Oleh: Izzatul Mufidati*
Di Indonesia sudah menjadi tradisi mengakar khususnya bagi warga Nahdliyyin yaitu membaca Manaqib, yang dikonsep dengan acara tahlil, pembacaan Yasin fadhilah dan doa yang dilaksanakan secara berjama’ah dengan mengundang sanak famili dan tetangga.
Hal tersebut dilakukan ketika rutinan, terdapat hajat seperti anak lahir, pernikahan, khitanan, dan sesekali waktu dibaca ketika terjadi bencana yang berlarut-larut. Dengan tujuan mengambil lantaran berkah bacaan tersebut, demi terkabulnya apa yang dihajatkan.
Dalam kamus Munjid atau kamus-kamus Bahasa Arab lainnya, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya ath-Thariqu Fi al-Jabal (Jalan menuju gunung) dan diartikan juga dengan sebuah kisah yang berisikan autobiografi atau sejarah hidup para sahabat Nabi, Waliyullah dan orang shaleh.
Membaca manaqib artinya membaca cerita sejarah hidup, kebaikan, amal dan akhlak terpujinya seseorang yang dekat dengan Allah. Oleh sebab itu kata-kata manaqib khusus hanya bagi orang-orang baik dan mulia saja, seperti contoh: Manaqib Sayyidina Khadijah al-Kubro, Manaqib Umar ibn Khattab, Manaqib Ali bin Abi Thalib, Manaqib Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Manaqib Sunan Bonang, dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits diterangkan keutamaan ketika membaca autobiografi (Manaqib) para Wali, Ulama serta orang-orang shaleh dapat melebur dosa serta mendatangkan rahmat Allah.
”Mengingat para Nabi sebagian dari Ibadah, mengingat para orang shaleh adalah pelebur dosa, mengingat kematian adalah sedekah, dan mengingat neraka adalah jihad.” (HR. ad-Dailamy)
”Ketika dituturkan orang-orang shaleh turunlah rahmat” (H.R Abu Nu’aim)
*Disarikan dari buku Potret ajaran Nabi Muhammad dalam sikap santun Tradisi & Amaliah NU
**Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al Urwatul Wutsqo (STIT – UW)