Oleh: Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Segala puji bagi Allah Dzat yang mencerai beraikan kegelapan jahiliyah dengan cahaya syari’at yang dibawa oleh penghulu para manusia dan jin (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam-pent), Maha Suci Dzat yang sungguh agung urusan-Nya “Setiap waktu Dia dalam kesibukan”[2]. Aku memuji-Nya dengan pujian yang terus menerus dari lubuk hati yang paling dalam dan dari lisan yang tulus. Dan aku juga bersyukur kepada-Nya dengan syukur yang tiada hentinya dengan segenap hati dan anggota badan.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah yang Maha Tunggal, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang disucikan dari berjasad dan memiliki arah serta waktu dan tempat[3]. Dan aku bersaksi bahwa penghulu kami Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya, Nabi yang membawa kasih sayang, yang akan memberi syafaat[4] kepada umatnya, akhlak Beliau adalah Al Qur’an, semoga Allah memberi shalawat[5] dan salam-Nya kepada Beliau, keluarganya, sahabatnya, dan kepada seluruh Nabi dan Rasul serta semua hamba-hamba Allah yang shalih, malaikat-malaikat yang dekat (dengan Allah), dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari pembalasan di setiap tempat dan waktu, selama silih bergantinya siang dan malam.
Amma ba’du
Seorang hamba yang lemah yang rusak, penuh dengan cacat dan melampaui batas serta lemah badannya, Muhammad Hasyim bin Muhammad Asy’ari Al Jumbani, semoga Allah mempergaulinya dengan kelembutan-Nya yang tersembunyi lagi dekat, mengatakan :
Pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awwal tahun 1355 Hijriyah, aku melihat banyak orang dari para pelajar yang mencari ilmu pada sebagian pondok pesantren melakukan perkumpulan yang bernama “Maulid”, dan didatangkan untuk acara itu alat-alat permainan, kemudian membaca Al Qur’an dan hadts-hadis yang warid[6] tentang permulaan penciptaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan apa saja yang terjadi saat kelahiran Beliau yang berupa tanda-tanda dan seterusnya, termasuk membaca siroh (sejarah) Beliau yang diberkahi. Namun kemudian mereka melakukan perbuatan mungkar, yaitu saling memukul dan saling dorong-dorongan yang diberi nama “pencak” dan “tinju.”
Kemudian dipukullah rebana setiap kali acara itu dilakukan, dengan disaksikan para wanita ajnabiyah[7] dari jarak yang sangat dekat. Sehingga para wanita itu bisa menonton mereka (yang bermain pencak dan tinjau), diiringi musik serta sandiwara dan permainan-permainan yang menyerupai perjudian dan berkumpulnya pria serta wanita campur bawur untuk menonton, dan tarian-tarian yang membuat mereka tenggelam didalamnya dengan tertawa dan berteriak-teriak di dalam masjid dan sekitarnya. Maka kemudian akupun melarang mereka dan mengingkari mereka dari perbuatan-perbuatan mungkar itu, lalu merekapun bubar dan pergi.
Dan setelah perkara ini terjadi sebagaimana aku gambarkan, aku khawatir perbuatan yang hina semacam ini menyebar ke berbagai tempat, dan orang-orang awam yang ikut-ikutan melakukan hal itu menambah-nambahi dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Dan bisa jadi perbuatan ini akan membawa mereka keluar dari agama Islam. Maka aku menulis peringatan ini sebagai nasihat untuk agama dan sebagai bimbingan bagi kaum muslimin. Dan aku memohon kepada Allahsubhanahu wata’ala agar menjadikan ini ikhlas hanya mengharapkan wajah-Nya yang mulia, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang memiliki karunia yang besar.[8]
Nasihat Pertama
Berdasarkan pendapat ulama’ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa acara Maulid Nabi yang disunnahkan oleh para imam adalah berkumpulnya masyarakat yang disertai dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, riwayat hadis-hadis yang menceritakan permulaan kenabian Muhammad SAW, tanda-tanda kenabian yang terjadi pada saat beliau dalam kandungan serta kelahirannya dan sejarah perjalanan beliau yang penuh berkah. Kemudian mereka disuguhi makanan dan pulang secara bersama-sama. Andaikata mereka ingin menambah acara dengan menabuh terbang disertai dengan kesantunan etika, maka hal itu diperbolehkan.
