YAI KA’, KIAI GOOGLE, KIAI BULE

Alvin Toffler menembak begitu telak lewat penggambaran berlangsungnya keterkejutan masyarakat akibat perubahan yang didorong oleh kemajuan dan teknologi yang dituangkan dalam Future Schock. Keterkejutan itu kemudian muncul berupa respon yang berbagai bagai, termasuk bagaimana menjawab secara intelektual.

Horizon kebutuhan jawaban intelektual ini tak cukup memuaskan jika berhenti pada pergulatan dengan turats dan menoleh melulu kepada pusat studi Islam di Timur Tengah. Bisa dimengerti bila ada yang menoleh, studi dan berguru ke kiai Bule. Muhammad Abduh justru menemukan kepuasan intelektualnya di Perancis dan yang tak kalah menarik bagaimana profesor Michael Bonner yang mengajar mahasiswanya ala sorogan.

Sejak kepulangan Nurcholish Madjid, Amin Rais, Syafi’i Ma’arif dari Amerika Serikat kian marak mahasiswa Islam berguru kepada kiai Bule. Menarik romantika studi di Barat yang dinarasikan oleh Sumanto al-Qurtubi dan kawan kawan dalam “Berguru Kepada Kiai Bule”. Bagaimana dengan kiai Google ? Saatnya tidak sekedar taklid buta atau percaya tanpa catatan.

Selain sudah waktunya Google diberi masukan lewat cara turut mengisinya dengan materi yang mecerdaskan, tidak justru ingin menguasasinya meski dengan menaburkan informasi yang tak edukatif. Pamer kehebatan kelompok dan saling meninggi rendahkan satu sama lain. Bagi Yai Kak, yang memang kiai dalam pengertian yang sesungguhnya, “Kiai itu sebutan yang membawa ketinggian derajat di dunia. Tak boleh direkayasa dalam meraihnya. Stigma kiai melekat saat kealiman dan keelokan laku itu melekat pada seseorang secara bersamaan”, tutur Yai Ka’. “Realitasnya,” tambah Yai Ka’, “predikat dan sebutan kiai diobral ditempelkan kepada yang termasuk tak laik”.

.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)