
Cinta adalah satu kata dengan berjuta makna bagi mereka yang merasakannya. Sebab, cinta adalah anugerah terindah dari Sang Pencipta untuk setiap hamba-Nya.
Namanya Jessy, seorang gadis cantik yang tengah duduk di sudut kafe Kopi Tuku. Outfit yang ia kenakan hari itu berbeda dari biasanya: serba gelap, tak seperti gaya Jessy yang biasanya ceria dan penuh warna. Biasanya ia tampil dengan outfit feminin, seperti gadis manis yang selalu mengenakan pakaian cerah. Namun kali ini, Jessy tampak berbeda, lebih tenang dan jauh dari sorotan ceria yang dulu ia miliki.
Sejak hubungan asmaranya kandas, Jessy berubah drastis. Seperti itulah cinta, konon setengah dari dirinya benar-benar dibawa pergi oleh pria yang telah menyakitinya. Hubungan yang terjalin sejak Jessy menjadi mahasiswa baru itu harus berakhir, karena sang pangeran yang lemah iman memilih untuk meninggalkan Jessy, yang dirasa tidak cukup sempurna.
“By the way, bukumu kapan terbit, Jess? Asli, nggak sabar pengen baca!” ucap Kirana Almaika, sahabat lama Jessy, yang duduk di hadapannya.
“Doain secepatnya ya. Sekarang aku lagi revisi beberapa bab. Makanya, aku ajak kamu ke sini buat baca lagi, cek-cek gimana cocoknya,” sahut Jessy dengan wajah serius sambil mengetik di laptop.
Kirana mengangguk paham, terus membaca file di layar ponselnya sambil menyeruput kopi kesukaannya.
Suasana dingin dan sunyi di kafe itu membuat mereka lupa waktu. Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul 15:30 WIB.
“Jes, pulang yuk. Udah sore, lagian belum sholat juga, kan? Nanti lanjut di kos aja gimana?” ajak Kirana.
Jessy mengangguk dan langsung membereskan barang-barang mereka. Setelah dirasa cukup bersih, mereka pun melangkah keluar dari kafe.
Hujan deras yang terus mengguyur Malang beberapa hari ini semakin mempertegas kesunyian kota tersebut. Bagi Jessy, hujan dan suasana sejuk Malang memang menenangkan, memberi ruang untuk merenung dan meredakan hati yang sedang lara.
Sambil menyetir mobil, Jessy tertawa melihat Kirana yang tampak asyik membaca novel pertamanya.
“Doain ya, semoga ini revisi terakhir,” ujar Jessy dengan semangat.
“Aamiin, semoga terbaik buat sahabatku!” sahut Kirana dengan senyum.
******
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, mereka tiba di kosan tercinta dan langsung disambut oleh Mbok Siam, pemilik kos.
Di kamar yang hanya berukuran 5×5 meter itu, Jessy merebahkan tubuhnya yang lelah. Selain kelelahan akibat kuliah, ia juga kelelahan karena harus bolak-balik merevisi novel yang banyak sekali typo-nya. Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Dalam hatinya, ia selalu berdoa agar usaha tak akan pernah mengkhianati hasil.
Setelah merasa cukup beristirahat, Jessy pun melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan sholat Ashar. Setelah sholat, ia kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sembari menunggu masakan matang, Jessy mengirimkan file revisi novelnya kepada penerbit untuk dicek ulang. Dalam benaknya, semoga selalu ada kebaikan yang menyertai hidupnya.
Setelah makan malam siap, Jessy kembali merebahkan tubuh di kasur, menonton drama Korea sambil menikmati camilan kesukaannya. Saat asyik menonton, adzan Maghrib pun berkumandang, dan Jessy kembali melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Maghrib.
Usai sholat, Jessy melanjutkan membaca amalan wirid dan Yasin, seperti yang biasa ia lakukan saat di pondok pesantren, sambil menunggu adzan Isya. Saat sedang membaca Yasin, ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Jessy membuka pesan itu dengan cepat, merasa firasatnya mengatakan bahwa itu adalah pesan dari ibunya.
Namun, jantung Jessy berdegup kencang dan tangannya bergetar saat melihat isi pesan itu. Bukan dari ibunya, melainkan dari penerbit bukunya. Pesan tersebut memberitahukan bahwa novel Jessy akan segera diterbitkan!
Dengan cepat, Jessy berlari ke kamar Kirana dan tanpa berkata apa pun, menunjukkan pesan itu. Kirana pun ikut menangis membaca pesan tersebut. Keduanya berpelukan, merasakan kebahagiaan yang begitu mendalam.
Tiga hari setelah konfirmasi penerbit, Jessy terbang ke Jakarta untuk penandatanganan buku dan syuting podcast.
“Kak Jessy, kalau dilihat-lihat, bukunya benar-benar memberikan kesan galau yang sangat berat bagi pembaca. Boleh tahu, apa harapan kakak dengan hadirnya buku ini?” tanya seorang host podcast.
“Hahaha, maaf ya, ternyata galaunya aku bisa menular ke kalian semua. Harapannya sih nggak banyak, semoga yang terluka bisa menemukan titik terang dan kabar bahagia, serta sembuh dari luka yang disebabkan oleh harapan pada sang pria yang dicintai,” jawab Jessy sambil tersenyum.
Suara tepuk tangan pun terdengar riuh, dan setelah syuting selesai, Jessy dan Kirana pun kembali ke Malang karena esok masih ada kuliah pagi.
Sekembalinya di Malang, Jessy langsung terkenal. Banyak orang yang meminta foto, tanda tangan, bahkan memberi hadiah kepadanya. Buku Jessy terjual hingga 10.000 eksemplar, pencapaian yang luar biasa untuk seorang pemula. Malam itu, Jessy menangis dalam sujudnya, matanya bengkak karena menangis begitu lama.
Saat sedang asyik scroll TikTok melihat video-video tentang bukunya yang viral, sebuah pesan masuk yang membuat fokus Jessy buyar.
“Novel tentang ‘Nama yang Abadi’ keren banget. Aku salah satu pembacanya. Sekali lagi, selamat atas kesuksesannya. Terima kasih telah menjadikan aku tokoh utama dalam karya ini, dengan segala kebaikannya.”
Jessy mengenali username pengirim pesan tersebut. Itu adalah orang yang telah mengisi ruang besar dalam hatinya—Angkasa Bintang Tenggara. Laki-laki yang telah memberi kebahagiaan sekaligus luka terhebat dalam hidupnya.
“Sama-sama, terima kasih juga telah menjadi pembaca sekaligus inspirasi dari karya ini,” balas Jessy.
“Selamat berkenalan. Ada atau tidaknya kamu, aku adalah orang yang akan menjalani hidup ini sendiri. Meski jauh, namamu sudah abadi dalam karyaku ini,” sambung Jessy.
Benar kata orang, jangan sakiti hati seorang penulis, atau namamu akan abadi dalam karyanya. Begitulah hidup Jessy, dengan hati yang terluka, ia nekat mencipta karya, tak ada niat apa-apa, hanya ingin memberi tahu dunia betapa spesialnya Angkasa Bintang Tenggara dalam hidupnya, meski akhirnya mereka tak bisa bersama.
Penulis: Wan Nurlaila Putri, Santri Walisongo Cukir, Jombang.