Syaikh Syihab ad Din Abu Muhammad Abdurrahaman bin Ismail yang masyhur dengan panggilan Abi Syamah ra, berkata dalam kitabnya “Al Baa’its Fi Inkari al Bida’I Wa al Hawadits”: “Hal positif dari bid’ah pada zaman kita sekarang ini adalah aktifitas yang biasa dilakukan penduduk Kota Irbil, seperti bersedekah, berbuat baik, menampakkan perhiasan dalam berbusana dan kebahagiaan. Namun hal tersebut tetap disertai dengan berbuat baik kepada fakir miskin yang sebagai bentuk manivestasi rasa cinta dan mengagungkan Nabi SAW serta rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugerahkan, dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta dan rahmat atas seluruh para utusan. Semoga Allah senantiasa memperbaiki hari yang bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW dalam setiap tahunnya”.
Syaikh Umar bin Muhammad al-Mulla (gelar ulama’ di Timur Tenggah) adalah orang yang pertama kali melakukan tradisi tersebut. Beliau berasal dari Kota Moshul dan merupakan salah satu orang shalih yang terkenal dari daerah tersebut. Kemudian tradisi itu merambah dan diikuti oleh penduduk Irbil dan lainnya (semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka semua).
Syaikh Yusuf bin Ismail an Nabhany ra. mengatakan dalam kitabnya “Al Anwar al Muhammdiyyah”, “Nabi Muhammad SAW telah dilahirkan di kota Makkah, di sebuah rumah milik Muhammad bin Yusuf dan disusui oleh Tsuwaibah al Aslamiyyah, yakni hamba sahaya yang dimerdekakan Abu Lahab ketika ia memberikan kabar gembira tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setelah Abu Lahab meninggal, Tsuwaibah bermimpi bertemu Abu Lahab, dikatakanlah kepadanya: Bagaimana keadaanmu?”. Abu Lahab menjawab: “Aku disiksa dalam api neraka, hanya saja siksaanku diringankan pada setiap malam senin dan aku bisa menghisap air di antara dua jariku ini (sambil memberi isyarat dengan dua ujung jarinya). Hal itu disebabkan karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberitakan kabar gembira kepadaku akan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan penyusuannya kepada beliau”.
Ibnu al Jazary mengatakan, “Seandainya Abu Lahab yang kafir ini saja, di mana Al-Qur’an pun turut mencercanya, mendapat balasan yang bagus karena kebahagiaannya pada malam kelahiran Nabi SAW, maka bagaimana dengan orang Islam yang meyakini tentang ke-Esaan Allah dari umat Nabi Muhammad SAW. Mereka senantiasa berbahagia atas kelahiran beliau dan mencurahkan segala kemampuan untuk menggapai sesuatu di dalam mencintai beliau SAW? Demi hidupku, balasan seorang muslim tersebut hanyalah dari Allah Yang Maha Mulia, yakni memasukkannya ke dalam surga Na’im berkat karunia Allah yang begitu merata. Para muslimin senantiasa berbeda-beda dalam memperingati bulan kelahiran beliau SAW. Mereka mengadakan berbagai macam walimah (pesta), bersedekah, menampakkan kegembiraan, meningkatkan dalam berbuat kebajikan, membaca sejarah kelahiran beliau yang mulia, dan dari itu semua nampaklah segala karunia yang merata, berkah dari kelahiran beliau”.
