Ilustrasi foto: www.google.com

Sahabat adalah orang yang hadir dan mendampingi kita saat suka maupun duka. Dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama, ada dua orang sahabat yang dikenang sepanjang masa oleh banyak kaum nahdliyin. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Keduanya berasal dari Kota Santri Jombang dan santrinya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Meskipun Kiai Bisri lahir di Jawa Tengah, tepatnya di sebuah desa yang bernama Tayu Wetan, Pati pada 05 dzulhijjah 1304 H atau 23 Agustus 1887 M. Namun hingga akhir hayatnya, Kiai Bisri tinggal di Jombang. Sedangkan Kiai Wahab dilahirkan di Tambakberas pada tanggal 31 Maret 1888.

Pertemuan mereka berdua terjadi pada tahun 1906, saat itu Kiai Abdul Wahab melanjutkan belajar ke Syaikhona Kholil Bangkalan. Ia belajar Ilmu Nahwu, Shorof dan ilmu-ilmu lainnya. Hal yang sangat istimewa ketika menimba ilmu di Syaikhona Kholil adalah pertemuan dan persahabatannya dengan KH. Bisri Syansuri.

Dalam catatan Gus Dur (Cucu Kiai Bisri), jalinan persahabatan inilah kemudian menjadi tonggak paling penting bagi tumbuh dan perkembangan ajaran agama Islam Indonesia. Bahkan kelak, beberapa puluh tahun selanjutnya dua santri ini mewarnai penyebaran ajaran Islam nusantara di negeri tercinta ini.

Kiai Bisri sangat menghormati Kiai Wahab sebagai seorang sahabat. Hal ini tampak dari tidak sungkannya Kiai Bisri mengkritik Kiai Wahab saat berpendapat di forum seperti Batsul Masail dan rapat Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini membuat suasana rapat dan internal NU lebih hidup dengan pemikiran segar. Karena selain Kiai Bisri jarang ada yang berani mengomentari Kiai Wahab. Kiai yang biasa disapa Mbah Wahab ini merupakan keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, sehingga saat itu sedikit sekali yang berani beradu argument dengannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kiai Wahab dan Kiai Bisri ini sahabat ideal, kadang saling mengkritik tapi juga mendukung,” kata Humas Pondok Pesantren Bahrul Ulum KH. Jauharuddin Al-Fatich, Rabu (10/7).

Setelah mondok beberapa tahun di Syaikhona Kholil, Kiai Bisri Syansuri melanjutkan pengembaraan ilmunya di salah satu Pesantren di Sarang, Rembang dan berguru kepada KH. Umar bin Harun, Kiai Syuaib, Kiai Kholil Kasingan. Disinilah Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar itu menghafalkan ilmu gramatika bahasa arab bernama Alfiyah Ibnu Malik. Ia juga sempat mengkhatamkan kitab Fathul Wahab dan Fathul Mu’in di sini.

Selanjutnya, sekitar tahun 1908 Kiai Bisri kembali ke Jawa Timur. Kali ini menuju Pesantren Tebuireng Jombang untuk belajar kepada Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari. Pada masa itu, ada keyakinan ulama tanah Jawa bahwa seseorang yang ingin menjadi ulama besar harus belajar ke Kiai Hasyim dulu.
Dibawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari, dua sahabat ini kembali dipertemukan. Kedekatan yang sudah dibangun saat di Pulau Madura kembali terjalin rapat diantara keduanya. KH. Wahab lebih dahulu datang ke Tebuireng. Di Tebuireng, keduanya belajar Ilmu Ushul Fiqh, Fiqh, Hadist, dan Tafsir. Di Pesantren ini juga kedua tokoh ini mengalami kematangan keilmuan agama dan organisasi. Pemikiran Kiai Hasyim banyak mempengaruhi keduanya.

“Bisa dikatakan saat itu, Kiai Wahab dan Kiai Bisri adalah bintangnya Tebuireng,” tambah Ketua RMI-NU Jombang ini.

Di Tebuireng pertemanan Kiai Bisri dan Kiai Wahab semakin terbina matang pula, sikap saling menghormati dan mendukung diantara keduanya sudah tumbuh sejak sama-sama menjadi santri di Kiai Kholil Bangkalan. Meskipun begitu, diantara keduanya punya gaya berpikir yang berbeda. Kiai Wahab dalam mengambil keputusan sering kali berdasarkan kaidah Ushul Fikh. Sedangkan Kiai Bisri seorang yang memegang Ilmu Fikh yang kuat.

