Oleh: Muhammad Abror Rosyidin*
Skala Urgensi Komponen Pendidikan
Menarik saat pengalaman penulis mengajar di kampus mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, terjadi diskusi sengit antar mahasiswa terkait komponen-komponen pendidikan, yaitu pendidik, peserta didik, kurikulum, pendekatan, metode, evaluasi, alat/media, dan lembaga pendidikan. Dari kesemuanya ini, yang menjadi perdebatan, adakah urutan di atas, juga mengacu pada skala prioritas urgensi. Ada beberapa mahasiswa yang berpendapat bahwa pendidik dan peserta didik jelas merupakan dua komponen utama dan paling penting di dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun, ada juga thaifah (kelompok kecil lain) yang mengatakan bahwa pendekatan, metode, dan kurikulum adalah dewanya komponen pendidikan.
Sebagai dosen, tentu penulis bertugas memberikan jawaban berdasarkan pada keilmuan dan realita. Keilmuan dan realita terkadang bertolak belakang satu sama lain. Keilmuan mempengaruhi realita, atau realita mempengaruhi keilmuan. Siklus ini juga debatable, di kalangan pakar. Amanat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 tentang ketentuan umum, pasal 1 ayat 3 dijelaskan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Komponen-komponen di atas dianggap semuanya penting.
Malasahnya, jika tidak ada skala prioritas, kecenderungan manusia ketika tidak dapat memenuhi semua hal, atau ada temuan masalah yang menjangkit komponen dari semua tatanan, akan mengukur skala urgensi dan prioritas. Batu bata, pasir, semen, dan pondasi, menyusun bangunan akan sangat susah mencari mana yang paling penting di antara semuanya, tetapi ada di antaranya itu, yang ketika ia rusak, maka akan rusak semuanya, ada juga yang di antara hal-hal itu, kalau ia rusak, tidak terlalu mengganggu atau tidak memberikan dampak kerusakan yang parah.
Misalnya pondasinya, kalau bobrok, tentu mempengaruhi keseluruhan bangunan di atasnya. Tapi jika kualitas batu bata kurang baik, tentu kemungkinan bangunan tetap bisa berdiri walau rapuh, ibarat mau dibongkar, tidak perlu menyertakan pondasi dalam daftar pembongkaran. Jika tidak sampai merubah desian dasar, pondasi akan tetap dibiarkan, karena ia sejatinya bukan akar masalahnya.
Analogi di atas hanya memberikan gambaran, bahwa sejatinya komponen-komponen dari penyusun pendidikan di awal disebutkan itu, walau terlihat semua penting, tapi sejatinya ada komponen yang menjadi basis bangunan pendidikan. Dalam perkembangan awal pendidikan, dua komponen yang terbentuk hanyalah pendidikan dan peserta didik. Hanya ada guru dan murid yang saling berinteraksi untuk proses transfer keilmuan, tanpa kurikulum, tanpa kelembagaan, dan bahkan mungkin tanpa evaluasi. Adapun alat dan media pembelajaran hanya ada sebagai instrument pendidikan, seperti buku dan alat tulis.
Dalam masa perkembangan selanjutnya, buku menjadi penting, lalu dilembagakan, dibuatlah metode dan pendekatan. Barulah kemudian, ketika ada entitas kekuasaan, pemerintahan, dan daerah administrasi, muncullah kurikulum, dan pelembagaan, sepaket dengan administrasinya. Lalu timbullah masalah-masalah pendidikan, karena semakin besar cakupan pendidikan, semakin resisten terhadap masalah. Masalah yang berawal dari hubungan guru murid, berubah menjadi masalah lembaga dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Siklus itu alami terjadi seiring berkembangnya inovasi insan pendidikan, dan perkembangan teknologi pendidikan dengan piranti-pirantinya.
Dalam Islam, pendidik dan peserta didik, menjadi dua komponen yang paling dasar dalam pendidikan. Manusia pertama sendiri, yaitu Adam a.s, menjadi peserta didik pertama dalam sejarah pendidikan manusia. Gurunya adalah Allah sebagaimana tertera dalam Al-Baqarah ayat 31. Percontohan itu menjadi ideal, di mana ada guru, tentu saja membutuhkan murid, dan juga sebaliknya. Tanpa murid, guru tidak bisa disebut guru, tanpa guru, murid tidak dapat belajar dengan baik dan berbasis keilmuan. Di dalam kitab-kitab para ulama juga disebutkan pembahasan tentang mekanisme hubungan guru dan murid, seperti kitab Syaikh az-Zarnuji, Syaikh Ibnul Jama’ah, sampai KH. Hasyim Asy’ari.