Al ‘Allamah Ahmad bin Hajar (semoga Allah melimpahkan kasih-Nya) berkata pada bab Al Syahaadah kitab Tuhfat al Muhtaj, diperbolehkan memukul dan mendengarkan terbang dalam rangka resepsi pernikahan, karena beliau SAW memerintahkankan beberapa perempuan untuk memukul terbang ketika pernikahan antara Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fathimah. Akan tetapi beliau berkata kepada wanita yang mengatakan, “Di antara kami ada Nabi (yang tentunya) mengetahui apa yang terjadi hari esok”. “Janganlah berkata seperti itu, katakanlah apa yang harus kau ucapkan, yakni pujian kepada para syuhada’ yang terbunuh dalam perang Badar” (HR. Bukhari).
Dan benarlah riwayat: “Pemisah antara haram dan halal adalah memukul terbang (subhat)”. Dan berita: “Rayakanlah pernikahan ini dan laksanakanlah di masjid-masjid dan pukullah terbang pada acara tersebut”. Sanad hadis ini Hasan. Adapun Imam Tirmidzi yang mengatakan hadis ini dlo’if telah ditolak oleh para ahli hadis lainnya. Oleh karena itu Imam al Baghawy dan kawan-kawannya mengambil kedua hadis tersebut dan menarik kesimpulan bahwa ada kesunahan menabuh terbang itu pada acara walimat al-‘ursy dan sejenisnya, termasuk juga khitanan. Karena sahabat Umar ra. menetapkan khitan seperti halnya nikah. Selain dua acara tersebut, beliau mengingkarinya. (HR Ibnu Abi Syaibah).
Menurut qaul ashah, memukul terbang diperbolehkan pada selain resepsi pernikahan dan khitan yakni, setiap acara pesta (diadakan karena mensyukuri hal-hal yang membahagiakan). Berdasarkan riwayat Tirmidzy dan Ibnu Hibban bahwa, ketika beliau SAW pulang ke Madinah dari peperangan, ada seorang budak wanita hitam berkata, “Sungguh aku telah bernadzar; jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat, maka aku akan memukul terbang di hadapanmu”. Kemudian beliau berkata kepadanya, “Jikalau engkau telah bernadzar demikian, maka penuhilah nadzarmu”. Imam Bulqiny menjadikan hadis ini sebagai dasar pembahasan bahwa memukul terbang untuk menyambut kedatangan ulama atau pejabat itu diperbolehkan tanpa ada khilaf pendapat. Bahkan ini juga merupakan bukti kesunnahan memukul terbang dalam rangka meluapkan kegembiraan karena kedatangan seorang ulama’ yang memberi kemanfaatan bagi kaum muslimin.
Andaikata hukum memukul terbang adalah mubah, maka nadzar wanita tersebut tidak berlaku, dan tentunya Nabi Muhammad tidak memerintahnya melaksanakan nadzar tersebut. (Namun keterangan qaul ashah tersebut perlu ada penambahan tentang nadzar yang harus dihadirkan disini), juga diperbolehkan atau disunnahkan bagi orang yang mengatakan kesunnahannya (walaupun di dalamnya terdapat kecer atau ecek-ecek) berdasarkan kemutlakan riwayat.
Adapun anggapan bahwa terbang bukanlah termasuk kecer membutuhkan pada suatu penetapan yaitu adakalanya semisal klinthing yang dipasang di dalamnya, seperti terbang orang Arab atau kecer lebar dari kuningan yang dipasang dalam lubang lingkarannya, seperti terbang orang selain Arab (termasuk Jawa). Kitab al Hawy al Shaghir dan lainnya menetapkan kebolehan kecer ini.
Sementara itu al Adzra’y menentangnya. Beliau berpendapat bahwa terbang merupakan kegirangan yang paling dahsyat dari suatu permainan, yang disepakati keharamannya. Beliau menjelaskan panjang lebar dan mencuplik dalil-dalil dari seluruh ulama akan keharamannya, dan tidaklah ada perbedaan antara siapa yang memukul terbang; apakah laki-laki atau perempuan. Al Halimy secara khusus mengungkapkan kehalalan perempuan menabuhnya. Sementara itu, Imam Al Subky menolaknya.
Nasihat Kedua
Memperingati Naulid Nabi berdasarkan sifat yang telah disebutkan dalam redaksi awal (muqoddimah) hukumnya adalah haram. Tidak ada pertentangan pendapat antara dua Imam (baik Imam Al-Adzra’y dan Imam Al-Subky) akan keharamannya, tidak ada saling menjatuhkan antara dua tokoh agama dalam dua pendapat, serta orang yang mempunyai muru’ah dan keimanan tidaklah menganggap baik peringatan tersebut.
Adapun orang yang suka dengan tradisi tersebut adalah orang yang dibutakan mata hatinya, dia sangat suka dalam hal makan dan minum dan pula tidak takut terhadap caci makian orang ketika melakukan kemaksiatan serta tidak peduli bahwasanya hal tersebut merupakan dosa besar. Begitu juga, dia merasa leluasa terhadap perayaan tersebut, mendatanginya dan mengeluarkan harta karenanya. Hal seperti itu adalah haram yang amat sangat. karena di dalamnya terkandung kebusukan-kebusukan yang Insya Allah akan saya sebutkan nanti pada nasihat ini. Imam al Baidlawy ra mengatakan dalam tafsirnya, ketika menafsiri ayat:
وَلاَ تَسُبُّوْا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan jangan engkau memaki kepada orang-orang yang sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, kerena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampau batas tanpa pengetahuan”.(QS. Al An’am: 108)
Dikisahkan, suatu ketika kaum muslimin melontarkan ejekan terhadap berhala-berhala (Tuhan) orang kafir. Mereka dicegah melakukannya, supaya ejekan itu tidak menjadi sebab orang-orang kafir balik melontarkan ejekan terhadap Allah SWT. Ucapan Imam al Baidlawy tersebut merupakan dasar bahwa ketika suatu ketaatan menyebabkan kemaksiatan yang lebih besar, maka wajib meninggalkannya. Karena segala sesuatu yang mendatangkan kejelekan adalah jelek juga.
Apabila engkau mengetahui hal seperti itu, maka ketahuilah bahwasanya perayaan Maulid Nabi yang bisa menimbulkan suatu kemaksiatan, semisal hal-hal mungkar, maka wajib meninggalkannya dan haram pula melaksanakannya. “Aku telah dikabari oleh orang terpercaya bahwasanya pada suatu desa yang bernama Sewulan, Madiun ada peringatan Maulid yang dirayakan dengan kegiatan-kegiatan mungkar. Di sana, laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu serta pada salah satu permainan, para pemuda diharuskan memakai pakaian perempuan. Oleh karena itu timbullah fitnah antara penonton laki-laki dan perempuan yang berujung pada kerusakan-kerusakan yang tak terduga sebelumnya, sehingga mengakibatkan perceraian antara suami dan istri. Hal ini terkait dengan kebobrokan perayaan maulid yang disertai dengan melakukan kemungkaran”.
Nasihat Ketiga
Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al Lakhamy al-Sakandary yang terkenal dengan sebutan al Fakihany, beliau adalah pemimpin golongan Madzhab Maliky ra menjelaskan akan keharaman perayaan Maulid Nabi dengan ciri-ciri tersebut tadi. Dalam kitabnya yang bernama al Maurid, beliau berkomentar tentang maulid, setidaknya ada dua komentar terpisah.
Pertama, perayaan maulid yang dilakukan oleh seseorang dari hartanya sendiri untuk keluarga dan sahabatnya di mana tidak ada makanan dan tidak juga melakukan suatu dosa. Inilah yang aku maksud dengan bid’ah makruhah, kenapa? Karena tak seorangpun yang melakukan hal tersebut, walaupun itu dari para ahli taat terdahulu yang notabene adalah para ahli fikih Islam dan ulamanya para makhluk yang menjadi penerang zaman serta perhiasan beberapa tempat.
