maldives2Tentang Maladewa

Republik Maladewa adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol (suatu pulau koral yang mengelilingi sebuah laguna) di Samudra Hindia dengan Ibu Kota Male. Maladewa terletak di sebelah selatan-barat daya India, sekitar 700 km sebelah barat daya Sri Lanka. Negara ini memiliki 26 atol yang terbagi menjadi 20 atol administratif dan 1 kota. Negara ini merupakan negara dengan populasi dan luas wilayah terkecil di kawasan Asia.

Tinggi rata-rata permukaan tanah di Maladewa adalah 1.5 meter di atas permukaan laut, hal ini menjadikannya negara dengan permukaan terendah di seluruh dunia. Puncak tertinggi Maladewa hanya 2.3 meter di atas permukaan laut sehingga negara ini juga dikenal sebagai negara yang memiliki puncak tertinggi paling rendah di dunia. Keadaan ekonomi Maladewa bergantung pada dua sektor utama, yaitu pariwisata dan perikanan.  Negara ini sangat dikenal memiliki banyak pantai yang indah dan pemandangan bawah laut yang menarik. Terdapat sekitar 700.000 turis mengunjungi negara ini setiap tahunnya. Penangkapan dan pengolahan ikan menjadikan Maladewa salah satu ekportir ikan ke beberapa negara Asia dan Eropa.

Luas daratan negara ini kurang dari 0,5 persen luas keseluruhannya, yaitu 90.000 km2. Tidak ada pulau yang besar, tidak ada bukit atau gunung. Rata-rata ketinggian dari permukaan laut hanya 1,5 m. Ibu kota negaranya, Male, hanya memiliki luas kurang dari 2 km persegi. Male memiliki populasi sekitar 70.000 orang, sedangkan Maladewa sendiri punya populasi sekitar 400.000 orang. Male merupakan kota terpadat di dunia dengan 35.000 orang per km2. Hanya empat pulau yang tercatat memiliki populasi di atas 5.000 orang, sedangkan pulau-pulau berpenghuni lainnya rata-rata dihuni 800 orang saja.  

Penduduk Maladewa disebut orang Divehi. Mereka menamakan negara mereka Divehi rājje yang berarti Kerajaan Kepulauan. Secara etnografi, orang Divehi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok utama penduduk Maldives yang menempati IhavandippuỊu (Haa Alif) hingga Haddummati (Laamu), kelompok selatan Maladewa yang mendiami tiga atol paling selatan di ekuator, dan penduduk Minicoy yang menempati pulau sepanjang 10 km di bawah administrasi India. Berdasarkan etnisnya, penduduk Maladewa dibagi menjadi 4, yaitu Sinhalese, Dravida Arab, dan Afrika berkulit hitam. Hanya ada satu etnik minoritas di negara ini, yaitu Suku Indian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain sektor pariwisata yang menjadi komoditi nomer wahid di Maladewa, ekspor ikan tuna juga menyumbangkan banyak pemasukan bagi negara kepulauan tersebut. Sebanyak 90 persen ikan tuna yang diekspor adalah tuna segar, tuna kering, tuna beku, tuna diasinkan, dan tuna kaleng. Akan tetapi, kondisi tanah yang kurang subur membuat Maladewa harus impor bahan makanan pokok dari negara lain, semisal India dan Sri Langka.

Industri di negara ini terdiri dari pembuatan kapal, kerajinan tangan, pengalengan tuna, serta produksi pipa PVC, sabun, mebel, dan produk makanan. Beberapa negara yang mempunyai hubungan baik dalam perekonomian Maladewa adalah Jepang, Sri Lanka, Thailand, dan Amerika Serikat.

Islam Masuk ke Maladewa

Islam hadir di Maladewa sejak berabad-abad yang lalu. Agama ini dibawa oleh pedagang asal Timur Tengah dan Gujarat untuk kemudian diterima luas oleh masyarakat pribumi dengan cukup mudah. Maka tidak heran apabila Islam telah menjadi agama resmi semenjak 800 tahun lalu.

Sejarawan Muslim terkemuka asal Maroko, Ibnu Battutah, bahkan mengungkapkan, pada 1153 Muhammad el Adil merupakan sultan pertama di Maladewa yang memeluk Islam setelah sebelumnya raja-raja di Maladewa memeluk agama Buddha. Bahkan menurut sumber lain, pada tahun 1344, Ibnu Batutah langsung diangkat sebagai hakim.

Beberapa nama sultan setelahnya, seperti Sultan Hatidje, Sultan Maryam, dan Sultan Fatma Dayin pun dikenal sebagai bagian dari Kesultanan Maladewa. Dari kesultanan Maladewa itulah wilayah gugusan atol ini kemudian secara mayoritas menjadi negara berpenduduk Muslim hingga kini.

Nama Abul Barakhat al Barbari disebut sebagai penyebar agama Islam yang termasyhur di Maladewa. Pada 1153 M kesultanan pertama dibentuk dan sejak saat itu Islam menjadi agama nasional. Pada 1344 M Ibnu Batutah pernah bekerja sebagai hakim di negara yang dulunya disebut Dibajat ini.

Negara dengan 100 Persen Penduduk Muslim dan Penerapan Syariatnya

Wanita-wanita Maladewa mengenakan burqa meskipun ke pantai. Sumber: Rapler.com
Wanita-wanita Maladewa mengenakan burqa meskipun ke pantai.
Sumber: Rapler.com

Republik Maladewa merdeka dari Inggris pada 26 Juli 1965.  Republik Maladewa adalah salah satu atau bahkan satu-satunya negara di dunia yang mendeklarasikan diri sebagai negara dengan penduduk 100 persen muslim. Pelaksanaan syariat Islam terasa di Kota Male hingga ke pulau-pulau.

Islam juga sangat berdampak pada hukum di Maladewa. Hukum Islam syariah yang dikenal di Dhivehi dengan sariatu membentuk aturan dasar yang disesuaikan dengan kondisi lokal penduduk. Salah satu contohnya adalah toko-toko dan pusat bisnis akan ditutup 15 menit sebelum masuknya waktu shalat dan dibuka kembali paling cepat 15 menit setelah shalat. Di hari Jumat yang merupakan hari penting bagi umat Islam, toko-toko dan perkantoran di kota dan desa tutup sekitar pukul 11.00 siang. Khotbah Jumat biasanya dimulai pukul 12.30 waktu setempat. Tak hanya itu, selama bulan Ramadhan, kafe dan restoran ditutup pada siang hari. Jam kerja juga dibatasi.

Sebagian pulau yang berpenghuni mempunyai sejumlah masjid. Di pulau ini miski atau masjid menjadi pusat kegiatan Islam. Ibu Kota Male misalnya, memiliki lebih dari 30 masjid. Sebagian besar masjid bercat putih dengan bangunan yang dibangun dari batu karang dengan atap seng atau jerami. Di Male ada Male Islamic Center atau Pusat Kegiatan Islam dan Masjid Grand Friday yang dibangun pada 1984 dengan dana dari negara-negara Teluk Persia, Pakistan, Brunei, dan Malaysia. Masjid Grand Friday mempunyai struktur yang elegan. Kubahnya yang berwarna emas menjadikan masjid ini bangunan yang pertama kali terlihat saat mendekati Male. Pada pertengahan 1991 Maladewa memiliki total 725 masjid dan 266 masjid bagi perempuan.

Kondisi Toleransi Agama dan Tumbuhnya Radikalisme

Selama ratusan tahun, Muslim Sunni mempraktikkan Islam secara liberal. Namun, di bawah kekuasaan Maumoon Abdul Gayoom yang otokratik selama tiga dekade, ia menerapkan elemen Islam garis keras di negara tersebut. Pada 1994, Undang-Undang (UU) Perlindungan Agama diberlakukan. UU ini membatasi kebebasan beribadah selain agama Islam.

Seiring berakhirnya kekuasaan Gayoom pada 2008, pakaian bagi perempuan menjadi lebih konservatif. Sebelumnya, perempuan banyak yang berbusana dengan warna-warna terang, namun kini mereka cenderung mengenakan jubah hitam dan penutup kepala. Di pulau yang lebih konservatif, seperti Himandhoo, perempuan mengenakan abaya hitam dan cadar. 

Pada masa pemerintahan Maumoon Abdul Gayoom sejak 1978-2008 melalui enam kali pemilu, Maladewa menjadi negara yang otokratif. Presiden Mamoon juga menerapkan satu agama bagi seluruh penduduknya. Yang tidak mau menjadi muslim, ada dua pilihan, dipenjara di penjara Dhoonidhoo atau pindah kewarganegaraan. Namun, berita ini masih menjadi kontroversi, melihat keadaan penduduk Maladewa yang masih sangat ramah dengan pendatang yang non-muslim. Ada yang menganggap Maladewa menghargai perbedaan, tetapi mencintai Islam dengan sepenuh hati.

Setelah menggantikannya jabatan presiden pada 2013 Muhammad Nashid mendukung upaya demokratisasi Maladewa. Namun, setelah turun jabatan, malah divonis penjara 13 tahun oleh Yameen karena dituduh melakukan tindakan terorisme. Politik semacam ini mendukung tumbuhnya radikalisme di negeri yang di masa lalu disebut Dabijat itu. Karena pemerintah disibukkan dengan penumpasan pemberontakan dan opisisi, menjadi kurang perhatian dengan adanya ancaman di bilik-bilik wilayahnya, yaitu radikalisme. Kondisi itu, diperparah dengan kelakuan elit politiknya yang gemar memelihara preman-preman sebagai alat kontrol pengaruh kepada lawan-lawan politik mereka.

Sejak beberapa tahun terakhir ideologi radikal Islam tumbuh subur dan dimanfaatkan oleh kelompok teror Islamic State, Al-Qaida dan Front al Nusra untuk merekrut pejuang-pejuang baru. Tentu geliat ini tidak diperhatikan dengan saksama oleh pemerintah Maladawa yang sibuk dengan otokrasinya.

Itulah sekelumit hal tentang Islam di Maladewa. Islam memang sangat kuat di negeri Atol ini, tetapi kondisi politik yang otokrasi dan elit politik yang sewenang-wenang membuat negara ini di masa depan bisa saja mendapatkan ancaraman dari dalam, baik pemberontakan, maupun radikalisme yang dipupuk bersandingan dengan terciptanya iklim konservatif yang diciptakan Mamoon Gayoom dan saudaranya Yameen Gayoom.

*)Disarikan dari berbagai sumber