Probrematika SDM Pendidikan
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam realita pendidikan saat ini, juga didominasi oleh permasalahan sumber daya manusia, terutama yang berkaitan dengan akhlak dan adab. Kita dibuat tercengang dengan berbagai berita di televisi dan media sosial, siswa membuli temannya, hingga di antaranya merenggang nyawa, guru memperkosa murid, guru melecehkan murid, guru mempertontonkan video porno, murid membacok guru, murid menantang berantem guru saat ditegur untuk maripikan baju. Naas lagi, seorang guru honorer, dilaporkan oleh walimurid ke pihak berwajib karena menghukum anaknya yang tidak shalat. Ia lalu dedenda 50 juta akibat aktifitas pendidikan yang menurut insan pendidikan seharusnya itu “wajar” bahkan “wajib” dilakukan.
Kasus yang lain, seorang guru menyodomi murid-muridnya, sesama jenis. Belum lagi, permasalahan kualitas guru yang berpengaruh pada kualitas peserta didik juga. Belum lagi kita bicara soal penjaringan guru. Di mana banyak di antaranya orang-orang yang masuk menjadi PNS karena menjual sawah orang tuanya untuk pemulus jalannya menjadi “abdi negara”. Belum bicara soal kesehatan mental manusia Indonesia yang beranjak mengkhawatirkan, mental guru, mental murid, dan mental orang tua murid, sehingga terjadi kekerasan, bullying, konflik sekolah/guru dengan walimurid, dll.
Tergelitik rasanya, guru-guru honorer punya gaji yang untuk popok dan susu anaknya saja tidak cukup. Di antara teman-teman penulis mengajar di sekolah swasta dan menjadi guru honorer tarkadang mendapatkan 300.000, 280.000 tidak sampai 500.000 perbulan. Dalam ukuran matematis tentu ini tidak cukup. Padahal tuntutan pendidikannya sama-sama riwehnya. Harga popok ketika penulis lihat di salah satu plaltfom jual beli online, harga sekitar 58.000 dengan isi 28 pcs. Belum kebutuhan transportasi, kebutuhan sehari-hari, dan kebutuhan-kebutuhan lain, apalagi kalau punya cicilan. Sementara administrasi pendidikan masih terus berjalan. Ini kita masih belum bicara guru TK, PAUD, dan TPQ loh ya, lebih miris lagi terkait masalah gaji.
Maka banyak guru, yang akhirnya mempunyai pekerjaaan lain, entah berdagang, bertani, berwirausaha, menjadi ojol, dll. Akhirnya berpengaruh pada profesionalitas keguruannya. Guru tidak fokus mengajar. Akhirnya banyak di antara guru honorer yang menganggap menjadi guru bukanlah profesi utama, tetapi hanya sebagai profesi yang ikhlas dijalani sebagai amal ibadah.
Bahkan survei dikutip dari Harian Kompas, menurut lembaga riset No Limit Indonesia seperti dikutip Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada 2021 profesi guru menjadi kalangan yang paling banyak terjerat praktik pinjaman daring ilegal. Sebanyak 42 persen responden korban jeratan pinjol ilegal berprofesi sebagai guru. Adapun kalangan lainnya adalah korban pemutusan hubungan kerja (21 persen), dan ibu rumah tangga (18 persen). Berikutnya karyawan (9 persen), pedagang (4 persen), pelajar (3 persen), tukang pangkas rambut (2 persen), dan ojek daring (1 persen). Masih menganggap kurikulum masalah utama pendidikan?
Guru yang dieluh-eluhkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, memang betul-betul tanpa tanda jasa, gajinya murah, kurang perhatian, tapi banyak sekali tuntutannya, baik kualitas dan administrasi. Begini kita terus bercita-cita menjadi bangsa dengan pendidikan nasional yang maju. Mengutik perkataan Youtuber Guru Gembul, bahwa gaji guru sekian, ya karena emang sekian itu harga atas kualitasnya. Mohon maaf bapak Gembul, menjadi guru tidak hanya bicara soal kualitas keilmuan, tapi lebih dari itu adalah dedikasi yang belum tentu bisa diberikan oleh orang-orang yang bukan guru, sekalipun ia menguasai keilmuannya, atau sekalipun ia bisa menjelaskannya.
Masalah Insfranstruktur Pendidikan
Ada banyak suguhan di internet, terkait perjuangan guru yang mengajar di pedalaman, di daerah-daerah dengan akses ekstrim. Ibaratnya mereka ini guru sekaligus jadi Ninja Hatori, karena melewati gunung jauh di lembah. Bahkan murid-muridnya ada yang mempertaruhkan nyawa menyeberangi sungai yang tidak dangkal, menyeberang dengan alat outbound manual berseluncur di atas sungai. Sekolah mereka yang hanya berupa gubuk dengan hanya segelintir guru, padahal notabenenya sekolah negeri.
Sekolah yang seharusnya menjadi sekolah modern, menjadi sekolah berbasis rimba. Internet yang menjadi kebutuhan dasar pendidikan di era digital, dan mendukung kurikulum Merdeka, justru menjadi masalah yang cukup besar, banyak daerah yang susah mendapatkan akses internet, bahkan lab computer saja tidak punya. Boro-boro gurunya mikir soal kurikulum Merdeka, mikir bagaimana caranya proses pembelajaran tetap dilaksanakan saja masih pusing. Tidak perlu panjang-panjang membahas masalah infrasruktur pendidikan yang tidak merata, karena buktinya bisa dilihat sendiri di media massa dan media sosial. Perlu diingat, Indonesia tidak hanya dilihat dari Jakarta.
Masih Melihat Kurikulum sebagai Masalah Utama Pendidikan?
Artinya, mau kurikulumnya apa, kurikulum diseting sedemikian rupa, kurikumum dibuat secanggih apa, tetapi jika masalah utamanya masih berkaitan dengan SDM dan infrastruktur, tidak akan pernah menemukan ramuan yang pas soal pendidikan nasional. Karena objek dan subjek pendidikan yang utama adalah manusia, maka Pembangunan manusianya harus menjadi fokus utama. Belum lagi fakta bahwa ganti meteri ganti kurikulum, ya makinlah sudah insan pendidikan menjadi kelinci percobaan di setiap rezim. Padahal kurikulum sebelumnya belum juga ada tanda-tanda keberhasilan.
Naasnya, dengan bangganya pemerintah menggaungkan kurikulum yang ditawarkan merupakan solusi utama masalah pendidikan. Mungkin iya bagi para professor ahli pendidikan, staf ahli kementerian dan menterinya sendiri, itu merupakan kebanggaan. Di akar rumput, guru-guru mengernyitkan dahi, mengangkat pensil memutar-mutarnya di depan muka, menggaruk-garuk rambut, menepok-nepok jidad, lalu berpikir, “waktunya kita belajar kurikulum lagi”, “Alamak, gaji tidak naik-naik, eh malah ganti kurikulum lagi”, “Baru saja kita habiskan uang untuk pelatihan K-13, malah abis ini kita investasi bodong lagi dengan pelatihan kurikulum Merdeka”, dan angan-angan yang lainnya.
Setiap tahun-tahun ajaran tidak pernah diadakan survey dan penelitian yang komprehensif terhadap indeks keberhasilan sebuah kurikulum. Evaluasi terkait tingkat keterserapan anggaran pendidikan sebagai faktor utama keberhasilan pendidikan. Intinya, mau bagaimanapun kurikulum, jika SDM belum siap, belum mumpuni, dan masih tidak diperhatikan, guru tidak disejahtarahkan, sekaligus infrastruktur yang belum merata, selama itu, kurikulum tidak akan pernah menjadi solusi utama pendidikan nasional. Apa indikator KTSP berhasil dan tidak berhasil sehingga perlu diganti K13? Dan Apa indikator K13 berhasil dan tidak, sehingga perlu ada kurikulum baru, bernama Merdeka. Nanti saat Mas Menteri tidak lagi menjabat, dan rezim bergeser, belum tentu masih dipakai? Kan kurikulum itu berdasarkan tren, bukan murni untuk kemajuan pendidikan.
Baca juga: https://tebuireng.online/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
*Dosen Unhasy Tebuireng.