Prof.KH.Ali Musthofa yang saya taati segala fatwanya. Akhir-akhir ini banyak program dari pemerintah maupun lembaga swasta yang berupaya mengentaskan kemiskinan. Berkaitan dengan miskin, saya pernah mendengar sebuah hadits ang berbunyi

كاد الفقر أن يكون كفرا وكاد الحسد أن يسبق القدر

Kefakiran itu hampir menjadi kekafiran, dan kedengkian hampir mendahului taqdir.” Pertanyaannya, bagaimanakah hakikat kemiskinan itu sendiri dan bagaimana kualitas hadits tersebut?  Syukron jazila.

Maulana Yaqin, Brebes

 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

JAWABAN:

Mas Yaqin yang dirahmati Allah SWT. Menurut penilaian dari segi ilmu hadis, hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim al-Isfhahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, Imam Abu Muslim al-Kasysyi dalam kitabnya al-Sunan, Imam Abu Ali bin al-Sakan dalam kitabnya al-Mushanaf, Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Imam.

Sementara dari segi sanadnya, hadis ini sangat dha’if (lemah) bahkan sudah mendekati maudlu’(palsu). Sebab di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Yazid bin Aban al-Raqqasyi. Menurut para ulama kritikus hadis, Yazid al-Raqqasyi ini adalah dha’if jiddan. Imam Nasa’i dkk, justru menilainya matruk. Bahkan Imam Syu’bah menyatakan, “lebih baik saya berzina daripada meriwayatkan hadis dari Yazid al-Raqqsyi”. Sehingga hal ini sudah menjadi bukti hadits ini tidak dapat dipertanggungjawabkan keilmiyahannya, bahkan harus ditolak.

Hadis yang diriwayatkan dengan sanad dha’if, apabila terdapat sanad lain yang sama-sama dha’ifnya maka hadis tersebut bisa meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairihi (hadis baik karena faktor eksternal). Dengan catatan, kedha’ifan hadis ini bukan karena rawinya seorang yang fasik (pelaku maksiat) dan pendusta.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW juga pernah berdoa mohon kepada Allah SWT agar dilindungi dari kefaqiran dan kekafiran. Ketika Nabi ditanya oleh seorang sahabat, “apakah dua hal itu sama?”, Nabi menjawab “Ya”. (HR. Imam Nasa’I dan Ibnu Hibban). Namun dalam konteks ini, jelas doa beliau tidak dengan sendirinya dapat “mengatrol” kelemahan hadis di atas. Masalahnya, konotasi antara hadis pengentasan kemiskinan di atas dengan hadis riwayat Imam Nasa’i dan Ibn Hibban berbeda.

Dari sisi redaksionalnya, hadis ini juga dipermasalahkan oleh Ibnu al-Anbari dalam kitabnya al-Intishaf. Menuturkan bahwa dalam kaidah bahasa Arab tidak pernah menggunakan kata kada (hampir-hampir) bersaman dengan huruf  an. Al-Qur’an juga tidak pernah memakai kata-kata yang menggabungkan antara kada dan an. Oleh karena itu, sekiranya hadis tersebut nilainya shahih, tentu kata an itu tambahan dari perawi hadisi, bukan dari Nabi sendiri.

 

Hakikat kemiskinan

Hadis ini menunjukkan bahwa orang-orang faqir itu mempunyai nilai lebih, bila dibandingkan dengan orang-orang kaya. Meskipun sama-sama masuk surga. Paling tidak ada dua kemungkinan :

Pertama, orang miskin lebih cepat dalam hisabnya. Berbeda dengan orang kaya karena banyak harta benda  yang harus dihisab, sehingga lebih lama prosesnya.

Kedua, menyikapi kefaqiran atau kemiskinan dengan sikap ikhlas dan sabar. Karena secara naluriah, pasti tidak ada manusia yang ingin hidup susah. Akan tetapi dalam kasus ini, Nabi malah pernah berdoa agar hidup menjadi orang  miskin, dimatikan dalam keadaan miskin, dan dikumpulkan dengan orang miskin kelak di hari kiamat.

Selain dari penjelasan hadis di atas, faqir atau miskin tampaknya memang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan). Karena bukan tidak mungkin, jika Allah menghendaki semua manusia hidup miskin atau sebaliknya. Semua itu dilakukan semata-mata agar semua manusia hidup harmonis berdampingan, sehingga di antara keduanya, bisa saling tolong-menolong. Namun dapat saja, dunia ini dihuni oleh hanya orang-orang kaya saja. Yakni dengan mengubah definisi kemiskinan itu sendiri. Semisal dengan mengubah definisi garis kemiskinan adalah mereka yang hidup berpenghasilan Rp 10.000,- setiap harinya.

Dengan demikian, jelas semua yang berpenghasilan lebih dari Rp 10.000,- adalah masuk kategori kaya. Maka duniapun langsung mendadak dihuni oleh orang kaya semua dan orang-orang miskin tidak akan ada lagi, seiring dengan lenyapnya definisi miskin itu. Wallahua’lam bi showab.

Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub, M.A (Pengasuh Pesantren Luhur Darul Hadtis Jakarta)

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 35/November-Desember 2014, dimuAt kembali untuk kepentingan pendidikan.