Ilustrasi Kecerdasan Emosional

Seorang santri dari awal mondok hingga 12 tahun di pesantren sangat tekun ngaji dan memiliki segudang prestasi. Tiap kali ujian akhir semester, santri tersebut selalu menduduki urutan pertama hasil ujian, seluruh mata pelajaran nilainya A+. Sejak duduk di kelas XI SLTA santri tersebut sudah diincar oleh berbagai universitas ternama di Indonesia, bahkan luar negeri sekalipun. Sampai-sampai Bu nyai yang punya pondok itu sudah ngobrol dengan orang tua santri ini, kelak kalau sudah dewasa dinikahkan dengan putrinya saja. Intinya masa depan anak 17 tahun tersebut sudah dipastikan cemerlang, luar biasa.

Hingga pada suatu saat, tepat ketika pembagian rapor terdapat satu mapel yang nilainya turun merosot, biasanya mendapatkan nilai A+, entah kenapa ujian kali ini ia mendapatkan nilai A-. Sontak santri tersebut tidak terima dan menyalahkan guru pengampu mapel tersebut, pertengkaran hebat pun tak terhindarkan. Sehingga ia melukai gurunya dengan senjata tajam. Nau’dzubillah.

Semua pencapaian prestasi dan tawaran masa depan yang cemerlang, sirna karena kasus kriminal tersebut. Semua kampus mem-black list santri itu. Dan tentu saja, tak ada yang mau mendapatkan menantu seorang kriminal.

Semua cerita ini bukan berita atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Itu tadi hanyalah ilustrasi bahwa emosi sangat berpengaruh besar dalam kehidupan. Maka sangat penting pengetahuan tentang Emotional Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional. Karena emosi dapat mengubah hidup sesorang, dapat mematikan akal sehat, juga dapat membuat seseorang terlalu cepat mengambil kesimpulan yang kebanyakan tidak benar hanya karena ditutupi oleh emosi.

Sering kali, ditemui di sekeliling kita orang-orang yang tidak sadar akan emosinya sendiri. Misalnya, ada seorang teman yang tengah ngobrol dengan nada tinggi, mata melotot, otot-ototnya tegang, namun saat ditegur, “santai bro, jangan emosi,” malah dijawab, “siapa yang emosi!”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Orang yang cerdas secara emosional ialah orang yang paham akan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, apakah sedang marah, sedih, kecewa, takut, dan lainnya, serta dapat mengontrol dan menempatkan emosi ini terhadap orang-orang disekitarnya. Karena manusia cenderung mendahulukan emosinya, kemudian baru setelah itu menggunakan analisis akalnya.

Mengenal EQ

Dalam ilmu neurosains, otak manusia itu terbagi menjadi 3 bagian. Ada bagian luar, dalam, dan bawah. Otak bagian luar itu berfungsi untuk berpikir, semua informasi data itu dikelola di bagian ini. Maka bagian ini adalah bagian yang paling luas dan ukuran IQ itu diukur di sini.

Kemudian otak bagian dalam itu tempat munculnya berbagai emosi. Dan bagian bawah adalah bagian otak yang menjalankan fungsi insting, seperti bertahan hidup, berketurunan, menyelamatkan diri, dan insting manusia lainnya. Jadi emosi dalam tubuh diri manusia itu muncul pada sistem otak bagian dalam.

Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ” memaknai kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Dalam buku tersebut, Golemen menuliskan 5 tanda seseorang itu cerdas secara emosional, yaitu

  1. Self-awareness (kesadaran diri), sadar akan perasaan dan keadaan yang tengah dialami orang lain, serta pengaruhnya.
  2. Self-regulation (pengaturan diri), mampu mengontrol dan mengelola emosi diri sendiri serta reaksi atau prilaku yang muncul dari emosi tersebut.
  3. Internal motivation (motivasi diri), dapat merubah reaksi emosi menjadi positif dalam melakukan sesuatu atau mencapai sesuatu, seperti optimisme dan lainnya.
  4. Empathy, kenal dan paham emosi orang lain dan menggunakan kemampuan ini untuk merespon orang lain berdasarkan tingkat emosional.
  5. Social skills (keterampilan sosial), menerapkan kemampuan emosional untuk membangun hubungan sosial yang kuat dengan sekitar.

Santri Jangan Terlalu Khusyu’

Mungkin, kata-kata yang sering diucapkan Gus Baha kepada mas-mas santri di banyak sesi pengajiannya, “Jadi santri itu jangan terlalu khusyu’ mas,” tepat dijadikan subjudul tulisan ini. Maksudnya, ketika seseorang terlalu khusyu’ ibadah tanpa ilmu yang cukup, secara tidak langsung ia akan punya rasa lebih baik daripada orang lain. Sehingga secara emosional, bisa jadi ia menilai orang lain (baik atau buruk) tanpa ada pertimbangan ilmu.

Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam pun juga bersabda:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَيْسَ اَلشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا اَلشَّدِيدُ اَلَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اَلْغَضَبِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” Muttafaq Alaihi.

Dari hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi menghimbau umatnya agar bisa mengendalikan emosi. Seorang muslim yang kuat adalah dia yang yang dapat mengendalikan emosinya. Terutama ketika kondisi marah.

Satu lagi, yang dituliskan Goleman dalam bukunya, bahwa IQ hanya berperan 4% dalam menentukan kesuksesan seseorang, sisanya adalah bagaimana cerdasnya seseorang dalam mengelola dan mengatur emosinya.


Ditulis oleh Al Fahrizal, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari