Pesantren telah lama dikenal sebagai lembaga pendidikan yang berbasis agama dan menjadi tumpuan bagi generasi muda yang ingin memperdalam ilmu agama. Dengan lingkup materi yang luas, mulai dari Al-Quran, hadis, hingga berbagai disiplin ilmu Islam lainnya, pesantren menawarkan pendidikan yang tidak terbatas pada waktu formal, namun juga berlangsung sepanjang hari. Sistem pendidikan 24 jam ini memungkinkan santri untuk memperoleh pengetahuan agama dan praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan pesantren sebagai lembaga unik yang memadukan teori dan pengalaman nyata.
Namun, di balik kontribusi besar yang telah diberikan pesantren kepada masyarakat, tantangan di era modern terus berkembang. Meski banyak alumni yang telah sukses dalam berbagai bidang dan berkontribusi di masyarakat, pesantren tetap dituntut untuk terus beradaptasi agar dapat mempertahankan relevansinya dalam dunia pendidikan yang semakin maju. Tantangan utama yang dihadapi pesantren saat ini berkaitan dengan pengembangan diri santri dan penyesuaian dengan kebutuhan zaman.
Tantangan Pengembangan Diri di Pesantren
Saat ini, pilihan bakat dan minat yang dapat dijelajahi semakin luas, dan ini membawa pengaruh besar dalam dunia pendidikan, termasuk pesantren. Pada masa sebelumnya, pendidikan di pesantren cenderung berfokus pada ilmu agama semata, tetapi sekarang ada kebutuhan untuk memasukkan pengembangan diri yang lebih beragam, seperti keterampilan komunikasi, keterampilan kepemimpinan, hingga kemampuan teknis dan kreatif yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Baca Juga: Model Pendidikan Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan
Beberapa tantangan yang perlu diperhatikan pesantren dalam pengembangan diri santri adalah:
- Keterbatasan Fasilitas dan Sumber Daya: Pengembangan bakat dan minat membutuhkan fasilitas khusus, misalnya laboratorium komputer, ruang seni, atau lapangan olahraga yang memadai. Namun, banyak pesantren yang masih terbatas dalam hal ini karena faktor finansial atau keterbatasan lahan.
- Kurangnya Tenaga Pendidik Khusus: Untuk mengakomodasi minat dan bakat yang beragam, pesantren memerlukan tenaga pendidik yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki kompetensi di bidang-bidang lain seperti seni, teknologi, dan olahraga. Rekrutmen tenaga pendidik dengan spesialisasi yang luas ini menjadi tantangan besar, terutama bagi pesantren yang berada di daerah terpencil.
- Pola Pikir Konservatif: Tidak semua pesantren terbuka terhadap program-program baru yang bertujuan untuk pengembangan diri di luar pendidikan agama. Masih ada pandangan konservatif yang menganggap bahwa pendidikan pesantren sebaiknya difokuskan pada ilmu-ilmu agama saja, sehingga upaya pengembangan minat dan bakat lain sering kali diabaikan.
Kepercayaan Santri kepada Pengurus dan Pentingnya Pembinaan Sosial
Hubungan antara santri dan pengurus pesantren merupakan hal yang fundamental dalam menjaga keberhasilan pendidikan di pesantren. Tingginya tingkat kepercayaan santri terhadap pengurus pesantren sangat mempengaruhi bagaimana pendidikan dapat terserap dengan baik. Dalam konteks pesantren, kepercayaan ini tidak hanya terbangun dari proses belajar-mengajar formal, tetapi juga dari interaksi sehari-hari yang intens, atau yang dikenal dengan istilah “srawung”.
Srawung, atau interaksi sosial yang akrab antara santri dengan pengurus, memungkinkan terbentuknya ikatan yang erat. Pengurus pesantren yang bersikap terbuka dan mendukung proses pengembangan diri santri cenderung mendapat kepercayaan lebih tinggi, sehingga santri merasa didukung tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam mengejar minat dan bakat lain.
Namun, dalam pengelolaan srawung ini terdapat tantangan juga. Banyak pesantren besar yang memiliki ribuan santri mungkin mengalami kesulitan dalam menciptakan suasana srawung yang kondusif, mengingat keterbatasan pengurus dan jumlah santri yang sangat banyak.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam membangun hubungan sosial, termasuk antara santri dan pengurus, harus didasarkan pada tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Pengurus pesantren bertanggung jawab untuk membina santri agar berada di jalan yang benar, mendukung pengembangan karakter dan spiritualitas mereka. Sebaliknya, santri pun diharapkan untuk mendukung pengurus dan mematuhi aturan pesantren dalam rangka kebaikan bersama.
Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, kasih mengasihi, dan sayang-menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya.” (HR. Muslim)
Baca Juga: Tiga Harapan dan Tantangan Pesantren di Masa Depan
Dalam kehidupan pesantren, interaksi antar santri dan pengurus mencerminkan hubungan kekeluargaan yang erat. Rasa kasih sayang dan solidaritas ini penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuhnya kepercayaan, sehingga santri merasa nyaman dan didukung dalam pengembangan diri mereka. Hadis ini menggarisbawahi bahwa kebersamaan dan saling peduli adalah fondasi utama dalam membangun hubungan sosial yang harmonis.
Pesantren merupakan lembaga yang telah berperan besar dalam membentuk generasi yang berakhlak dan memiliki ilmu agama yang kuat. Namun, di tengah perubahan zaman yang cepat, pesantren juga harus beradaptasi dan berinovasi agar tetap relevan. Dengan menjawab tantangan-tantangan yang ada serta memanfaatkan peluang untuk pengembangan diri santri, pesantren dapat menjadi institusi pendidikan yang tidak hanya unggul dalam ilmu agama, tetapi juga melahirkan generasi yang siap berkontribusi secara luas di masyarakat. Wallahu A’lam.
Penulis: Moh. Minahul Asna