tebuireng.online – Apakah benar, pengkultusan orang-orang shaleh merupakan pintu menuju kemusyrikan? Mohon penjelasannya

 

JAWABAN

Mengkultuskan orang shaleh memang tidak baik. Terlalu memuja-muja para wali juga tidak benar. Namun, menghormati atau mendoakan para ulama adalah etika (adab) yang sangat dianjurkan oleh Islam. Maka, harus dibedakan antara menghormati dan mengkultuskan, antara memuliakan dan menganggapnya suci.

Kultus itu penyucian atau penafian kesalahan atau dosa pada diri sesorang. Jika kita menganggap para ulama itu tidak pernah salah atau berdosa, itu namanya kultus dan tentu saja dilarang oleh Islam. Sedangkan menghormati dan memuliakan kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah, itu adalah sebuah keharusan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Contohnya, saya menghormati, memuliakan, dan mengagumi Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab karena ketinggian ilmu dan karomah beliau, maka perbuatan saya itu tidak termasuk syirik. Begitu pula bila saya mendoakan beliau, baik mendoakan setelah shalat atau saat berziarah ke makam beliau; saya juga tidak melakukan kemusyrikan karena saya tidak menyamakan Allah Swt dengan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebab, saya tetap yakin bahwa beliau itu hamba Allah Swt. Beliau bukan Tuhan.

Mengagumi, menghormati, mencintai, mendokan orang-orang shaleh (seperti Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah etika yang baik dalam Islam.

Mengenai tuduhan sebagian pihak bahwa penghormatan atau doa yang dilakukan para peziarah kubur merupakan pintu menuju kemusyrikan, itu adalah tuduhan yang berlebihan. Apalagi ditambah tuduhan sebagai penyembah kuburan, penyembah patung wali, atau upaya mencari pesugihan. Karena kenyataannya tidak demikian.

Yang lebih tragis lagi, para peziarah kubur yang notabene Muslim, disamakan dengan Kaum Nabi Nuh yang notabene musyrik. Padahal tidak ada kesamaan sama sekali antara maqis (peziarah Muslim) dengan maqis alaih (Kaum Musyrikin). Para peziarah itu tidak ada yang membuat patung (Yaghuts, Tuwa, dll), sebagaimana perbuatan umat Nabi Nuh (QS. Nuh: 23). Mereka juga tidak pernah menyembah kuburan atau mencari pesugihan. Jika ada satu-dua oknum yang melakukan okultisme seperti itu, maka bukan ziarahnya yang salah, melainkan i’tikadnya. Ziarahnya tetap boleh, tapi i’tikadnya harus diluruskan.

Kenapa harus menghormati?

Para wali dan ulama memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Juga tinggi di hadapan manusia. Karena dengan kelebihan para ulama, peradaban manusia bisa bergerak dan akidah umat bisa terjaga. Semua ini merupakan anugerah Allah:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat. (Al-Mujadilah: 11)

Dalam al-Quran disebutkan bahwa orang yang berilmu menjadi standar kemuliaannya. Allah Swt berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَاب

Tidaklah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar: 9)

Allah Swt juga menempatkan orang-orang yang berilmu pada posisi ketiga setelah ZatNya dan Malaikat, yang bersaksi atas keesaanNya:

شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).(QS. Ali Imran: 18).

Dan puncaknya, Allah menegaskan bahwa yang paling bertakwa kepadaNya adalah orang-orang alim:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama). (QS. Fathir: 28)

Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-Alim wa al-Muta’allim, mengutip hadis riwayat Imam Thabrani yang menujukkan keutamaan ulama:

يَشْفَعُ يَوْمَ القِيَامَةِ ثَلاَثَةٌ الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ العُلَمَاءُ ثَمَّ الشَّهَدَاءُ

Ada tiga orang yang pada hari kiamat kelak dapat memberi syafa’at kepada orang lain, yaitu para nabi, para ulama, dan para syuhada.(HR. At-Thabrani)

Itulah sebabnya Rasulullah Saw menyamakan kedudukan para ulama seperti kedudukan Beliau atas umatnya.

فضل العالم على العابد كفضلي على أمتي

Keutamaan orang alim atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku (Nabi Muhammad SAW) di atas umatku. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)

Rasulullah membuat tamsil, para ulama itu laksana bintang-bintang di angkasa. Beliau SAW bersabda:

وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر

Keutamaan orang alim (ulama) atas orang yang ahli ibadah, adalah laksana cahaya bulan yang jauh lebih terang daripada cahaya bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi tidak mewariskan harta. Mereka mewariskan ilmu (kepada para ulama). Barangsiapa mempelajari ilmu warisan itu, niscaya dia akan memperoleh bagian yang sempurna (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)

Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa para ulama pada hari kiamat akan berdiri di atas mimbar yang terbuat dari cahaya. Dan ketika masih hidup, umat Islam dianjurkan shalat (bermakmum) kepada para ulama. Qadli Husain menukil sebuah hadis bahwa Nabi SAW bersabda:

مَنْ صَلَّى خَلْفَ عَالِمٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى خَلْفَ نَبِيٍّ, وَمَنْ صَلَّى خَلْفَ نَبِيٍّ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ

Barang siapa salat (bermakmum) di belakang orang alim, maka ia laksana salat di belakang Nabi. Dan barang siapa salat di belakang Nabi, maka dosa-dosanya akan diampuni.

Hadratus Syeikh juga mengutip sebuah hadis dari mukadimah kitab Nadzm al-Dlurar, bahwa Nabi SAW bersabda:

من عظم العالم فإنما يعظم الله تعالي ومن تهاون بالعالم فإنما ذلك استخفاف بالله تعالي وبرسوله

Barangsiapa memuliakan ulama, dia laksana memuliakan Allah Swt. Barangsiapa merendahkan ulama, maka ia seperti merendahkan Allah Swt dan utusan-Nya.

Al-Alusi (w.1251/1835) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani mengutip hadis qudsi, di mana Allah berfirman, “Di antara hamba-hambaKu ada yang selalu dekat kepadaKu dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganya yang digunakan untuk mendengar, matanya yang digunakan untuk melihat, tangannya yang digunakan untuk meraba, dan kakinya yang digunakan untuk berjalan.

lbnu Umar meriwayatkan hadis sbb: “Sesungguhnya Allah menolak bencana-karena kehadiran orang Muslim yang saleh-dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian Rasulullah SAW membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).

“Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah Saw., “Karena barokah merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia mendapat pertolongan”. (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).

Dalam Hilyat Al-Awliya’, Abu Nu’aim meriwayatkan sabda Nabi Saw: “Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.” Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud (dari kata-kata): karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘ Rasulullah Saw. bersabda, “Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolak berbagai bencana.”

Allah menyebarkan mereka di muka bumi. Kebanyakan manusia tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih kepada mereka. Rasulullah SAW menambahkan: “Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu karena banyak shalat atau banyak puasa.” Para sahabat heran dan bertanya, “Ya Rasulullah, lalu dengan apa mereka mencapai derajat tersebut?” Nabi SAW bersabda, “Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslimin.” (Dalam hadis lain, Nabi bersabda: Dengan ketaatan yang tulus, kebaikan niat, kebersihan hati, dan kesetiaan yang tulus kepada seluruh Umat islam).

Namun perlu dicatat, ulama bukanlah orang yang menggunakan ilmunya untuk tujuan-tujuan duniawi, seperti harta, jabatan, dan popularitas. Wali Allah bukanlah orang yang memiliki linuwih (kelebihan supranatural), misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang, jin, atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, bisa menghilang, atau keanehan-keanehan lainnya. Sebab, para dukun dan tukang sulap pun bisa melakukannya. Jika ada ulama yang linuwih, itu adalah karomah dari Allah Swt.

Kesimpulan

Mengagumi ketinggian ilmu para ulama, memuliakan para wali yang dekat dengan Allah, menghormati dan mendoakan mereka, bukan merupakan pintu syirik. Justru hal itu merupakan wujud ketaatan kita kepada Rasulullah SAW. Karena dalam hadits riwayat al-Bazzar, Rasulullah memerintahkan kita (Umat Islam) untuk mencintai para ulama.

اغْدُ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا، وَلاَ تَكُنِ الْخَامِسَ فَتَهْلَكَ

Jadilah orang yang alim (ulama), atau pelajar, atau pendengar, atau (minimal) mencintai mereka. Janganlah menjadi orang kelima (benci kepada mereka), karena kamu akan binasa. (HR. Al-Bazzar)

Itulah sebabnya Rasulullah SAW menyatakan bahwa kematian seorang alim laksana bintang yang redup. Beliau SAW bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثِلْمَةٌ لاَ تُسَدُّ ، وَهُوَ نَجْمٌ طَمَسٌ

Kematian seorang alim adalah musibah yang tidak dapat ditangkal; kebocoran yang tidak bisa ditambal. (Kematiannya) itu laksana bintang yang punah. (HR. Baihaqi)

مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

Kematian satu kabilah (komunitas) jauh lebih ringan daripada kematian satu orang alim. (HR. Baihaqi).

Dengan demikian, tradisi ziarah kubur sebenarya merupakan salah satu wujud kesedihan kita atas wafatnya para ulama, sekaligus bentuk penghormatan kita atas jasa-jasa mereka. Ziarah kubur yang diisi dengan bacaan al-Qur’an, tahlil, zikir, mengingat mati, mendoakan para wali dan ulama, atau berdoa agar bisa meneladani perilaku dan akhlak mereka, merupakan perbuatan yang sangat baik dan terpuji.

Namun, jika ziarah kubur diniati untuk mencari kesaktian, mendapat kedudukan, menambah kekayaan dengan perantara para wali atau ulama, maka itu adalah ziarah yang salah.

Yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan tradisi ziarah kubur (atau tahlil, maulid Nabi, dll), melainkan perilaku sebagian umat Islam yang mengidolakan artis atau selebritis (idol). Mengidolakan artis dengan cara mengagumi dan meniru apa saja yang dilakukan idolanya, mulai gaya rambut hingga gaya berpakaian, mulai memakai aksesoris hingga menghadiri konsernya. Kemudian, jika sang idola mencalonkan diri menjadi caleg atau cagub/cabup, umat Islam memilihnya tanpa pertimbangan. Itu justru lebih mengkhawatirkan daripada penghormatan kepada para ulama. Karena kecintaan kepada artis tidak akan memberi manfaat (apalagi syafaat) di akhirat kelak. Berbeda dengan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan para ulama.Wallahu a’lam.

A. Mubarok Yasin