LANGGANAN MENULISKAN MATERI PELAJARAN DI TSANAWIYAH
“Di, ojok lali iki tulusen dek papan tulis. Sing penting jelas tulisane.”, perintah KH. Ishaq Latif, atau populer dengan sebutan Yai Ka’ kepada saya, sembari menyodorkan buku mata pelajaran Tauhid lewat jendela kamar I satu al-Azhar. Begitulah tugas rutin Yai Ka’ kepada saya setiap menjelang jam beliau mengajar di Tasanawiyah. Tugas seperti ini berlangsung dalam rentang waktu tiga tahun, sejak tahun 1974–1977. Barangkali, karena karena tulisan khat saya dinilai paling lumayan ketimbang teman teman.
Karena materi pelajaran telah tertulis lengkap di papan tulis, begitu Yai Ka’ masuk kelas langsung membaca dan memberi penjelasan. Artikulasinya yang jelas dan keilmuannya yang sangat dalam, mudah dimengerti bila Yai Ka’ menjadi guru paling favorit. Rugi sendiri–kecuali ada udzur syar’i–bila tak mengikuti pelajaran beliau. Nyaris tak dijumpai ada murid yang bolos seenaknya kalau jam pelajaran Yai Ka’. Apalagi beliau sangat dekat dengan murid muridnya, meski beliau bukan tipologi kiai yang suka mengobral perintah ini dan itu.
Yai Ka’ memiliki filosofi pentingnya justru santri seharusnya menyadari kewajiban dan fungsinya. Maka jangan harap meluncur deras berupa arahan darinya, kecuali kalau menyulut ketertarikan beliau untuk menyampaikan pendapatnya. Bahkan, tak sekali dua kali, kami yang santri “bau kencur” didorong mengeluarkan pandangan subyektif kami ihwal rupa rupa hal yang tengah aktual. Yai, senyum dan suara kharismatik jenengan berkelebat, seolah kembali di paruh tahun 1970-an saat hingga larut malam kami duduk bersila di kamar jenengan di pojok komplek H dan di belakang komplek i al-Azhar.
*(Catatan: H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)