ilustrasi: www.google.com

Oleh: Muhammad Haidar Nabil*

Ketika kepala sekolah di sebuah sekolah menengah di Manado sedang membacakan nama-nama siswa yang tergolong pintar dalam yudisium sekolahnya, seoang siswa tiba-tiba bertanya, “Ibu, siapakah yang lebih pintar, Albert Einstein atau Mike Tyson? Rudi Hartono atau B. J Habibie?”

Ibu kepala sekolah tidak saja kaget, tetapi juga marah. Dengan suara tegas dan berapi-api, ia berkata di depan pengeras suara, “Mana mungkin Mike Tyson yang kerjanya memukuli orang dibandingkan dengan Einstein yang menemukan hukum relativitas. Apalagi membandingkan Habibie dengan Rudi Hartono.”

Si siswa penanya (yang kebetulan pemain basket terkenal yang mengharumkan nama sekolahnya) tidak cuma kecewa dengan jawaban tersebut, tetapi juga merasa sia-sia dengan keterampilannya. Dia tak pernah dianggap cerdas dan pantas memperoleh penghargaan kecerdasaan dari sekolah. Dia mengalami kekecewaan serupa sebagaimana yang dialami seorang pemain gitar terkenal di sekolahnya.

Kasus yang merupakan kisah nyata di beberapa sekolah, ini membuka mata banyak orang tentang arti sesungguhnya kecerdasan. Apakah kecerdasan itu orang yang pintar matematika atau bahasa di sekolah, atau mereka yang memilik IQ tinggi?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Si Ibu kepala sekolah tidak cukup piawai dalam memahami kecerdasan kinestetis dan kecerdasan musik yang dimiliki dua siswanya. Di benak si ibu kepala sekolah, dan mungkin juga ada di benak sebagian besar pendidik di Indonesia bahwa yang disebut cerdas hanyalah mereka yang cerdas di bidang matematika dan bahasa. Padahal matematika dan bahasa hanyalah dua dari tujuh jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Nilai rapor, IPK, bahkan IQ hanyalah mengukur dua kecerdasan tersebut.

Tentu, ditilik dari kecerdasan kinestetis, pastilah Tyson jauh lebih cerdas daripada Einstein dan Rudi Hartono jauh lebih cerdas daripada Habibie. Fakta lain membuktikan bahwa orang yang nilai rapor dan IPK-nya bagus itu banyak yang menganggur. Dalam artian kecerdasan bukan sekadar ukuran angka saja, tetapi kecerdasan itu diukur dari potensi manusia yng berbeda-beda.

Sementara dalam setiap otak manusia itu memiliki 7 jenis kecerdasan : 1) linguistik, 2) matematika, 3) spasial, 4) kinestetis, 5) musik, 6) antarpribadi, 7) interpribadi. Itu semua merupakan potensi-potensi yang dengan kadar berbeda-beda pada setiap orang. Seseorang mungkin memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol, tetapi dengan kecerdasan musik yang rendah.

Masalahnya, pendidikan di Indonesia cenderung mengoptimalkan satu atau dua kecerdasan saja. Penghargaan pun masih untuk satu atau dua kecerdasan saja. Seperti halnya kebanyakan orang hanya memberi penghargaan kepada ilmuwan atau profesor yang berhasil menemukan hal yang baru daripada seniman yang berhasil membuat maha karya baru. Oleh karena itu, tugas yang paling berat adalah optimalisasi tujuh kecerdasan tersebut. Ini artinya optimalisasi seluruh otak.

*Santri Pesantren Tebuireng. Siswa kelas XII MASS Tebuireng.