Masalah sedot lemak tubuh manusia dan penggunaanya untuk keperluan kosmetik ini benar-benar baru diranah fiqih. inilah masalah fiqh kontemporer yang saat ini memerlukan solusi dan bahasan jelas sehingga umat islam dapat menyikapinya dengan benar.

Hukum sedot/mengambil lemak dari tubuh, jika itu dilakukan sebagai bagian dri jenis terapi/pengobatan hukumnya diperbolehkan. hal ini dapt diqiaskan dengan bekam yang berdasarkan hadis riwayat al-bukhari dari anas RA  diceritakan, bahwa nabi SAW biasa berbekam (sedot darah kotor dari dalam tubuh dengan alat tertentu) untuk menhilangkan rasa sakit ditubuh beliau. bahkan Abu tahayyibah, tukang bekam Rosul, sengaja meminum darah hasil bekam dari Nabi SAW dengan tujuan mendapat berkah dari beliau, padahal nabi SAW melarang meminumnya.

Memanfaatkan lemak manusia dari hasil sedot( ataupun cara yang lain) untuk penyembuhan suatau penyakit (jiak ada dan bisa), maka hukumnya juga boleh. hal ini diqiaskan dengan donor adarah yang menurut jumhur fuqoha’ diperbolehkan karena segala sesuatu yang menyangkut peneyelamatan nyawa atau peneyembuhan penyakit itu  termasuk salah satu ” adl-dlaruuraatu tubiichul machdhuuraati” (keadaan darurat itu dapat memeperbolehkan sesuatau yang semula dilarang).

Sekarang bagaimana hukum mengolah lemak manusia hasil sedot untuk dijadikan bahan kosmetik/kecantikan? Ini adalah masalah khilafiyah dan jelas terjadi perdebatan dikalangan ahli fikih. Yang pasti disepekati adalah, bahwa lemak yang dikeluarkan dari dalam tubuh seseorang itu hukumnya sama dengan darah, yakni najis. Sama saja antara lemak dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain, tetap najis dan tidak dapat dipergunakan untuk apapun kecuali dalam keadaan darurat.

kalau mengolah lemak manusia itu menjadi obat bagi penyembuhan penyakit, masih banyak fuqoha’ yang memperbolehkannya karena termasuk masalah dharruriyaat (kebutuhan pokok) sebagaimana tersebut diatas. Tetapi mengolah lemak manusia untuk keperluan kosmetik jelas tidak termasuk kategori kebutuhan pokok lagi, bahkan chajiayaat (kebutuhan tersier/pelengkap) yang tidak dapat menggunakan kaidah darurat. Oleh karena itu mayoritas fuqoha’ sependapat, bahwa mengolah lemak manusia hasil sedot untuk menjadikannya sebagai bahan kosmetik hukumnya haram, begitu juga haram memakainya jika tahu bahwa produk kosmetik  tersebut adalah hasil olahan lemak manusia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Memang bagi ulama ahli fikih yang menjadikan berhias sebagai kebutuhan chajiyaat (penunjang) dapat menggunakan kaidah “alhajatu tanzilu manzilatadz dhaarurati” (kebutuhan penunjang bisa menduduki kebutuhan pokok). sehingga berhias dapat disejajarkan dengan obat. Jika pradigma ini yang digunakan, maka memakai kosmetik dari produk olahan lemak manusia dapat diperbolehkan.

Tetapi menurut daya kosmetik itu tetaplah masuk kategori tachsisniyaat (kebutuhan pelengakap) bukan chajaiayaat (kebutuhan penunjang) apalagi dharuurat (kebutuahan pokok). Sehingga tidak dapat diterapkan kaidah “adl-dlaruuraatu tubiichul machdhuuraati” (keadaan darurat itu dapat memperbolehkan sesuatau yang semula dilarang), sehingga bahan baku ,maupun pelengkap produk kosmetik produk kosmetik haruslah suci dan halal. Dengan demikian penggunaan produk kosmetik dari olahan lemak manusia hukumnya haram, keculi jika pengunaanya berdimensi pengobatan. Wallahu A’lam.

 

Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA.

Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pembina Utama Madya (IV/d) / Rektor Unipdu Jombang dan Staf Ahli Majalah Tebuireng.

*Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 35/November-Desember 2014, dimuat kembali untuk kepentingan pendidikan.