sumber ilustrasi: nu.online

Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU), sebuah organisasi perempuan yang memiliki sejarah panjang di Indonesia, telah berkontribusi besar dalam pemberdayaan perempuan dan dakwah Islam. Organisasi ini didirikan pada tahun 1946, di tengah perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Salah satu sosok penting dalam perintisan dan pengembangan Muslimat NU adalah Nyai Musyrifah, yang pada saat itu masih berusia 19 tahun dan tinggal di Singosari, Malang, Jawa Timur.

Nyai Musyrifah tidak hanya ikut serta dalam merintis Muslimat NU, tetapi juga berperan aktif dalam memajukan organisasi tersebut, khususnya dalam hal pengorganisasian dan penggalangan dana yang menjadi tantangan besar pada masa itu. Dalam buku 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama dan Bangsa, diceritakan bahwa beliau memainkan peran kunci dalam memperkenalkan dan menerapkan berbagai strategi untuk menguatkan keberadaan Muslimat NU di tengah masyarakat.

Saat pertama kali didirikan, tujuan utama dari Muslimat NU adalah untuk menghimpun para istri pengurus NU dan kalangan pesantren. Seiring dengan berjalannya waktu, Nyai Musyrifah melonggarkan syarat untuk menjadi anggota organisasi ini. Langkah ini menunjukkan visinya yang inklusif dan terbuka untuk lebih banyak perempuan yang ingin berpartisipasi dalam dakwah Islam, meskipun mereka tidak terikat langsung dengan pengurus NU atau pesantren. Muslimat NU pun berkembang menjadi organisasi yang lebih luas dan melibatkan banyak kalangan, dari kalangan perempuan perkotaan hingga pedesaan.

Baca Juga: Mengenal Nyai Djuaesih, Pelopor Berdirinya Muslimat NU

Sebagai Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muslimat NU hasil Kongres Muslimat NU di Semarang tahun 1979, Nyai Musyrifah banyak belajar dari suaminya, KH Ali Masyhar, yang juga aktif dalam penggerakan organisasi. Kepemimpinan beliau membawa Muslimat NU menuju era baru yang lebih terstruktur dan lebih berpengaruh dalam masyarakat, sekaligus menjadikan organisasi ini sebagai wadah penting bagi perempuan untuk menyalurkan aspirasi keagamaan dan sosial mereka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menghadapi Tantangan Penggalangan Dana

Sebagai organisasi yang baru berdiri, salah satu tantangan besar yang dihadapi Muslimat NU adalah pendanaan untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Dalam situasi yang serba terbatas, Nyai Musyrifah menunjukkan kepiawaiannya dalam menggali dana untuk mendukung aktivitas organisasi. Salah satu metode yang digunakan adalah melalui iuran anggota, yang dikenal sebagai cara urunan atau gotong royong yang sudah menjadi budaya di kalangan warga NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Untuk mempermudah penggalangan dana, Nyai Musyrifah mengelompokkan anggota ke dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari 10 orang. Setiap kelompok memiliki seorang petugas penarik iuran yang bertugas mengumpulkan uang dari anggota setiap bulan. Iuran ini dikumpulkan setiap kali ada rutinan pengajian minggu keempat yang juga dijadikan sebagai forum dakwah dan sosialisasi. Keanggotaan Muslimat NU pada waktu itu dibagi menjadi dua kategori: anggota setia, yang diwajibkan membayar iuran, dan anggota pendukung, yang tidak diwajibkan.

Baca Juga: Muslimat NU Turut Andil Pertahankan NKRI

Selain iuran, Nyai Musyrifah juga memperkenalkan program “jumputan beras”, sebuah inisiatif yang menggali dana dari cara yang lebih sederhana dan langsung. Setiap rumah tangga anggota Muslimat NU memasang kaleng kecil di depan pintu rumah mereka untuk menampung sisa beras yang mereka miliki. Setiap kali ibu-ibu rumah tangga memasak, mereka akan memasukkan sebagian berasnya ke dalam kaleng tersebut. Setiap minggu, beras yang terkumpul akan dijual, dan hasilnya digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi. Program ini menjadi salah satu contoh nyata dari prinsip gotong royong yang dijalankan oleh Muslimat NU untuk mendukung keberlanjutan kegiatan dakwah mereka.

Pembinaan Kader dan Pengembangan Program

Dalam perjalanan pengembangan Muslimat NU, Nyai Musyrifah juga sangat memperhatikan pembinaan kader sebagai bagian dari penguatan organisasi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan kursus dakwah, yang tidak hanya berfungsi untuk menambah wawasan keagamaan kader, tetapi juga untuk membekali mereka dengan keterampilan dalam menggerakkan masyarakat sekitar. Kader-kader ini diajarkan oleh tokoh-tokoh NU setempat yang memiliki pengalaman dalam berdakwah.

Kegiatan kursus dakwah ini memberikan kontribusi besar dalam mencetak perempuan-perempuan yang tidak hanya cerdas dalam hal keagamaan, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Penguatan kapasitas kader Muslimat NU menjadi landasan bagi kesuksesan organisasi ini dalam jangka panjang, dan membuatnya tetap relevan di tengah perubahan zaman.

Pengaruh dan Warisan Nyai Musyrifah

Melihat kembali perjalanan Muslimat NU di bawah kepemimpinan Nyai Musyrifah, kita bisa melihat bagaimana organisasi ini berkembang pesat melalui pengorganisasian yang baik, penggalangan dana yang kreatif, dan pembinaan kader yang berkelanjutan. Meskipun metode yang digunakan pada zaman itu terkesan sederhana, namun dampaknya sangat besar bagi keberlangsungan organisasi ini hingga kini. Muslimat NU menjadi salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia dengan lebih dari 10 juta anggota di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Para Perintis Muslimat NU yang Tak Banyak Dikenal

Warisan Nyai Musyrifah dalam menggerakkan organisasi ini tidak hanya terlihat dari keberhasilan Muslimat NU dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan dakwah Islam, tetapi juga dari penguatan budaya gotong royong yang terus hidup hingga sekarang di kalangan warga NU. Metode-metode yang dulunya sederhana kini menjadi fondasi yang kuat bagi pengembangan Muslimat NU di era modern, di mana penggalangan dana melalui proposal dan kegiatan lainnya semakin berkembang.

Keberhasilan beliau dalam membangun organisasi ini dari bawah dengan memanfaatkan kearifan lokal, seperti gotong royong dan urunan, menjadi contoh bagi kita semua tentang pentingnya inovasi dalam memajukan sebuah organisasi, meskipun dengan sumber daya yang terbatas.



Penulis: Muhammad Nur Faizi, Santri Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi’ien.