Oleh: Jailani*
Islam dengan konsep ajaran yang universal, yakni sebagai rahmat bagi alam semesta sangat menjunjung tinggi perinsip persaudaraan. Oleh karena itu Islam menolak semua bentuk rasisme atau membanggakan diri daripada orang lain berdasarkan ras, suku, maupun biologis. Rasulullah Saw. mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhi perilaku rasisme trersebut, sebagaimana tergambar dalam suatu kisah ketika Nabi menolak pelecehan dan diskriminasi berdasarkan ras maupun kasta yang dilakukan oleh salah satu sahabat, beliau mengantakan bahwa hal itu merupakan tindakan buruk orang-orang jahiliyah.
Kisah teguran Nabi atas sahabat yang pernah bersikap rasis ini tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-bukhari dalam kitab al-jami’ al-sahih No. 30, sebagaimana berikut:
عَنِ المَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ، فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ؟ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ”
Diriwayatkan dari Ma’rur ibn Suwaid dia berkata: aku bertemu Abu Dzarr di rabadzah (daerah yang dekat dengan kota Madinah[1]) dan terdapat padanya memakai dua lembar kain, (yang satu dijadikan sarung dan yang satu lagi dijadikan selendang)[2] begitu juga budaknya. Kemudian aku menanyakan nya akan hal itu[3], lalu dia menjawab: aku telah menghina seseorang dengan cara menhina ibunya, maka Nabi menegur padaku,“Wahai Abu Dzarr apakah kamu menghinanya dengan ibunya? Sesungguhnya terdapat pada dirimu perilaku jahiliyah, saudara-saudara kalian adalah tanggungan kalian, Allah menjadikan mereka di bawah tanggunganmu, maka barangsiapa saudaranya di bawah tanggungannya berilah makanan seperti yang dia makan, dan berilah dia pakaian seperti yang dia pakai, dan janganlah kalian bebani mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka, jika kalian membebani mereka maka bantulah mereka”. (H.R. Al-Bukhari, No. 30)
Hadis di atas menjadi sebuah gambaran bagaimana Nabi Saw. mengajarkan kepada umatnya agar menjahui rasisme, dan selalu bersikap adil atas hak sesama manusia. Selain hal itu, Nabi Saw. juga menekan kan terhadap kesetaraan dalam memenuhi hak sesama, agar terciptanya komitmen persaudaraan dengan tanpa membeda-bedakan, baik saudara seiman ataupun sesama manusia.
Perbedaan antara menusia dalam bentuk ras, suku maupun biologis merupakan suatu hal yang pasti dan tidak bisa dihindarkan. Karena hal itu merupakan hak prerogatif Tuhan untuk menciptakan semua itu. Namun dengan adanya perbedaan itu bukan berarti manusia harus membeda-bedakan satu sama lain dengan cara membangga-banggakan dirinya, tapi dari perbedaan itu harus dijadikan hikmah untuk saling mengenal satu sama lain agar kuatnya prinsip kemanusian. Karena pada dasarnya tak ada yang membedakan antara menusia kecuali komitmen kepatuhannya kepada tuhan. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam al-Quran:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujarat: 13)
Dalama kitab tafsir al-Munir karya Prof Wahbah al-Zuhaili menyebutkan suatu riwayat, bahwa sebab turunnya ayat ini ialah pada suatu ketika kota Makkah telah ditaklukkan, Bilal bin Rabah diperintah menaiki Ka’bah untuk melaksanakan adzan, kemudian ada beberapa orang yang berkomentar “Apakah budak hitam ini yang akan azdan di atas Ka’bah?”. Maka kemudian turunlah ayat tersbut kepada Nabi untuk menjadi teguran kepada mereka yang meremehkan orang lain hanya disebabkan perbedaan biologis saja.
Dalam riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan salah satu sahabat yang bernama Abu Hind. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind. Tapi tak ada satupun dari mereka yang menuruti perintah beliau karena Abu Hind adalah seorang mantan budak, sembari berkata “Apakah kami harus menikahkan putri kami dengan seorang mantan budak?[4] Maka Kemudian turunlah ayat tesebut.
Ketika melihat terhadap sebab turunnya ayat ini, jelas bahwa islam sangat menekan kan terhadap kesetaraan dalam memenuhi hak sesama dengan tanpa harus membeda-bedakan satu sama lain dalam segi kasta maupun biologis. Karna yang demikian itu akan berdampak terhadap perpecahan dan prselisihan antara umat manusia, dan hal ini bertentangan dengan konsep universal ajaran islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Oleh karena itu Allah sangat mengecam prilaku rasis melalui ayat tersebut, dengan menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan karena keturunan atau perbedaan biologis tetapi karena ketakwaan,”.
Nilai universal Al-Quran itu semakin diteguhkan nabi ketika suatu waktu beliau menyampaikan khutbah, di depan para jamaah beliau berpesan tentang persaudaran universal.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَباكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بالتَّقْوَى”.
“Wahai manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian satu, dan bapak kalian juga satu (Adam) Ingatlah, tidak ada keunggulan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (non-Arab), tidak pula orang ‘ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketakwaan. (HR. Ahmad No, 23489)
Dalam hadis yang lain Nabi Saw bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ، أَنْتُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ، إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ “
“Sesungguhnya Allah Swt, telah menghilangkan dari kalian kesombongan serta kebanggaan terhadap nenek moyang ala orang-orang jahiliyah. (yang ada hanya) orang beriman yang bertakwa, dan orang jahat yang sengsara. Kalian adalah anak keturunan Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Maka hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya. Mereka hanya (akan menjadi) bara api neraka jahannam. (HR. Abu Dawud No. 5116).
Hadis di atas bisa menjadi gambaran bahwa selain mengecam tindakan rasisme, Islam juga memberikan pelajaran bagaimana menyikap rasisme yang mungkin saja bisa timbul dalam diri manusia. Sebagaimana disampaikan oleh Nabi, bahwa semua manusia diciptakan dari nenek moyang dan benih yang sama. Hal ini bisa menjadi pelajaran bahwa Nabi selalu memerintahkan terhadap individu seseorang untuk selalu menyadari bahwa tak ada perbedaan yang perlu dibanggakan. Karena membeda-bedakan antara satu sama lain merupakan hal yang bertentangan dengan konsep universal Islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta. Oleh karena itu Nabi selalu memerintahkan kepada umatnya agar selalu mempererat ikatan persaudaraan serta memenuhi hak-hak sesama sekalipun relasi antara tuan dan budak, sebagaimana tergambarkan dalam peristiwa yang terjadi pada Abu Dzar di atas.
[1] Syamsu Al-din Muhammad Ibn Umar al-Safiri, Al-Majalis Al-Wa’dziyah fi Syarhi ahadist khoir Al-bariyah, (Darul Kutub ilmiah, Bairut Lebanon) 2004. juz 2, 42.
[2] Ibid
[3] Ma’rur menanyakan hal itu sebab dia heran terhadap penyetaraan pakaian antara budak dengan tuannya. Karena adat arab pada saat itu pakain budak tidak boleh sama dengan pakaian tuan nya. Hal ini sebagaimana di sebutkan imam Al-Safiri dalam kitab nya Al-Majalis Al-Wa’dziyah fi Syarhi ahadist khoir Al-bariyah juz 2, 45.
[4] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Darul Fikr: Damasyqus), juz 26, 250.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari