sumber foto: Islamislogic.wordpress.com

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Saya mengutip sebuah riwayat hadis. “Ada seorang perempuan berkata, “Ya Rasulullah, aku ini utusan para Wanita yang diutus untuk menghadap kepada engkau. Kemudian wanita itu menjelaskan bahwa para sauami mereka itu mendapatkan pahala dengan jalan berjihad di jalan Allah, dan mendapatkan harta rampasan perang.

Wanita itu bertanya, “Lalu bagaimana dengan kita (para istri) ini.” Lalu Rasulullah menjawabnya, “Sampaikan bila engkau bertemu mereka-mereka para istri itu, bahwa sesungguhnya dengan kalian ini taat kepada para suami dan memenuhi hak mereka (para suami) itu serta kalian dapat berlaku adil kepada mereka itu, dan sungguh yang seperti ini, sangat sedikit dari mereka (kaum istri) yang dapat mengenal dan mengerjakannya (kewajibannya)”.

Dalam hadis lain. “Bahwa ada seorang Laki-laki datang kepada Baginda Nabi SAW bersama anak perempuanya, lalu laki-laki itu menyampaikan bahwa anak perempuannya tidak mau menikah. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Taat lah wahai anak perempuan ini kepada bapak/ayahnya!”. Maka anak perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran wahai Baginda Nabi, aku tidak mau menikah sampai Engkau mengabarkan kepadaku tentang hak suami atas istrinya.”

Lalu Baginda Nabi menjawab, “Hak suami atas istri itu adalah ketika andai si istri ini terkena luka, maka suami itu menjilati luka si istri itu, dan andaikan si istri itu mengalirkan darah dan nanah maka hendaknya seorang suami itu mendatangi haknya yang harus diterima oleh si istri”. Lalu anak perempuan itu berkata (lagi), “Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, wahai Baginda Nabi, Aku tidak akan menikah selamanya”. Lalu Baginda Nabi SAW menjawab, “Jangan kalian menikahkan anak-anak perempuannya kecuali atas seizin mereka itu”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hadis ini menjelaskan bahwa orangtua, para ayah atau ibu, tidak boleh asal menikahkan putri-putri atau anak perempuannya, sementara si anak perempuan itu tidak mau atau belum berkenan menikah.

Menikah kan anak perempuan itu harus dengan yang cocok, sesuai, dan tentu si anak perempuan itu berkenan mau menikah. Hal itu karena yang akan menjalani mahligai rumah tangga itu, yaitu anak-anak perempuan itu. Maka andai orang tua melaksanakannya dengan jalan memilihkan atau menjodohkan si anak perempuan itu tentu harus memilih calon suami yang sesuai, cocok, dan se-kufu’ dengan anaknya.

Inilah pentingnya apa yang saya sajikan dalam bagian-bagian sebelumnya, yaitu adanya proses khithbah atau tahap Lamaran, adanya proses Ta’arruf atau perkenalan, proses penyesuaian-penyesuaian antara calon suami dan Istri. Tentunya harus dengan ketentuan dalam syariat islam menurut pandangan para Ulama madzhab itu, misalnya dalam proses khithbah, hanya boleh melihat wajah, kedua tapak tangannya. Sebagai proses pengenalan atau prakondisi antara calon mempelai putra dan calon mempelai putri. Menurut saya hal itu penting sekali untuk diperhatikan dan dijalankan.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.