Oleh: Mohammad Jailani*
Di era millenial ini, respons hangat diferensiasi aliansi pendidikan Islam yang multicultural, secara holistik menjadi sorotan utama. Pidato ilmiah Haedar Nashir, yang disampaikan pada Mukhtamar ke-48 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menggambarkan dengan baik munculnya basis pendidikan yang homogen. Dengan segala pernak-perniknya menghadirkan wawasan baru dalam pendidikan Islam.
Penelitian kualitatif deskriptif ini merespons polemik pendidikan Islam di Indonesia dengan mengusulkan alternatif pendekatan berbasis Islam yang relevan dalam era masa kini. Melalui pendekatan kajian pustaka dan analisis konten isi, penelitian ini menyoroti berbagai isu kehidupan dan pembelajaran, termasuk pendekatan, metode, penyampaian informasi, manajemen pendidikan, dan peran media sosial.
Tantangan dan tuntutan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencapai pendidikan Islam yang lebih mencerahkan tampak menjadi fokus utama, namun kondisi pendidikan Islam di Indonesia masih terlihat stagnan. Diferensiasi aliansi pendidikan merajalela, tak memandang jenis lembaga pendidikan, baik formal maupun pesantren. Peneliti menawarkan alternatif yang signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan dengan pendekatan pembelajaran berbasis neurosains, moderasi beragama, dan knowledge management pendidikan Islam.
Implikasi dan kontribusi penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pendidikan Islam dan pembelajaran berbasis studi Islam, dengan tujuan untuk menarik minat generasi muda, khususnya kaum milenial dan generasi Z, di era Society 5.0. Penelitian ini diharapkan menjadi wadah dan tonggak penting dalam mewujudkan peradaban Islam yang maju dan berkembang di masa depan.
Haedar Nashir menyampaikan dalam pidato ilmiahnya, bahwa “Pentingnya para guru dan pendidik Muhammadiyah dalam meningkatkan kapasitas kemampuan dalam mengajar”. Di era modern sudah sepantasnya para guru meningkatkan kompetensi pengembangan pengajarannya atau pengembangan kurikulumnya. Suatu hal yang terbalik bahwa dengan banyaknya informasi dan berkembangnya teknologi informasi di era digital yang terjadi adalah para anak muda tidak bisa memfilter atau mengontrol informasi yang diterima. Informasi yang kiat sulit diseleksi serta tak terbendung. Dampak dari ini adalah peserta didik berubah haluan. Yakni dengan adanya teknologi informasi peserta didik tidak semangat dalam belajar, namun secara fakta para siswa lebih dekat pada alat komunikasi (handphone).
Permasalahan yang sering terjadi adalah siswa tidak aktif dan belum tampak kompetensi hasil belajarnya. Berdasarkan data online dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora), Kemendikbud, hasil belajar siswa setiap tahunnya mengalami penurunan kualitas belajar. Terlebih sekolah-sekolah Muhammadiyah di lembaga amal usaha Muhammadiyah yang di bawah naungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) dan Pendidikan Dasar, Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 80% peserta didik menurun secara signifikan.
Data didapatkan dari evaluasi rapat kerja Dikdasmen PWN DIY dan Dikdasmen Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Hal ini cukup menjadi tugas besar kepada semua guru dan pendidik Muhammadiyah. Sedangkan pada dasarnya pendidikan Islam yang diterapkan selama ini di Indonesia tidak terjadi dikotomi pendidikan Islam. Namun dari hal itu, anak didik Muhammadiyah 80% belum bisa membaca al-Quran dan praktik shalat sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Nabi dan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah.
Berdasarkan data riset penelitian yang dicetuskan oleh UNESCO, bahwa konsep pembelajaran di masa kini adalah siswa sebagai pusat interaktif pembelajaran bukan guru sebagai pemancing dan pembelajaran yang aktif. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan atau menjalani proses pembelajaran di kelas atau di lingkungan sekolah. Guru hanya sebagai pengantar dan fasilitator dalam menyampaikan materi. Namun lagi-lagi yang tampak secara fakta guru yang aktif menjelaskan dari awal pembelajaran, hingga kebanyakan siswa bosan dan monoton dalam belajar.
Hal ini juga sesuai sebagaimana yang dicanangkan oleh Mendikbud, Nadim Makarim Anwar melalui pidato ilmiahnya sejak dimunculkannya kebijakan kurikulum merdeka belajar baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kurikulum merdeka sangat mendukung terhadap pengembangan kecerdasan siswa, terutama pada aspek penguatan karakter dan peningkatan hasil belajar. Namun kenyataan secara fakta sosial, ada permasalahan dalam lembaga pendidikan baik di sekolah, kampus, hingga pondok pesantren. Mayoritas siswa maupun santri tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dr. Mhd. Lailan Arqam (2010, 2021), sebagai pakar tentang teknologi pendidikan dalam sebuah riset tesisnya beserta artikel jurnal yang relevan menyatakan bahwa pentingnya para pendidikan guru memperbaharui (apgrade / aptudate) dalam mengembangkan pembelajaran kepada peserta didik. Terutama kepada pembelajaran dan pengajaran yang berbasis agama. Dalam hal ini, Azar Arsyad (2018), menyatakan bahwa pembelajaran di zaman era society 5.0 adalah identik dengan pembelajaran berbasis sosial media. Baik media pembelajaran audio visual maupun berbasis internet seperti Youtube, Instagram, whatshap, dan Facebook.
