Menjadi Full Time Mom atau Working Mom

“Bukan sekadar demi profesi, tapi menjadi ibu yang menginspirasi. Tidak hanya mencetak prestasi, tapi juga mencetak hebatnya generasi.” – Ahmad Rifa’i Rif’an

Oleh: Quratul Adawiyah*

Peran wanita di era modern sudah tidak dikaitkan dengan kodratnya sebagai seorang istri bagi suami dan ibu bagi anak, namun berkembang sehingga wanita telah berperan serta dalam setiap kegiatan masyarakat. Wanita yang memasuki lapangan pekerjaan, maka dengan sendirinya tugas untuk mengurus rumah, dapur, dan anak-anak terbagi. Dalam Islam, berbicara tentang wanita bahwa kewajiban sebagai seorang istri yaitu melayani suami, dan mendidik anak untuk menciptakan generasi Islam yang kaffah.

Tidak sedikit ulama menyatakan bahwa kewajiban dan ibadah utama bagi seorang wanita adalah di rumah, menjadi wanita yang menjaga kehormatan keluarga dan mengabdi kepada suami serta mendidik anak, hal ini tidak berarti wanita bekerja di luar rumah haram hukumnya. Wanita wajib bekerja, sebagaimana yang dilakukan Siti Khodijah di masanya, istri Rasulullah adalah wanita karir dalam arti bisnis pribadi sehingga tanpa mengabaikan tugasnya sebagai seorang wanita di dalam rumah tangga. Saat ini memang kaum wanita sudah banyak yang memperoleh pendidikan tinggi, namun seringnya selalu terseret ke arah omongan bahwa wanita setelah menikah sebaiknya di rumah  mengurus suami dan anak. Boleh berkarir, tapi jangan lupakan fitrahnya sebagai wanita.

Oleh karena itu, menjadi ibu rumah tangga dengan memiliki pendidikan yang tinggi tidak mudah bagi wanita, karena banyak sekali yang harus dipertimbangkan apalagi menghadapi mindset di masyarakat bahwa kuliah tujuannya adalah agar mudah memperoleh pekerjaan. Pola pikir inilah yang terus mengakar dan diwariskan secara turun temurun. Kita akui mengubah pola pikir lama ini tidak mudah. Tak  heran  kehidupan masyarakat modern masih tak sedikit yang menganggap kaum perempuan lebih baik bergelut dengan urusan-urusan domestik rumah tangga. Padahal pada nyatanya peran muslimah dibutuhkan di ranah publik. Ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memang butuh sentuhan dari perempuan. Misalnya dokter kandungan, dokter anak, atau spesialis lain yang bisa dijadikan alternative bagi pasien perempuan. Perawat, bidan, polisi wanita, guru, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan.

Dengan melakukan pekerjaan tersebut, seorang muslimah dapat memberikan kontribusi yang lebih luas di masyarakat. karena keadaan setiap manusia tentu tidak sama, yang melatarbelakangi untuk bekerja atau menjadi ibu rumah. Tidak bisa kita menggeneralisirnya. Bila jadi ada niat-niat baik yang dimiliki oleh perempuan bekerja seperti halnya ingin membantu suami, ingin mengamalkan ilmu, ingin berkontribusi lebih luas, sarana aktualisasi diri, berdakwah di lingkungan kerja, sebagai sarana ibadah dan lain sebagainya.

Jika alasan-alasan tersebut yang mendasari perempuan bekerja, apakah kita lantas menyalahkan mereka? Alasan-alasan tersebut merupakan alasan yang realistis dan positif. Tidak bisa kita menganggap semua perempuan yang bekerja sebagai perempuan yang abai terhadap keluarga.  Tidak bisa juga kita anggap semua wanita karir motif utamanya adalah demi gengsi dan agar disegani oleh masyarakat. sebab banyak para muslimah yang memiliki visi mulia melalui aktivitas kerjanya, akan tetapi tak lepas dari itu, banyak juga yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

Dalam buku The Perfect Muslimah karya Ahmad Rifa’i Rif’an, ditulis bahwa menjadi perempuan dengan pendidikan tinggi yang  hingga pada akhirnya memilih fulltime jadi ibu rumah tangga bukanlah sebuah kesalahan. Yang membuatnya terasa tabu adalah konsep pendidikan formal yang selama ini belum diresapi dengan bijak. Pendidikan tinggi-tinggi dengan karier yang elite. Padahal kuliah adalah satu cara menuntut ilmu guna menunjang tugas-tugas besar di masa depan. Bukan sekadar demi profesi, tapi menjadi ibu yang menginspirasi. Tidak hanya mencetak prestasi, tapi juga mencetak hebatnya generasi. Dalam buku tersebut juga menceritakan kisah tentang bapak  Habibie dan ibu Ainun yang ditulis sendiri oleh bapak B.J. Habibie. Ada satu hal yang menarik terhadap pendirian ibu Ainun dan bapak Habibie tentang perannya sebagai seorang ibu. Beliau tidak mau bekerja, padahal beliau adalah seorang dokter lulusan Universitas Indonesia.

“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir, buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu-begitu dan perlu diketahui, tulisan itu dibuat saat keluarga bapak Habibie masih sangat prihatin. Untuk membeli mesin jahit saja beliau harus mencicil lebih dari 2 tahun.

Menjadi ibu adalah tugas yang tak bisa diremehkan. Itulah Kenapa Islam sangat memuliakan posisi ibu sedemikian tinggi. Masihkah kau meremehkan tugas agung itu? Tak inginkah kau menduduki posisi istimewa itu? Menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan yang wajib dihormati. Ia tak kalah mulia dibanding para pekerja. Tak kalah hebat dibanding wanita karier. Maka yang perlu kita luruskan adalah tujuan dari keputusan kita.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari