http://warohmah.com/syarat-dan-rukun-nikah/

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Rukun Nikah

Sebagaimana yang saya tulis dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa menikah itu bukan hanya sekedar menyalurkan nafsu birahi dan syahwat saja. Menikah itu bukan seperti layaknya binatang atau hewan, habis hubungan langsung selesai dan habis perkara. Tidak begitu. Namun, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing yang bersangkutan, baik suami maupun istri (sebagaimana nanti akan saya tulis dalam bagian-bagian berikutnya).

Bagian ini saya akan memulai masuk ke dalam bahasan mengenai rukun nikah. Supaya lebih detail dan jelas, saya akan cantumkan tulisan Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari dalam Dhou al Mishbah fi Bayani Ahkam an Nikah dan pandangan Syaikh Abdurrahman al Juzairy dalam Kitabnya, al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah.

Menurut Kitab Dhau al Mishbah halaman 11, Hadlratussyaikh menyampaikan bahwa Rukun Nikah itu ada 5, yaitu  shighat, calon Suami, calon Istri, wali, dua orang yang berakad, dan dua orang Saksi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saya akan bahas satu persatu menurut pandangan Ulama dan Imam Madzhab empat, sebagai berikut:

Shighat itu adalah lafadz akad dalam pernikahan. Seluruh Imam madzhab, selain Madzhab Hanafi, mengatakan bahwa hukum pernikahan yang tidak melafadzkan akad mufidah untuk memiliki sesuatu adalah tidak sah. Sebagaimana misalnya dalam jual-beli. Walau pun demikian, Madzhab Hanafi atau al Hanafiyyah mengatakan sah dan boleh hukumnya, tanpa shighat dengan syarat-syarat tertentu yang diunggulkan.

Para Ulama sepakat bahwa melafadzkan shighat itu menurut keterangan dalam kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah ini, harus dalam satu majlis. Maka tidak sah, misalnya ada seseorang yang  melafadzkan Shighat nikah si A berada di satu tempat, lalu si suami yang menerima dengan ucapan, “Qabiltu” berpindah tempat ke majlis yang lain. Maka hal ini tidak sah shighatnya. (lihat selengkapnya dalam kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah, Juz 4, hal. 23, terbitan Daar el Fikr).

Sementara itu, terkait si calon suami itu menjawab cepat-cepat, seketika tanpa jeda, para Ulama berbeda pendapat. Madzhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa cepat-cepat menjawab “Qabiltu” si calon suami itu, tidak disyaratkan selagi masih berada dalam satu majlis, menurut kebiasaan-kebiasaan yang ada. Tetapi, kalau masih ada sesuatu yang menyebabkan, misalkan ada kesibukan-kesibukan di antara yang berakad, sehingga prosesi dalam Majlis akad tersebut terpotong, maka hal yang demikian ini, tidak sah shighat nikahnya.

Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Maliki mengatakan cepat-cepat yang dimaksud adalah boleh terpisah akad tersebut, tapi hanya sekejap atau sebentar saja, menurut kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, tidak boleh sampai terpotong lama.

Lebih lanjut, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam Dhau al Mishbah bahwa Imam Syafi’i menerangkan dalam Kitab al Um; bahwa tidak ada pernikahan untuk selamanya sampai seorang Wali Nikah berkata,  “Zawwajtuka, Ankahtuka” lalu calon suami itu menjawab, “Qabiltu Nikahaha” atau “Qabiltu Tazwijaha”.

Di dalam Syarah al Ihya dikatakan bahwa, “Tidak disyaratkan harus ada Ittifaqul Lafdzi atau kepakatan atau kesesuaian lafadz antara seorang Wali dan calon suami. Misalnya si Wali itu mengatakan, “Zawwajtuka”, lalu dijawab, “Qabiltu Nikahaha”. Maka hal ini menurut Madzhab Syafi’i hukumnya sah, atau boleh.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.