
Semua orang mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan bahkan dalam islam mewajibkan seluruh pengikutnya untuk mencari ilmu. Kita ketahui bersama bahwa di Indonesia anak anak wajib mengikuti jenjang sekolah selama 12 tahun, dari SD, SMP sampai SMA sederajat. Pastinya bukan tanpa tujuan adanya peraturan yang dibuat, kita yakin itu akan berdampak baik untuk kita maupun negara.
Setelah semua fase pendidikan terlewati, maka masing masing anak dapat melanjutkan ke jenjang pendididikan perguruan tinggi, sebenarnya apa sih yang bisa didapatkan jika kita mengenyam pendidikan di perguruan tinggi? Untuk kerja kah? Gelar kah? Tunjangan kah?
Sungguh sempit jika kita hanya berpikiran mengenyam pendidikan di perguruan tinggi untuk semua itu, tahukah kamu bahwa pola pikir akan ikut berkembang sesuai tempat lingkungan mereka tiggal, stimulus yang mereka dapatkan dan jangan heran bahwa pola pikir bisa berkebalikan dengan usianya jika tidak dilatih dan diberikan nutrisi keilmuan yang cukup.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pakaya, dkk (2021) tentang “Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Pendidikan Masyarakat” mendapatkan dua kesimpulan yaitu: (1) lingkungan keluarga, sosial, sekolah dan masyarakat berpengaruh positif terhadap pendidikan masyarakat ; (2) lingkungan keluarga, sosial, sekolah dan masyarakat berkorelasi dan mempunyai daya determinasi yang kuat dan siginifikan terhadap perkembangan pendidikan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa pola pikir manusia dapat terbentuk karena adanya stimulus yang datang dari lingkungan. Selama masa pendidikan di perguran tinggi, mahasiswa diberikan berbagai macam tantangan untuk menyelesaikan masalah, berpikir kritis, berpikir kreatif sehingga memberikan dampak positif terhadap pola pikir kehidupan, dan lebih aware terhadap pola pikir yang tidak positif.
Semakin banyak lingkungan yang diketahui maka semakin luas pola pikir seseorang, karena ia mengetahui bahwa di dunia ini bukan hanya tentang hidupnya saja. Namun jika sudah diberikan pembelajaran hingga perguruan tinggi dan pola pikir masih terjerat dalam satu situasi mungkin lingkungan sosial tidak mendukung, seperti lingkungan yang didalamnya sering terjadi bullying, ghibah, namimah, acuh tak acuh, dsb. Sehingga apa yang sudah didapatkan di perguruan tinggi lenyap begitu saja. Maka pentingnya memilih pendidikan dan lingkungan yang sehat untuk tumbuh kembang anak, kesehatan mental kita bahkan keselamatan keluarga.
Baca Juga: Memaknai Esensi Pendidikan Sesuai dengan Al-Quran
Setelah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, masing masing mahasiswa ada yang kerja sebagai pendidik, pengusaha, karyaawan, dsb. Sejak media sosial semakin digemari, semua kegiatan bahkan kebusukan seseorang bisa terkuak dengan mudah tanpa adanya penghalang seperti jarak dan waktu. Semua keluh kesah yang selama ini terpendam akhirnya diketahui oleh banyak khalayak.
Salah satunya tentang honor atau gaji yang diperoleh pengajar, guru atau pendidik. Tidak perlu naif untuk hal ini, kita akui bahwa negara kita ini masih rendah dalam hal upah masyarakat, terlebih seorang guru dimana setiap tahun segala kebutuhan baik itu sekunder, primer atau tersier pasti mengalami kenaikan.
Bayangkan saja yang katanya guru adalah pekerjaan mulia, namun mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, lantas bagaimana seorang guru sendiri dapat memuliakan keluarganya? Jika guru adalah pengabdian, maka untuk mengabdi pun mereka membutuhkan sebuah dana untuk makan dan minum, lalu dari mana mereka akan makan dan minum? Jika guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, maka siapa yang akan menghargai jasa jasa beliau?
Banyak terungkap bahwa seorang guru beralihkan profesi menjadi pedangan, pebisnis dsb, kami rasa semua pasti bisa menebak alasan dibalik beralihnya sebuah profesi. Jika kita pandang sebuah guru bukanlah profesi, harusnya dia tidak masuk dijajajaran pekerjaan namun dibagian pengabdian.
Baca Juga: Tantangan dan Peluang Pesantren Menghadapi Dinamika Pendidikan dan Pengembangan Diri
Jika dinilai bahwa guru adalah profesi maka sudah sepatutnya dia diberikan penghargaan dan kesetaraan layaknya profesi profesi yang lain. Jadi tidak ada kata lagi “guru itu wajar jika tidak punya uang”, sedih mendengarnya, guru yang harusnya kami junjung tinggi namun malah mendapatkan ketimpangan sosial dalam segi honor. Bagaimana guru itu harus dituntut ikhlas jika dalam hatinya terdapat rasa sedih melihat keluarganya yang kekurangan. Semoga kami semua diberikan kesehatan, dan kesempatan untuk saling berbagi ilmu, dan semoga manfaa dunia akhirat.
Penulis: Aslihatul Fitriyyah, M.Pd.