Semenjak dahulu saya memang sudah mendengar Imam Nawawi. Tepatnya ketika pertama kali mengaji kitab Fathul Qarib atau sebutan lain, Taqrib. Dan juga sudah semenjak dahulu pula, saya mendengar kalau imam nawawi itu orang Indonesia. tepatnya Banten. Tapi saya tak tahu persis, banten sebelah mana? Bukankah Banten itu banyak?

Akhirnya, saya tahu dengan sejelas-jelasnya tempat tinggal dan kelahiran Imam Nawawi. Tentu saja saya tidak dapat langsung mengetahuinya. Ada ceritanya. Cerita itu bermula pada bulan Ramadlan yang baru lalu. Ketika itu, saya membantu-bantu membuat berita pada penerbitan harian yang beredar di Jakarta. Saya tertarik untuk meliput mengenai study Ramadlan yang diadakan oleh remaja Mesjid Al-Fudlola, Jakarta Utara. Disitu, saya berkenalan dengan remaja putri yang bernama siti Ma’rifah, salah seorang panitia Study Ramadlan.

Setelah beritanya dimuat saya datang kerumahnya untuk menyerahkan korannya. Kelanjtannya saya menjadi akrab dengan Siti Ma’rifah dan keluarganya. Pada kesempatan lain, setelah hari raya, saya berkunjung ke rumahnya. Kedatangan saya saat itu, benar-benar merupakan keuntungan, baik untuk Siti Ma’rifah dan keluarganya, maupun untuk diri saya sendiri. Pasalnya, saya diminta untuk meliput kegiatan Haul Imam Nawawi yang ke 92 di Banten. Tepatnya di Desa Tanara, Serang, Banten, Jawa Barat. Tentu saya menyanggupinya dengan sepenuh hati. Apalagi saya gratis naik kendaraan keluarganya dari Jakarta ke Banten. Ditambah lagi, konsumsi jalan terus selama dalam kendaraan. Pokoknya siip deh.

Ternyata keluarga Siti Ma’rifah, termasuk punya silsilah yang menyambung dengan Imam Nawawi. Hal itu semakin jelas setelah ayahnya, KH. Ma’ruf Amin, BA, yang alumni Tebuireng, menyambut atas nama keluarga besar Imam Nawawi. Setelah selesai sambutan dari pihak keluarga, disusul kemudian pidato sambutan dari pihak pemerintah. Dalam hal ini Bapak Bupati Daerah Tingkat II Serang, Banten H.T. Sumarna.

Dalam sambutannya, ia mengatakan, kita sudah sama-sama maklum bahwa beliau disamping ulama besar yang terkenal di dalam dan luar negeri, juga sebagai pejuang bangsa yang konsepsi dan realitas dalam menyelamatkan bangsa dari kebodohan dan keterbelakangan untuk menuju masyarakat yang penuh ketentraman dan kemajuan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lebih jauh bupati mengungkapkan, kita kenal Imam Nawawi sebagai ulama dan pejuang yang telah banyak menyumbang pada kemajuan bangsa dibidang ilmu pengetahuan, khususnya dibidang agama, seperti yang kita lihat dan rasakan. Bahkan kitab-kitab dan buku karangannya banyak dijadikan pegangan oleh para alim ulama, baik dibidang aqidah, muamlah, akhlak, dan tafsir. Seperti halnya kitab Tafsir Munir merupakan karyanya yang besar.

Hal yang semacam ini, tuturnya, menunjukan bahwa Indonesia sejak dahulu sampai sekarang, sudah terkenal dalam penggalian dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama Islam.

“kita sebagai generasi penerus, hendaknya meneruskan segala jejak Imam Nawawi untuk dapat lebih meningkatkan konsepsi perjuangannya dalam membangun bangsa dan tanah air,” kata Bupati Sumarna. Sekarang ini pemerintah kita sedang giat-giatnya membangun bangsa dan Negara yang memerlukan tenaga terampil, konsepsional, bekerja keras, berjiwa kreatif, dan konstruktif disertai amaliah yang produktif yang tidak terlepas dari bimbingan dan lindungan serta petunjuk dari Allah, pencipta alam ini.

Haul Imam Nawawi itu berlangsung selama dua hari. Hari pertama, Kamis malam Jum’at, 4 Juli 1986. Acaranya, pembacaan Kitab Suci Al-Qur’anul Karim secara bersama (10 x 30 juz). Dilanjutkan dengan pembacaan tahlil (do’a haul) dan do’a penutup.

Malam kedua, Jum’at malam Sabtu, 5 Juli 1986, merupakan acara pokok. Setelah pembukaan, diisi dengan alunan Kalam Illahi, yang disampaikan oleh H. Khawayi, dari Tengerang, Jawa Barat yang baru saja merebut juara II di Malaysia.

Yang hadir pada malam itu sungguh luar biasa banyaknya. Pengunjung tidak terbatasa dari desa Tanara saja, tapi juga banyak yang dari luar daerah. Diantaranya dari Jakarta banyak yang datang. Bahkan ada yang dari Madiun Jawa Timur. Juga ada yang dari Bali. Di desa Tanara, yang pada hari-hari biasa sepi dan kalau malam tiba, gelap karena proyek Listrik Pemerintah belum masuk kesana. Namun mala mini sungguh lain. Lampu neon dan bolam menerangi acara haul tersebut, dengan menggunakan diesel. Menjadi kontras dengan alam sekitarnya, yang tetap gulita. Hal itu justru semakin memperjelas bahwa kehadiran Imam Nawawi sewaktu masih hidup maupun setelah wafatnya, dapat menjadi penerang bagi siapa saja yang mau mendekat padanya.

Suasana malam itu, membludaknya pengunjung hanya dapat disamakan dengan Susana meriahnya kampanye pemilihan umum. Pengunjung yang memadati acara haul tersebut duduk beralaskan rumput hijau dilapangan. Sedangkan sebagian lainnya, berdiri berdesak-desakan. Tak ada sejengkal tanahpun yang lowong. Untuk dapat samapai ke podium, Bupati dan undang,an penting lainnya, harus minta bantuan keamanan.

Acara yang menarik dan yang saya tunggu akhirnya tiba juga. yaitu pembacaan riwayat Imam nawawi, yang disampaikan oleh KH. Fachri. Dia memulai ceritanya yang berhubungan dengan Kamus Munjid. Dalam kamus itu entah disengaja untuk memanipulasikan sejarah atau oleh karena pengarang kamus tiu melihat makam Imam Nawawi berada di daerah Saudi Arabia, Mekkah. Sebagaimana orang banyak mengetahui, pengarang munjit itu orang Kristen.

Namun yang jelas, sejarah tidak dapat dipalsukan dan diubah dengan sembarangan. Apalagi jika sejarah itu didukung dan diperkuat dengan fakta yang jelas, yaitu kalau pada bulan Rabiul Awal, kita kenal sebagai Maulidun Nabi, bulan kelahiran Nabi Muhammad. Kalau di desa Tanara, lain lagi. Di sana ada sebuah bangunan yang bertuliskan Maulidun Nawawi, tempat dilahirkan Imam Nawawi.

Ada perbedaan yang jelas antara Maulidun Nabi, dengan Maulidun Nawawi, kalau Maulidun Nabi, yang menjadi perhatian orang banyak adalah bulan kelahirannya. Sedangkan Maulidun Nawawi yang menjadi perhatian orang tempat kelahirannya, yaitu di desa Tanara, Seran, Bnaten.

Rumah tempat dilahirkan Imam Nawawi tersebut, sudah tidak asli lagi bangunannya, karena sudah dipugar oleh Yayasan Annawawi Al-Bantany. Bangunannya menyerupai sebuah mushola. Andaikata di luar tembok bangunan itu tidak ada tulisan Maulidun Nawawi, tentu orang yang melihatnya, yang berasal dari daerah lain akan mengira bangunan itu sebuah musholla.

Yayasan Annawawi Al-Bantany didirikan 6 tahun lalu, oleh cucu-cicit dari Imam Nawawi. Yayasan tersebut, kini baru memiliki Madrasah Ibtidaiyah, yang diberi nama “Annawawiyah.” Rencananya, di desa Tanara, Banten itu akan didirikan pusat pendidikan Islam terbesar di Indonesia, segala sesuatunya kini sedang dalam proses.

