hukum di dalam forum, namun sosialisasi Produk hukum yang dihasilkan ke semua lapisan masyarakat seharusnya terus digerakkan dan selalu digalakkan. Hal ini agar masyarakat merasakan kontribusi dari BM ini. BM sangat dibutuhkan bahkan dianggap penting untuk menjadi salah satu metode menggali status hukum walaupun bukan satu-satunya cara. Tentu kalau hanya menggali hukum saja tanpa ada sebuah reaksi dan sosialisasi hasilnya, tentu peran BM ini di pertanyakan. (waallahu a’lam bisshawab).
________________________________________________________________________
Penulis: Ari Setiawan, saat ini tengah menempuh studi S1 di Unhasy
Editor: M. Ali Ridho