Almarhum Gus Sholah bersama Dedy Rahman Prehanto.

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Jelang fajar menyingsing, sebagaimana biasa, saya terbangun untuk shalat dan bersiap menyambut Subuh. Sebentar membuka gawai pintar saya, dan ada tiga pesan di salah satu grup dengan kata awal “innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Kalimat sensitif yang selalu membuat kepo. Betapa kagetnya membaca pesan itu, yang meninggal adalah sosok yang begitu kami kenal, Pak Dedy Rahman Prehanto. Putra Rektor Universitas Hasyim Asy’arim (UNHASY), Prof. Haris Supratno, dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan Unhasy.

Pak Dedi begitu saya memanggil, bukanlah sosok asing bagi saya. Justru sosok yang begitu lekat dalam ingatan. Sosok yang penuh inspirasi dan kepergiannya ini tentu jadi hal sangat menyedihkan bagi saya, bagi Unhasy, bagi Tebuireng, dan masyarakat Jawa Timur. Pak Dedi banyak memberikan pelajaran soal totalitas pengabdian. Santri yang belajar di sebuah pesantren tentu saja wajar mengabdikan dirinya pada kiai dan pesantrennya. Tapi bagaimana jika seorang yang tak pernah belajar di sebuah pesantren tapi sangat total mengabdi pada kiai pesantren itu, bahkan ia sebenarnya tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren manapun, ini di luar kewajaran dan menjadi nilai tersendiri.

Pertemuan saya dengan Pak Dedi dimulai saat kami ditugaskan Almaghfurlah KH. Salahuddin Wahid untuk ikut membantu mengawal Pilgub Jatim 2018. Kebetulan saat itu, calon yang harus kami dukung dan bantu adalah Ibu Khofifah Indar Parawansah dan Mas Emil Dardak. Saat itu, ditegaskan oleh pengasuh (saat itu Gus Sholah), untuk tidak membawa-bawa nama Tebuireng, artinya anggap saja kami atas nama penderek beliau. Sementara Pak Dedi ini saat itu Dekan Fakultas Teknologi Informasi Unhasy yang juga melepas baju Unhasy-nya untuk membantu Yai Sholah mengawal Bu KIP-Mas Emil.

Kami diajak bertemu di rumah beliau di daerah Wonoayucerep Menganti Gresik. Di sana kita membahas stretegi konten media. Kebetulan yang kami garap adalah media, untuk membantu kampanye. Beberapa kami juga turun ke jalan mengawal Yai Sholah konsolidasi dengan para kiai dan tokoh untuk persoalan dukung mendukung. Tapi titik terang kami bukan membahas soal kampanye politik itu, tapi teladan Pak Dedi yang lekat dalam memori. Dalam kunjungan ke berbagai tempat itu, kadang Pak Dedi memberikan kami uang saku, transport dll, tidak sedikit yang di-backup beliau dari kantong pribadi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sempat saya kurang percaya, ah masak iya itu uang beliau pribadi, barangkali memang disediakan oleh tim sebagai dana media. Saya tanyakan pada Ustadz Amin Zen, asisten pribadi Gus Sholah, apakah betul itu uang pribadi Pak Dedi. Ternyata memang betul itu semua dana pribadi, dan tidak ada yang merekap. Artinya berapa yang sudah dikeluarkan tidak ada yang menghitung. Mobil beliau pun selalu tidak absen menjadi tumpangan kami riwa-riwi untuk keperluan tim media. Bahkan beliau sendiri terkadang yang menyupiri. Bahasa kami, bos yang tidak ngebosi.

Selain itu, kami juga melakukan banyak syuting video pendek untuk kampanye. Total ada 14 video viral yang kami produksi baik untuk promosi maupun konter narasi atas tuduhan lawan. Dan semua proses produksi itu dilakukan atas pendanaan Pak Dedi. Bahkan Sebagian besar video itu diambil gambarnya di luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, dan Malang. Makan, minum, penginapan (villa), dan transport tak lepas dari kantong Pak Dedi. Pak Dedi juga punya kawan dan anak buah yang juga sangat solid, dan kami belajar banyak hal dari mereka semua. Teladan Pak Dedi telah tertanam kokoh dalam sanubari mereka.

Begitu teringat dalam pikiran saya, ketika saya mendapat tugas mengawal Seminar Nasional yang diadakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari, di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Usai acara kawan-kawan panitia akan berlibur ke Danau Toba, tempat indah yang barangkali susah saya jangkau di kesempatan lain. Tapi malam hari sebelum berangkat, saya di telpon Ustadz Amin, bahwa semua harus kembali untuk melanjutkan syuting video pendek atas perintah Yai Sholah, skrip sudah jadi, dan harus segera jadi. Syuting dilaksanakan di Malang. Pikiran saya bingung, bagaimana saya bisa Kembali? Sendirian? Dari Medan? Tidak terbayang bagaimana saya naik pesawat sendirian dari Medan-Jakarta-Surabaya, lanjut jalur darat ke Malang. Sebelumnya tidak pernah saya lakukan.