Rencana besar semacam itu, tentu bukan suatu hal yang muluk, yang sulit dicapai dan diwujudkan. Bukankah nama Nawawi merupakan jaminan mutu? Bukankah nama Imam Nawawi itu tidak hanya dikenal oleh penduduk desa Tanara saja, tapi juga oleh desa dan kota lain se Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi sampai ke Mekkah dan Mesir. Imam Nawawi sendiri meninggal dan dimakamkan di Mekkah. Jika kita kebetulan pergi ziarah ke makam Siti Aisyah dan para Syuhada di Mekkah, biasanya aka nada orang Arab yang akan menunjukan makam Iman Nawawi Al-Bantany.

Selanjutnya KH. Fachri mengatakan, sampai saat ini masih simpang siur, berapa sebenarnya karangan Imam Nawawi. Menurut habib Khaidar dari lasem, Jawa Tengah, karyanya sebanyak 115 kitab. Ada yang mengatakan, sebanyak 99 buah kitab, sama banyaknya dengan asma’ul husna. Ada lagi yang berpendapat, hanya sebanyak 44 buah saja. dari semua itu yang tercatat dari Yayasan Imam Nawawi Al-Bantaby, sebanyak 39 buah kitab. Sedangkan yang dua buah masih berbentuk tulisan tangan asli Imam Nawawi.

Dari 39 buah kitab itu, diantaranya kitab Tafsir Munir, Nihaayatuz Zain (Syarah Qurrotul Ain), Tausiyah (Syarah Fathul Qorib). Kaasyifatussaja (Syarah Safinatunnaja), Sulallimul Fudlola (Syarah Adzkiyaa), Nashhoibul Ibaad, Midaarijushshu’ud, Targiibul Musytaaqieen, Futhushshmad, Fathul Majid, Nuurudholam, Tanqiehul Qoul, Bahjatul Washooil, Qoomiuththugyaan, Syafinatushsholaah, Ugudillijain, Syarah Minhaajuththoolibien, dan seterusnya.

Tidak pernah makan ikan laut

Dikatakan, suatu hari Imam Nawawi pernah mendapat surat dari seseorang yang tidak dikenalnya. Isi surat itu singkat sekali, yaitu kaif. Artinya, bagaimana? Meskipun isi surat itu sangat singkat, tapi Imam Nawawi tetap mengerti. Lalu dijawabnya pula yang tidak kalah singkatnya, yaitu Qothth. Artinya sama sekali.

Yang dimaksud dengan kata bagaimana adalah menyatakan keheranannya terhadap Imam Nawawi, mengapa dia yang rumahnya dekat laut, kok bisa pintar, cerdas, alim, dan bisa mengarang kitab? Buakankah pada kebiasaannya orang-orang yang tempat tinggalnya di dekat laut, sering makan iakan laut?

Imam Nawawi menjawab, qothth, sama sekali. Berarti dia sama sekali tidak pernah makan ikan laut, meski disekitar rumahnya bergelimang yang namanya ikan laut. Karena menurut sebagian ulama, orang yang sering makan ikan laut, dapat mengakibatkan otaknya lemah dan bodoh.

Bagi para alim ulama, soal tidak makan ikan laut, bukanlah hal yang aneh dan asing. Banyak para alim ulama yang tidak mau makan ikan laut, meskipun ia sebenarnya doyan. Hal itu dilakukan karena ada sebuah Hadis yang mengatakan, “bahwa bagi orang yang menuntut ilmu, Alloh, Malaikat, dan binatang laut, akan mendo’akan padanya.” Dengan hadis tersebut, jelas jika ada orang makan ikan laut, apalagi orang itu sedang menuntut ilmu, akan berkurang jumlah ikan laut yang mendo’akan kepadanya.

Yang demikian itu tentu bertentangan dengan para ahli medis, dokter, dan ahli gizi yang sering menganjurkan, agar banyak-banyak makan ikan laut. Bahkan ikan laut merupakan salah satu ketentuan makanan sehat dan sempurna. Lalu siapa yang benar dan patut ditiru? Itu terserah anda.

 

Mohamad Sholhan

*Artikel ini dimuat di Majalah Tebuireng edisi IV Agustus 1986 di rubrik Santriana