adzan dan iqamah
Sumber Foto : gudangdoa.blogspot.com

tebuireng.online-  Mohon penjelasan tentang Shalawat Tarhim, baik sejarah, tujuan, maupun dalilnya. Sebagai pencerahan dan penambah ilmu. Terima kasih.

@FadlyantoH

JAWABAN

1. Sejarah

Shalawat Tarhim diciptakan oleh Syeikh Mahmud Khalil Al-Husshari (1917-1980), seorang qâri’ ternama lulusan Al-Azhar. Beliau merupakan Ketua Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz (organisasi para penghafal Al-Qur’an) di Mesir.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Syeikh Mahmud Al-Husshari memiliki kedalaman ilmu qirâ’ah dan tartîl yang luar biasa. Dalam pendangan beliau, tartîl bukan hanya ilmu yang mempelajarai cara membaca Al-Qur’an, tapi juga cara memahami bacaan yang baik dan benar. Yaitu melalui studi linguistik dan dialek Arab Kuno, serta penguasaan teknik pelafalan huruf per-huruf dan kata per-kata dalam al-Qur’an. Dengan begitu, tingkat kemurnian bacaan dan makna yang mendalam dari Al-Qur’an, dapat tercapai. Saking alimnya, beliau sampai dijuluki sebagai Sheikh al-Maqâri’ (guru para ahli qira’ah).

Shalawat Tarhim sendiri, pertama kali sampai ke Indonesia pada akhir tahun 1960an. Saat itu, Syeikh Mahmud Al-Husshari berkunjung ke Indonesia dan diminta untuk merekam Shalawat Tarhim di Radio Lokananta, Solo. Hasil rekaman tersebut kemudian disiarkan oleh Radio Lokananta dan juga Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya. Dari sinilah awal mula Shalawat Tarhim menjadi populer di Indonesia.

Sampai sekarang, Shalawat Tarhim sudah menjadi semacam “lagu wajib” di masjid-masjid atau mushalla, terutama sebelum azan subuh di bulan suci Ramadhan. Namun, kaset yang biasa diputar di masjid-masjid atau mushalla (utamanya di Jawa Timur), itu bukan lagi suara Syeikh Mahmud Al-Husshari, melainkan sudah dilantunankan ulang oleh Syeikh Abdul Azis (sama-sama dari Mesir).

 

2. Tujuan

Tujuan melantunkan Shalawat Tarhim ialah membangunkan kaum Muslimin agar mempersiapkan diri untuk shalat Shubuh, atau membangunkan mereka yang ingin shalat tahajjud. Oleh karena itu, Shalawat Tarhim tidak “wajib” menggunakan karangan Syeikh Mahmud Al-Husshari, tapi bisa memakai bacaan apa saja dengan tujuan membangunkan shalat shubuh, shalat tahajjud, sahur, dan lain-lain. Bahkan ada masjid yang membaca “tarhim” dengan mengulang-ngulang hadits sbb:

تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ

Sahurlah kalian, karena sahur itu membawa berkah“.

Ada juga masjid atau mushala yang “hanya” memutar ayat-ayat Al-Qur’an. Mungkin agar lebih mudah dan praktis. Yang jelas, pada bulan Ramadhan, di sela-sela Qira’ah atau Tarhim biasanya diselingi seruan untuk sahur (baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Hal ini menunjukkan bahwa bacaan Al-Qur’an atau Shalawat Tarhim tersebut, pada dasarnya bertujuan menuntun kaum Muslimin untuk shalat atau makan sahur.

 

3. Dalil

Mengenai dalil tarhim (atau bacaan al-Qur’an dan seruan-seruan sebelum Shubuh), dapat dipilah menjadi dua bagian. Yang pertama ialah dalil tentang bolehnya menyeru Umat Islam agar bangun sebelum Shubuh:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk azan sewaktu sahur, karena azan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan juga membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, Juz II, hlm 244)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menambahkan: “Pernah terjadi sebelum waktu shubuh dan bukan hari Jum’at, bacaan tasbih dan shalawat, bukan azan, baik dari sisi bahasa maupun agama.”

Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 dijelaskan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu memang baik. Namun jika disuarakan pelan, itu lebih baik, terutama bila dikhawatirkan akan muncul sikap riya’ (pamer) atau mengganggu orang yang sedang shalat tahajjud. Namun, selagi tidak ada unsur-unsur tersebut, maka tarhim dengan suara keras akan lebih baik agar Kaum Muslimin bias terbangun dari tidur.

Kemudian dalil kedua berkaitan dengan kebolehan memuji Rasulullah SAW, sebagaimana tersurat dalam Shalawat Tarhim ciptaan Syeikh Mahmud Al-Husshari. Banyak sekali hadits-hadits yang membolehkan kita (Umat Islam) memuji Rasulullah SAW, dengan pujian yang wajar, tidak berlebihan (okultisme), dan faktual. Di sini hanya kami kutipkan sebagian saja, karena kerebatasan halaman:

Suatu hari, Rasulullah SAW melakukan Thawaf mengelilingi Ka’bah. Lalu beliau melihat seorang Arab Badui yang juga Thawaf sambil menyeru: “Ya- Kariim!”. Maka Nabi pun mengucapkan “Ya Kariim” di belakangnya. Kemudian, ketika si Arab Badui berpindah ke Rukun yang Kedua, dia tetap menyeru: “Ya Kariim”. Maka Nabi pun menirukan “Ya Kariim”. Kemudian si Arab Badui mendekat ke Hajar Aswad dan berdo’a: “Ya Kariim”, lalu Nabi kembali mengikuti dan mengucapkan: “Ya Kariim”. Maka si Arab Badui menoleh dan berkata: “Adakah kamu mentertawakan aku? Seandainya bukan karena wajahmu yang bercahaya dan penuh keramahan, pasti kamu sudah kuadukan kepada kekasihku, Muhammad!!”.

Rasulullah SAW berkata:”Apakah Engkau belum mengenal Nabimu, wahai saudara Arabku?” Orang Badui itu berkata:”Demi Allah, aku beriman kepadanya padahal aku belum pernah mengenalnya sejak aku memasuki Mekah. Aku juga belum pernah menjumpainya”. Kemudian Nabi SAW berkata: “Aku ini (Muhammad) Nabimu, wahai saudara Arabku”. Mendengar pengakuan itu, Sang Badui segera memeluk dan mencium tangan Nabi seraya berkata: “Bapak dan Ibuku sebagai penebusmu, wahai Sang kekasihku.”

 

Kesimpulan

Membangunkan umat Islam untuk sahur, tahajjud, atau shalat Shubuh hukumnya mubah (boleh), dan sebaiknya dilakukan beberapa saat menjelang waktu Shubuh (menjelang pagi hari, bukan dini hari karena bisa mengganggu orang tidur). Bacaan atau seruannya boleh memakai ayat Al-Qur’an, shalawat, atau bahkan memakai bahasa daerah.

Jika seruannya menggunakan shalawat, boleh memakai shalawat yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW (wurud ‘an an-Nabi) atau shalawat yang berisi pujian yang wajar dan faktual kepada Nabi SAW. Bukan pujian yang berlebihan atau bersifat okultis (menuhankan).

Wallahu a’lam.

A. Mubarok Yasin