Sejauh ini banyak para ilmuan, praktisi, intelektual, dan pemerintah memberi pemahaman kepada guru melalui pelatihan, workshop, webinar, dan sosialisasi penguatan pembelajaran. Adapun yang masih terkenal pada saat ini adalah penguatan kurikulum merdeka belajar. Hal itu di implementasikan di sekolah-sekolah ataupun di madrasah dan pondok pesantren. khususnya bagi lembaga Muhammadiyah hal ini direspons baik oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Dikdasmen PWM DIY.
Para ketua dan anggota Dikdasmen PP Muhammadiyah meluncurkan konsep pengembangan kurikulum Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab (ISMUBA) terbaru yakni yang dikenal dengan kurikulum ISIMUBA integratif-holistik. Yang masih relevan dengan pengembangan kurikulum merdeka. Sejalan dengan itu, banyak pendekatan-pendekatan atau konsep pembelajaran di era berkembangnya teknologi dan informasi di era Society 5.0. Peneliti memberi temuan atau novelty model pembelajaran sebagaimana deskripsi di bawah ini:
Mencerdaskan Peserta Didik dengan Pembelajaran Neuroteknologi yang Menyenangkan
Mulanya teori Neurosains berkembang di era setelah turunnya Al-Quran pada abad ke-7. Hal ini direspon oleh kaum sekuler yang tidak mempercayai dengan adanya disiplin ilmu otak ini. Ilmu neurosains sangat lekat dengan penjelasan ilmu biologi, biasanya ilmu ini dikenalkan oleh ilmuan dunia medis kesehatan. Dr. dr. Taufik Pasiak sebagai ilmuan di masa kini yang respect dengan ilmu neurosains disandingkan dengan pendidikan Islam atau pendekatan spiritual keislaman.
Penjelasan teori ini terkenal sejak Taufik Pasiak mengkombinasikan pendekatan neurosains dan otak spiritual Islam. Tidak kalah pentingnya dr. Suyadi sebagai pakar neurosains dan pendidikan Islam menemukan konsep-konsep baru tentang pembelajaran, pendekatan pendidikan Islam, hingga tentang penelitian-penelitian pendidikan Islam dan neurosains. Ia memberi tawaran penemuan baru kepada para mahasiswa-mahasiswi magister pendidikan agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (UAD), mengaitkan ilmu neurosains dengan pendekatan pembelajaran pendidikan Islam baik dalam interdisipliner ilmu maupun multidisiplin ilmu.
Mengacu pada penguatan teori di atas, sepantasnya bagi pendidik dan guru di masa kini mengimplementasikan di sekolah dan di kelas. Khususnya terhadap pembelajaran agama Islam pada mata pelajaran ISMUBA. Agar tidak monoton dalam mengajar, mengimplementasikan ilmu, dan praktik kerja pembelajaran serta agar peserta didik tidak cenderung bosan dan malas.
Implementasi ilmu ini adalah memberi stimulus pada otak siswa baik otak kanan dan otak kiri berbasis tingkat kecerdasan otak. Artinya, guru memberi motivasi belajar, guru mengajar melalui media yang mengasyikkan, serta guru memberi pembelajaran yang santai seperti pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) berbasis lagu maupun pembelajaran PAI berbasis game (permainan). Namun tetap di bawah penguatan dan implementasi dari kurikulum merdeka dan kurikulum integratif-holistik tetap tersampaikan.
Penguatan Knowledge Manajemen Kurikulum ISMUBA Berbasis Integratif-Holistik
Kebijakan pengembangan kurikulum ISMUBA secara integratif holistik yang dicanangkan oleh PP Muhammadiyah merupakan langkah awal untuk meningkatkan kapasitas kemampuan siswa di sekolah Muhammadiyah. Dapat diketahui selama ini siswa kebanyakan belum mandiri dalam memperluas dan mengembangkan kemampuan belajarnya. Di mana-mana masih ketergantungan kepada gurunya. Hal ini disebabkan karena siswa belum mandiri dan belum memiliki tujuan pembelajaran yang baik.
Berdasarkan data dari Dikdasmen PWN DIY, 80% siswa dalam ujian ISMUBA-nya masih sangat rendah. Adapun dari kemampuan membaca al-Qurannya masih dikatakana belum bisa. Bacaan shalatnya masih seputar tentang doa iftitah dan bacaan Shalat yang lainnya, dan itu belum sesuai dengan HPT Muhammadiyah.
Integratif holistik merupakan rangkaian di antara konsep dan sistem yang satu dengan yang lainnya keterkaitan. Output dari luaran mata pelajaran fikih, al-Quran, bahasa Arab, Aqidah, dan Aqidah akhlak sangat berhubungan. Aspek ini dengan adanya kurikulum ISMUBA integratif holistik sangat relevan dengan kurikulum merdeka belajar, yang tujuannya sama. Yakni bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa belajar dan siswa agar lebih mandiri dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan kata lain memberi ruang belajar terhadap peserta didik di sekolah Muhammadiyah.
Baca Juga: Mengurai Kitab Fiqh Muhammadiyah
*Dosen Pendidikan Islam, Institut Studi Islam Muhammadiyah Pacitan.