BUKAN KIAI MAINSTREAM

Jika Yai Ka’ suka riya’–tentu jauh dari sikap beliau–sebagai kiai dan “mungkin” sekaligus santri. Bila diendus atau dikaporkan ke MURI, bisa ditahbiskan kiai dan santri terlama tinggal di pesantren. Taruhlah, bila benar beliau mulai nyantri sejak tahun 1953. Sebagai jagoan ilmu alat, teks al-kutub al-shafra’ yang bagi orang kebanyakan begitu sulit dipahami, di tangan Yai Ka’ demikian mudah dipahami. Bisa dipahami kalau beliau qari’ kitab terbaik dan selalu “tumplek bleg” penyimaknya.

Semua kelas gedung madrasah Tsanawiyah baik atas, bawah atau hingga halaman gedung rame dengan santri mengikuti pengajiannya. Sound system beliau beli sendiri, lumrah jika begitu bening suara beliau tertangkap, bahkan terdengar demikian jelas sampai sekitar jembatan depan dalem Bu Nyai Karim Hasyim. Analisis yang begitu gamblang, mudah diterima dan ditingkahi sentilan tajam plus joke joke ala santri, menjadikan 1.30 jam lebih ngaji kepada beliau tak terasa.

Tambahan lagi, penanda bahwa Yai Ka’ bukan kiai bukan mainstream, kitab kitab yang dibacanya cenderung yang tak poluler di telinga atau tak akrab di kalangan santri. Terutama yang paling disukai, kitab kitab bertemakan aqidah dan etika. Enam tahun dekat Yai Ka’, tak pernah beliau membaca kitab feqih. Agak menyesal juga, tak menanyakan mengapa beliau tak menggandrungi membaca kitab feqih. Hanya saja yang menarik, beliau selalu tarawih 11 rakaat bersama sejumlah terdekatnya di kamarnya dan ini berseberangan dengan tarawih di masjid pesantren Tebuireng. Hal ihwal yang ngangeni adalah, Yai Ka’ fashionable, rapi, necis dan langganan kuliner kelas menengah mulai pak Syahri, Mat Faqih, soto depan bioskop Jombang.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online