Oleh: KH. Fawaid Abdullah*
Menggilir/membagi bermalam, Nafaqah, dan lainnya diantara beberapa Istri
Tulisan sederhana dan singkat ini, tak terasa sudah sampai pada bab ini. Lebih lanjut, Syaikh Abdurrahman Al Juzairy dalam karya Kitabnya, menulis bahwa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah:
“Bersikap adil diantara beberapa istri di dalam rumah, walau istrinya tersebut berasal dari wanita Kitabiyah dan Muslimah.”
Bisa saja, tetap dinamakan adil, misalnya seorang istri yang merdeka dengan budak, bermalam di istri yang merdeka “Al Hurroh” dua malam, sedang di istri yang budak hanya satu malam. Demikian, menurut pendapat Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, sudah dikategorikan memenuhi syarat dalam adil menggilir bermalam terhadap beberapa istri.
Sedang dalam hal nafaqah seperti masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal atau rumah maka tidak wajib sama diantara para istri tersebut. Bahkan hanya diwajibkan setiap istri tersebut diberi nafaqah sesuai dengan kondisi dan keberadaan masing-masing istri tersebut. Yang tidak boleh itu kalau bersikap jor-joran, berlebih-lebihan diantara mereka-mereka para istri. Sedang yang satu atau lainnya berada dalam kekurangan. Jadi, harus seorang suami memberikan nafaqah sesuai hak dan kondisinya masing-masing. Boleh ada perbedaan-perbedaan hak diantara para istri itu. Demikian ini pandangan pendapat Syaikh Abdurrahman Al Juzairy.
Pendapat para Imam Madzhab terkait ini sebagai berikut:
- Pendapat Madzhab Hanafi:
“Terkait nafaqah, maka harus sama perlakuan suami yang punya istri lebih dari satu, baik itu terkait makan, minum, pakaian, tempat tinggal atau rumah.”
- Pendapat Madzhab Maliki:
Ada dua pendapat dalam hal ini.
Apabila seorang suami itu memberikan hak yang sama kepada masing-masing istri, lalu setelah itu istri yang satunya diberikan kelebihan atau tambahan setelah ada pembagian hak awal nafaqah, maka boleh-boleh saja alias sah. Sedang pendapat yang satunya, tidak boleh. Pendapat yang Mu’tamad atau yang kuat, sah atau boleh-boleh saja.
Syaikh Abdurrahman Al Juzairy lebih lanjut menyampaikan bahwa:
“Dalil yang dijadikan landasan adalah Fa In Khiftum an Laa Ta’diluu fa Wahidatan, “Apabila dirasa takut tidak bisa berbuat adil, maka satu saja.”
Khitab ayat ini, bahwa Allah memerintahkan untuk beristri satu ketika takut tidak adil. Melaksanakan adil itu wajib. Tapi menurut pendapat lain, menegakkan keadilan diantara beberapa istri itu hanya sunnah saja hukumnya.
Jadi prinsipnya menurut Syaikh Abdurrahman Al Juzairy itu, menegakkan adil diantara beberapa istri itu sunnah. Tergantung alasan “illat” hukum yang mengikutinya.
[Selengkapnya silakan dibuka dan dibaca Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, halaman 227-238, Juz 4 terbitan Daar el Fikr].
Tidak Wajib Memperlakukan Sama di Dalam Urusan Cinta dan Syahwat Kepada Dua Istri
Pembahasan ini semakin menarik saja dan ingin saya tulis dalam bagian ini, pandangan hukum dan pendapat Syaikh Abdurrahman Al Juzairy dalam karya nya ini.
Beliau berpendapat bahwa :
“Tidak wajib, memperlakukan sama kepada dua istri atau beberapa istri terkait urusan nafaqah, sebagaimana tidak wajib di dalam urusan wathi’ atau hubungan badan, maupun urusan condongnya hati, atau cinta si suami. Karena, hal ini bukan karena masalah manusia. Ini urusan atau faktor keadaan tabiat manusia.”
Sebagaimana masalah kecenderungan syahwat seseorang itu juga tidak bisa dipaksakan harus begini dan begitu. Itu sesuatu yang bersifat naluri, atau tabiat.
Lebih lanjut Syaikh Abdurrahman Al Juzairy menyampaikan firman Allah SWT, berbunyi:
“Wa Lan Tastathi’uu an Ta’diluu baina an Nisaa-i walau Harashtum fa Laa Tamielu Kullal Mail.”
Maksud dari ayat ini menurut Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, bahwa menafikan atau meniadakan rasa mampu itu atau seseorang yang karena alasan tidak mampu itu bukan karena atas ikhtiar manusia apalagi berkaitan dengan urusan hati dan cinta.
Jadi, alasan “memaksa-maksa, atau pemaksaan” bersikap adil diantara beberapa istri itu menurut Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, bukan menjadi alasan prinsip dan wajib.
Pendapat Imam Madzhab terkait hal ini:
- Madzhab Hanafi:
“Andai seorang suami hanya beristri satu, lalu dia hanya sibuk dengan hanya ibadahnya, sampai-sampai dalam seminggu istrinya tidak sempat dikumpuli, maka hakim atau qadli harus turun tangan memerintahkan kepada suami itu untuk bermalam dan mengumpuli istrinya.”
- Madzhab Maliki:
“Tidak ada paksaan mewathi’ “berhubungan badan” terhadap salah satu istri harus sama dengan istri yang lainnya.”
- Madzhab Syafi’i:
“Tidak wajib kepada suami memperlakukan sama kepada beberapa istrinya di dalam hal hubungan badan atau wathi’ atau dalam hal istimta’ atau istilah lainnya “foreplay”. Termasuk di dalam hal urusan pakaian dan nafaqah. Yang wajib itu hanya pemenuhan kewajiban memberikan nafaqah yang dicari suami ketika berada dibagian istri yang sedang digilirnya. Bersikap sama diantara beberapa istri itu hanya disunnahkan.”
- Madzhab Hanbali:
“Tidak wajib bagi suami memperlakukan sama di dalam urusan wathi’ atau hubungan badan. Sebagaimana juga tidak wajib harus sama di dalam urusan Nnfaqah, pakaian, syahwat.”
Fakta yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, bahwa wajar kalau para pemimpin zaman old seperti para raja, penguasa dinasti zaman old dll itu selirnya itu banyak dan rata-rata lebih dari satu; para selir itu juga tidak diperlukan sama dengan sang permaisurinya. Pendapat para Imam Madzhab pun seperti yang saya tulis dimuka, memberikan beberapa alasan dan pandangannya.
[Lebih jelasnya, silakan dibuka dan dibaca Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, halaman 240-241, Juz 4 terbitan Daar el Fikr].
*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.
*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.