Lalu seutas pesan WA dari Pak Dedi muncul membuat saya sadar, “Mas Kembali ya, kita harus ikuti perintah Yai apapun yang dikatakan beliau. Ini yang ke Jakarta juga harus balik semua”. Hati saya seperti ditusuk. Bagaimana problem ini begitu memusingkan saya, sebenarnya sederhana, ikuti dawuh kiai dan itulah tugas kita. Dan kata-kata itu, keluar oleh orang yang tidak menempuh pendidikan agama bertahun-tahun di pesantren, seperti saya ini. Saya pesan tiket pesawat Medan-Surabaya transit Jakarta, pesan taksi online menuju Bandara Kualanamu. Sampai kapanpun pesan itu tak akan pernah saya lupakan.

Pak Dedi juga adalah sosok yang enteng membantu. Beberapa kali saya merepotkan beliau. Termasuk meminjam mobil Pajero beliau untuk menjemput Mbak Najwa Shihab Ketika menjadi pembicara di Tebuireng. Saat Abah Yai Sholah kritis di RS setiap saat Pak Dedi pesan di WA tak henti-henti menanyakan kodisi Yai. Sampai Yai meninggal, beliau terus memantau dan berpesan agar kami yang perjalanan dari Jakarta ke Jombang untuk hati-hati dan selamat sampai tujuan. “Mas sampai mana?”, “Mas sampean sama siapa saja”, “Mas kondisi Yai gimana?”, Mas hati-hati di jalan ya. Salam ke temen-teman yang di sana”, terus begitu sepanjang jalan.

Pak Dedi juga sosok yang tidak sungkan meminta tolong ketika membutuhkan bantuan dan berterima kasih setelah dibantu. Beberapa kali beliau meminta tolong saya terkait pemberitaan dan dokumentasi tentang Unhasy. Saat kami sukses mendatangkan Mbak Nana ke Tebuireng, beliau yang ingin mendatangkan Duta Baca itu ke UNESA juga tak sungkan meminta saran dan link ke saya, padahal setingkat beliau tentu itu hal yang mudah.

Kecintaan pada Unhasy dan Tebuireng sangat besar. Unhasy bertransformasi dari institute ke universitas juga tidak lepas dari tangan dingin sang ahli IT itu membantu Gus Sholah. Fakultas Teknologi Informasi Unhasy juga dapat mengembangkan robitika hingga mempu berbicara banyak dalam kompetensi tingkat Nasional dan mendapatkan bantuan Laboratorum Robitika juga hasil besutan Pak Dedi.

Padahal Pak Dedi ini merupakan PNS Unesa, dan tentu hidupnya sudah tentram dengan bisnis kontrakan dan kos-kosannya, dan berbagai bisnis lainnya. Kok bisa-bisanya ia menyusahkan diri merawat Unhasy? Pertanyaan besar yang bisa dijawab dengan prestasi dan kinerja Almamrhum. Tak ada yang bisa menyangsikan beliau adalah sosok yang berjasa bagi Unhasy. Cintanya pada Unhasy tak lekang oleh waktu dan akan terus terkenang oleh Keluarga Besar Unhasy.

“Mas sampean bisa megang web Unhasy supaya kontennya terupdate. Karena web Unhasy ndak ada yang ngurusi”, pesan terakhir Pak Dedi kepada saat di WA, beberapa bulan lalu. Saat itu saya jawab, saya belum bisa memutuskan sendiri, kalau tidak ada yang menugaskan. Tentu itu bukan amanah ringan untuk dipikul. Saya serahkan pada Allah bagaimana nantinya. Tapi, seminimalnya, itu bisa jadi bukti, bahwa Api Semangat Pak Dedi untuk Unhasy sampai akhir hayatnya tak pernah Padam.

Selain Unhasy bahkan Pak Dedi yang saya tegaskan secara formal tak pernah nyantri di pesantren manapun, memimpin Ikatan Sarjana NU Jawa Timur sebagai Wakil Ketua membantu Prof. Mas’ud Said. Bu Khofifah pun menyangsikan bahwa pengabdian Pak Dedi sangat besar untuk NU dan dunia Pendidikan, khususnya di Jawa Timur. Tahun 2020 beliau mendapatkan penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI Joko Widodo atas prestasinya sebagai dosen. Bu Khofifah tentu sangat kehilangan sosok yang membantunya memajukan Jatim, sosok yang membantunya mengemban Amanah besar menjadi Gubernur, sosok yang berada di dekat Gus Sholah memajukan Unhasy dan ISNU Jatim.

Pak Dedy, selamat bertemu Yai Sholah. Semoga diterima sebagai santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari karena ikut nguri-nguri Unhasy dan berada di sisi cucu beliau membantu banyak hal. Kenangan Bersama Pak Dedi, bagi kami tidak akan pernah sirna, seorang yang mengajarkan kami pengabdian secara total. Bahkan kualitas pengabdiannya, terkadang membuat kami malu, karena kalah total. Pesan-pesan Pak Dedy akan kami kenang. Kepergiannya karena penyakit pernafasan di umur yang singkat, 43 tahun menjadi duka kita bersama. Selamat jalan Pak Dedy. Selamat menuju alam keabadian.

*Alumnus Unhasy, Pemimpin Redaksi Website Tebuireng Online.