Kedua, maulid yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan kriminal dan amatnya rasa terpaksa, sehingga salah satu di antara mereka memberikan sesuatu yang mana dirinya sendiri eman dan hatinya pun mengeluh akibat dari sakitnya aniaya. Para ulama mengatakan bahwa memungut harta dengan bertameng kekuasaan sama seperti mengambilnya dengan pedang. Apalagi jika kekayaan tersebut hasil dari alat-alat yang batil seperti terbang dan seruling, kumpulnya antara laki-laki dengan laki-laki (gemblaan/meril pasangan dari warok) dan timbulnya fitnah bagi perempuan dikarenakan bercampur-baur tanpa ada jarak, tarian dengan nyanyian, goyang yang merangsang, tenggelam dalam permainan dan lupa akan adanya hari kiamat. Begitu juga perempuan ketika berkumpul sesama jenisnya, mereka mengeraskan suara dengan nyanyian, melagukan syair-syair dan bacaan yang keluar dari syariat dan adat kebiasaan. Masalah seperti inilah yang antara dua Imam tidak ada perbedaan pendapat tentang keharamannya.
Qaul keharaman ini diikuti oleh Syaikh Jalaluddin al Suyuthi, setelah beliau mencuplik komentar al Syaikh Tajuddin tersebut, yakni qaul yang kedua, beliau berkata: pendapat itu adalah benar adanya, akan tetapi keharaman pada qaul kedua ini dikarenakan perkara yang haram yang terkandung di dalamnya, bukan dari sisi perkumpulan untuk menampakkan syiar maulid.
Nasihat Keempat
Salah seorang yang menjelaskan keharaman perayaan maulid Nabi yang disertai dengan kegiatan hal-hal yang mungkar adalah Syaikh Abu Abdillah bin al Hajj al Maliki. Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Madkhal pada fashal “Maulid dan Bid’ah-Bid’ah Yang Dibicarakan Masyarakat Serta Akidah Mereka” bahwa apa yang mereka bicarakan adalah termasuk ibadah yang tergolong besar pahalanya dan menampakkan syiar agama sebagaimana yang mereka lakukan pada bulan Rabi’ al Awwal yakni maulid Nabi.
Hal ini tenyata mengandung bid’ah dan keharaman, karena di dalamnya terdapat penyanyi yang disertai alat-alat untuk bergoyang seperti terbang, seruling dan lain sebagainya, termasuk juga segala sesuatu yang dijadikan alat untuk mendengarkan. Mereka melaksanakan maulid Nabi dengan kebiasaan-kebiasaan yang tercela serta hal-hal berbau bid’ah yang menjurus pada keharaman, padahal mereka menggunakan banyak waktu yang telah dikaruniakan Allah. Mudah-mudahan mereka tidak mendendangkan lagu-lagu kecuali dengan beretika baik serta memulai acara maulid dengan membaca Al Qur’an, melihat kepada siapa yang paling banyak pengetahuannya untuk menuju jalan yang bisa memperindah jiwa, serta melihatnya dari sisi ibadah, bukan dari perkara-perkara mungkar yang diharamkan. Karena sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali. Islam bermula dalam keadaan asing dan ia akan kembali asing pula.
Bersambung ke Bagian 2………
[1] HR. Muslim, hadits ini asli ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari pada awal muqoddimah kitab ini
[2] QS. Ar Rahman : 29
[3] Ini adalah aqidah Asy’ariyah, Fakhruddin Ar Rozi menyebutkan hal ini dalam kitabnya Tahsiisut Taqdiis
[4] Tentunya setelah mendapatkan izin dari Allah dan umat Beliau yang berhak mendapatkan syafa’at adalah orang yang memenuhi kriteria: ahlit tauhid dan diridhoi oleh Allah (orang yang memberi syafaat diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk memberi syafaat kepadanya)
[5] Shalawat Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pujian-Nya di hadapan para malaikat di langit
[6] Warid : datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
[7] Ajnabiyah : wanita yang bukan mahram dan bukan istri, yang tidak boleh memandangnya dan berinteraksi dengan mereka kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan syariat
[8] Tanbihat Al Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah, hal. 7-10, terbitan Maktabah At Turots Al Islamiy, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
*Diterjemahkan oleh Ustadz Zainur Ridho (Tim Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari) dari kitab at Tanbihat al Wajibat liman Yashna’ al Maulid bi al Munkarat karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari