KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) memaparkan kondisi membaca bangsa Indonesia kepada santri, dalam acara bedah buku menjelang Hari Santri Nasional 2018 di Pesantren Tebuireng. (Foto: Kopiireng)

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Saya menyambut baik terbitnya buku yang kita bedah pada siang hari ini, saya juga menyampaikan penghargaan kepada teman-teman yang aktif di Pustaka Tebuireng yang tetap gigih berjuang memajukan kegiatan penerbitan buku di lingkungan Pesantren Tebuireng. Dan kawan-kwan cukup luar biasa. Tidak mudah merintis kegiatan yang hampir tidak banyak yang berminat. Pesantren yang mempunyai penerbitan pun tidak banyak dijumpai jumlahnya. Kemudian saya ingin menyampaikan sekilas pemaparan tentang salah satu masa lalu bangsa Indonesia, yaitu minat membaca buku.

Menurut kantor perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 90 persen penduduk di atas 10 tahun gemar menonton TV, tetapi tidak suka membaca buku. Dibanding dengan negara maju, minat membaca penduduk Indonesia amat rendah. Di negara maju, setiap penduduk membaca 20 sampai 30 buku pertahun. Penduduk Indonesia hanya membaca paling banyak 3 buku rata-rata. Jadi, ada juga yang sama sekali tidak membaca. Padahal kita tahu bahwa membaca adalah kunci untuk menjadi negara maju.

Membaca adalah jendela bagi ilmu pengetahuan. Dan membaca memberikan kita banyak manfaat. Jadi untuk maju sebuah negara harus mempunyai syarat yaitu kunci utamanya adalah mutu SDM yang gemar membaca. Mengapa penduduk Indonesia tidak gemar membaca? Pertama, tidak mudah memperoleh buku melalui perpustakaan karena jumlah perpustakaan terbatas. Perpustakaan yang ada koleksi bukunya juga terbatas dan tidak mengikuti perkembangan mutakhir. Kondisi di luar Jawa lebih parah lagi. Kedua, budaya kita, budaya membaca di Indonesia kalah oleh budaya bertutur. Ketiga, sistem pendidikan kita tidak membentuk siswa untuk suka membaca. Keempat, buta aksara di Indonesia masih cukup tinggi. Pada saat ini masih ada 3,4 juta orang Indonesia berusia 15-59 tahun yang masih belum bisa membaca. Sekitar 2,1 % dari jumlah penduduk Indonesia. Di Papua ada 28, 70 % penduduk yang buta aksara. Di NTB ada 7,9 %  dan di NTT ada 5,1 %.

Jadi banyak orang membaca melalui media sosial yang bahasanya tidak baik dan sering memberikan informasi yang tidak benar yang kita telan begitu saja dan kemudian informasi yang tidak benar itu dikirim ke orang lain, yang bisa menbaca belum tentu kemampuannya dalam membaca pasti baik. Pada Juni dan Juli 2018 Pusat Penilaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Badan Bahasa mengadakan uji kemampuan literasi bahasa Indonesia di 34 provinsi. Setiap provinsi diwakili oleh 10 SMA. Ujiannya menggunakan komputer. Ternyata masih banyak siswa yang tidak menyadari perintah untuk membalik ke halaman berikutnya saat membaca teks dalam jaringan. Akibatnya teks yang dibaca tidak lengkap.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hasilnya bagaimana? Hanya 18 % siswa bisa membaca teks panjang yang berisi 600 kata dan menangkap informasi di dalamnya. 600 kata tidak panjang, mungkin kalau kwarto satu setengah atau paling banyak 2 halaman. Jadi agar bisa membaca teks 600 kata hanya 18 %. Umumnya siswa kebingungan apabila di setiap paragraf terdapat rincian permasalahan yang berbeda. Siswa juga masih lemah dalam mengubah narasi menjadi kronologi peristiwa.

Demikian juga dalam membaca tabel dan mengubahnya menjadi uraian. Kemampuan membaca tidak sekadar memahami teks tetapi juga mencakup kemampuan membandingkan dua wacana, membandingkan fakta, opini, dan berita bohong. Juga kemampuan mengetahui kemampuan teks berupa berita, informasi, iklan, ataupun teks argumentasi. Bisa merefleksikan ide baik pro maupun kontra terhadap suatu wacana dan menjabarkan alasannya berdasar fakta serta data. Ini berita yang saya baca di koran beberapa waktu yang lalu.

Saya ingin mengetahui sampai dimana kemampuan membaca santri Tebuireng. Jangan-jangan banyak yang seperti tadi. Hanya 18 % . Jadi dari 5 siswa hanya satu yang memahami teks yang 600 kata. Di Tebuireng sejak lama ditempelkan koran pada tempat tertentu supaya santri bisa membaca. Yang di tempel di dekat asrama RA. Perpustakaan juga cukup baik di sekolah maupun di perpustakaan pusat. 7 atau 8 tahun lalu saya ingin meningkatkan minat baca santri dan siswa dengan membuat program yang mengharuskan siswa membaca satu buku dalam satu bulan. Anggaran disediakan untuk membeli buku yang baru sesuai dengan minat siswa. Baik novel maupun buku apa saja. Sayang sekali minat siswa dan keseriusan guru menjadi kendala untuk berhasilnya program tersebut.

Saya ingin mencobanya lagi, mungkin tahun depan tentunya dipersiapkan dulu supaya santri tumbuh minat. Sekitar 8 tahun lalu kita mulai menerbitkan buku tentang para Masyaikh Tebuireng sebagai bentuk penghormatan kepada mereka dan juga untuk merekam jejak langkah mereka sebagai uswah hasanah yang bisa kita teladani. Sejak 2015 sejumlah ustadz bersedia aktif mengelola Pustaka Tebuireng yang kita cita-citakan bisa menjadi penerbit yang baik dan diterima masyarakat.

Cukup banyak buku yang telah kita terbitkan. Saya berharap lebih banyak lagi ustadz yang mau terlibat dalam masalah ini. Pustaka Tebuireng memulai langkah untuk membentuk jaringan antara penerbit di berbagai pesantren. Kita tukar-menukar buku yang diterbitkan dengan pesantren lain dan kita menjualkan buku mereka. Mereka menjualkan buku kita. Mudah-mudahan kegiatan ini bisa terus berkembang. Ada sejumlah siswa-siswi yang berhasil menulis buku dan kemudian diterbitkan. Ke depan kita berharap munculnya banyak siswa/siswi yang aktif dalam kegiatan positif itu.

Kegiatan menulis itu memang membutuhkan bakat, tetapi yang terpenting adalah kemauan yang kuat untuk menulis. Jadi sekali lagi saya mengapresiasi kegiatan dari Pustaka Tebuireng ini yang mengadakan bedah buku dan gerakan santri membaca. Ini mestinya dilakukan di sekolah setiap pagi untuk membiasakan kita membaca, membiarkan kita menambah ilmu pengetahuan kita. Mungkin ini bisa menjadikan kita di tahun-tahun yang akan datang. Sekali lagi, terima kasih kepada penulis buku. Mudah-mudahan buku ini bisa memberi inspirasi kepada kita.

*Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.

Pesan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku “Mendidik Kader Bangsa Nasionalis Religius Buah Pemikiran KH. Saifuddin Zuhri”. Karya Eko Wahyudi. Yang digelar di Pesantren Tebuireng.