Mahasiswa Unida Gontor saat kunjungan studi ke Pesantren Tebuireng. (Foto: Aqilla)

Tebuireng.online- Untuk menjawab keresahan beberapa santri atau pun masyarakat tentang perbedaan pondok modern dan pondok salaf, kampus 3 Unida Gontor mengadakan kunjungan studi ke Pesantren Tebuireng pada Rabu (1/1/20). Salah satu pembahasan dalam kunjungan ini yaitu pandangan yang berbeda tentang pondok modern dan pondok salafiyah.

“Sebenarnya Gontor dan Tebuireng ini sangat saling berkaitan dalam memajukan bangsa, hanya saja bedanya pondok salaf kurikulumnya lebih ke kitab kuning, sedangkan Gontor kitab turast. Tapi kita tetap memiliki tujuan yang sama. Jangan pernah membedakan antara pondok pesantren modern dan pondok pesantren salafiyah, apalagi Gontor dan Tebuireng itu tidak bisa dipisahkan, dan tidak ada golongan-golongan yang membedakan kita semua sama punya tujuan untuk memajukan bangsa,” ungkap H. Lukman Hakim, selaku Mudir Pesantren Tebuireng.

Menurut H. Lukan, di era milenial ini suatu tantangan untuk Pesantren Tebuireng, agar tetap bisa mengikuti perubahan zaman namun tetap mempertahankan salafiyahnya. Walaupun memang ada sedikit pengurangan kualitas. Santri juga mengikuti fenomena alam yang sekarang sudah menjadi kebutuhan bagi kita semua contohnya saja seperti android.

“Kita sebagai santri harus lebih pandai dalam memilah dan memilih info dari media. Agar tidak terjadi yang namanya kesalahpahaman. Karena banyak orang-orang di luar sana yang salah paham tentang penjelasan ustadz-ustadz yang ada di media, hanya mendengarkan setengah-setengah lalu ditelan begitu saja. Sebenarnya itu tidak bisa karena ilmu itu harus benar-benar dipelajari dan dihafalkan,” imbuhnya.

Mendengar penjelasan H. Lukman Hakim tentang Tebuireng dan Gontor, serta pesantren salaf dan modern, beberapa mahasiswa menyuarakan pertanyaan menarik yang berkaitan dengan model santri salaf dan santri modern. Hal-hal yang ditanyakan salah satunya terkait santri salaf yang identik dengan sarung dan bagaimana filosofi sarung.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Sarung itu sebenarnya tidak diindentikkan kepada santri salaf, tapi suatu budaya kebanyakan pesantren, karna dari zaman Jepang sarung itu berawal dari karung goni yang dipakai salat agar terhindar dari najis. Bahkan di Gontor pun ketika salat juga menggunakan sarung, artinya sarung ini tidak hanya di pesantren salaf, akan tetapi budaya di semua pesantren maupun itu pesantren modern atau salafiyah,” jawab ustadz Su’udi.

Di sisi lain, H. Lukman Hakim membahas tentang bagaimana masyarakat memandang persoalan organisasi Islam dan kaitannya dengan pesantren. Menurutnya, mengenai pembahasan tentang perbedaan golongan yang sering diperdebatkan masyarakat seperti Muhammdiyah, NU, dan organisasi Islam yang lain, Pesantren Tebuireng sama sekali tidak pernah membedakan antara golongan satu dengan lainnya, bahkan di Tebuireng juga sangat banyak warna-warni golongan yang ada.

“Jadi kita semua yang ada di sini, tidak perlu memperdebatkan masalah ini. Karna kita semua memiliki tujuan yang sama. KH. Hasyim Asyari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammdiyah, beliau juga belajar dengan guru yang sama. Bahkan gedung Yusuf Hasyim saja dibangun dari bantuan Muhammdiyah. Jadi tidak ada yang perlu kita perdebatkan di sini,” ungkap H. Lukman Hakim di hadapan seluruh mahasiswa Unida.

Pewarta: Putri Aqilla