Dalam pengembaraan ilmu di Tebuireng, Kiai Bisri dan Kiai Wahab semakin menunjukkan sifatnya masing-masing, Kiai Bisri terkenal di kalangan santri sebagai seorang yang kuat pendiriannya dan kekokohannya didalam memegang fiqih dan tidak bisa diganggu gugat dalam segala keputusannya. Seakan melengkapi, Al-Maghfullah Kiai Wahab Hasbullah dikenal lentur dalam segala pandangannya dalam memutuskan berbagai masalah.

“KH. Hasyim mendidik dua sahabat ini, jadi wajar saat pendirian NU maka yang sering turun ke daerah-daerah adalah dua tokoh ini,” beber Pengasuh Ribath Al-Ghozali Bahrul Ulum ini.

Saking dekatnya Kiai Wahab dan Kiai Bisri, pada tahun 1913 dua karib ini izin ke Kiai Hasyim Asy’ari untuk melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama. Berbekal pengalaman dan ilmu yang diperoleh selama dididik di bawah gemblengan langsung Kiai Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab dan Mbah Bisri tidak kesulitan mengikuti pelajaran di tanah suci.
Selama belajar di Mekkah, kedua sahabat karib ini mengaji kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Muhammad Bakir, Syaikh Muhammad Said Yamani, Syaikh Ibrahim Yamani dan Syaikh Jamal Maliki. Mereka berdua juga berguru kepada guru dari guru-guru Kiai Hasyim Asy’ari seperti Kiai Khatib Al-Padangi, Kiai Syuaib Dinastani, dan Kiai Mahfudz At-Termasi.

Sementara itu, Ketua PCNU Jombang KH. Abdul Nashir Fattah mengatakan pernah mendapat cerita dari ayahnya, Kiai Abdul Fattah yang juga keponakan Kiai Wahab Hasbullah sekaligus menantu Kiai Bisri Syansuri. Suatu waktu pada forum bahtsul masail di tentang hukumnya drum band, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berdebat begitu kerasnya sampai-sampai Kiai Bisri menggebrak meja. Tak mau kalah, Kiai Wahab pun menggebrak juga, bahkan dengan kaki. Orang-orang ketakutan dan sangat khawatir bahwa Nahdlatul Ulama akan pecah hanya gara-gara hukumnya drum band. Siapa sangka, ketika waktu jeda tiba, keduanya justru berebut melayani satu terhadap yang lain dalam jamuan makan.

Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 1971. Kiai Wahab, saat itu menduduki Rais ‘Aam, keadaan fisiknya sangat sepuh dan dalam keadaan sakit hingga tak mampu bangkit dari pembaringan-ia akhirnya wafat hanya beberapa hari seusai muktamar tepatnya 29 Desember 1971. Suasana Muktamar didominasi oleh kehendak suksesi. Dapat dipastikan seluruh muktamirin tanpa kecuali menginginkan Kiai Bisri tampil sebagai Rais ‘Aam yang baru.

Bahkan boleh dikata, beliau sudah menjadi Rais ‘Aam de facto. Muktamar hanya formalitas pengesahan saja. Siapa sangka, sebelum palu diketuk, Kiai Bisri berdiri dihadapan sidang untuk menyampaikan sikapnya yang tak dapat ditawar oleh siapa pun juga dengan harga apa pun juga:
“Saat itu Mbah Bisri mengatakan, selama masih ada Kiai Wahab, saya hanya bersedia menduduki jabatan dibawah beliau,” ungkapnya.

Puncak persahabatan kedua karib ini sebenarnya terjadi pada saat Kiai Wahab berusaha menarik Kiai Bisri dalam keluarganya dengan cara menjodohkannya dengan sang adik bernama Nur Khodijah. Ini menunjukkan bahwa Kiai Wahab tidak mau berpisah dengan sahabatnya.

Niat baik Abdul Wahab direspons dengan baik pula sehingga perjodohan antara Nur Khodijah dengan Bisri Syansuri berjalan dengan lancar. Setelah menikah dengan Khodijah, hubungan Kiai Wahab dan Kiai Bisri semakin dekat dan intens. Kiai Bisri diberikan tanah di Desa Denanyar dan akhirnya didirikan Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Mereka juga bahu membahu membesarkan NU. Berkat perjuangan kedua sahabat ini, NU bisa menjadi ormas terbesar di Indonesia. Dua insan ini menjadi contoh persahabtan ideal bagi semua orang di Indonesia. Karena bersahabat tanpa syarat.

Selamat haul KH. Abdul Wahab Hasbullah ke-48


Pewarta: Syarif Abdurrahman

Publisher: RZ