Oleh : Fitrianti Mariam Hakim*
Niat artinya kesengajaan, yaitu kepastian atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu tanpa kebimbangan. Yang dimaksud dengan niat di sini adalah kesengajaan untuk berpuasa. Jadi, asalkan sudah terbetik dalam hati seseorang pada malam hari bahwa besok adalah bulan Ramadan dan bahwa dia akan berpuasa, berarti dia telah berniat.
Ada sesuatu yang janggal bila kita menilik pengertian niat, bahwa ia “muqtaronan bi fi’lihi” bersamaan dengan pekerjaannya. Namun dalam ibadah puasa, waktu niat adalah malam hari, sedangkan puasa dimulai sejak terbitnya fajar.
Lalu, apakah niat merupakan syarat atau rukun?
Para fuqaha sepakat bahwa niat harus ada dalam semua jenis puasa, baik puasa wajib maupun sunnah, entah ia dihitung sebagai syarat atau rukun. Perlu diketahui bahwa syarat adalah perkara yang berada di luar hakikat sesuatu, sedangkan rukun (menurut Madzhab Hanafi) adalah perkara yang merupakan bagian dari hakikat sesuatu. Keharusan adanya niat dalam puasa ini didasarkan atas sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh lima perawi (Ahmad dan empat pengarang kitab Sunan) dari Hafshah, di dalam kitab Nailul Authaar (4/195)
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum terbit fajar, maka puasanya tidak sah.”
Juga sabda beliau yang diriwayatkan oleh Sayyidatina Aisyah r.a.
من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum terbitnya fajar, maka puasanya tidak sah.”
Selain itu, puasa merupakan ibadah mahdhah, maka dari itu dia memerlukan niat, sama seperti shalat.
Di dalam kitab Kasysyaaful Qinaa’ (2/366) dijelaskan bahwan madzhab Hanafi, Hambali dan Maliki (menurut pendapat yang rajih), menganggap niat sebagai syarat. Karena puasa Ramadan dan puasa lainnya adalah ibadah, dan ibadah adalah nama perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia atas ikhtiar (kehendak hati)nya yang secara tulus dan ikhlas kepada Allah untuk menjalankan perintahNya. Sementara, ikhtiar dan keikhlasan ini tidak dapat terwujud tanpa niat. Maka dari itu, pelaksanaan puasa tidak sah kecuali dengan niat, agar berbeda antara amal ibadah dan kebiasaan.
Namun, madzhab Syafi’i di dalam kitab Mughnil Muhtaaj (1/423) disebutkan bahwa Imam Syafi’i menganggap niat sebagai rukun, sama seperti menjauhi hal-hal pembatal puasa. Adapun tempat niat sendiri adalah hati. Niat tidak cukup hanya diucapkan dengan lidah, dan tidak disyaratkan bahwa ia harus diucapkan. Akan tetapi jumhur (selain madzhab Maliki) berpendapat bahwa disunnahkan mengucapkan niat, sedangkan madzhab Maliki berpendapat bahwa niat lebih baik tidak diucapkan.
Lalu untuk syarat-syarat niat, madzhab selain Hanafi sepakat bahwa niat harus dilakukan pada malam hari. Syarat ini juga disepakati oleh para fuqaha atas dasar hadis di atas. Selain madzhab Syafi’i juga sepakat bahwa makan dan minum dengan niat puasa atau makan sahur terhitung sebagai niat, kecuali jika dia melakukannya dengan tidak disertai niat tidak berpuasa. Tetapi menurut madzhab Syafi’i, makan sahur dengan segala macam makanan tidak dapat dihitung sebagai niat. Kecuali jika pada makan sahur itu terbetik di dalam hatinya untuk berpuasa dan dia pun meniatkannya, misalnya dia makan sahur dengan niat puasa atau menghindari makan pada waktu fajar lantaran khawatir puasanya akan batal.
Akibat dari niat adalah merealisasikan pahala. Artinya, puasa itu dihitung sebagai puasa yang diperintahkan dan diberi pahala oleh syariat sejak waktu niat. Karena bagian sebelum adanya niat ini tidak mengandung kehendak untuk beribadah, maka ia tidak dapat dihitung sebagai ibadah. Nabi SAW bersabda, “Setiap orang hanya memperoleh apa yang dia niatkan.”
* Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang